Kicauan burung walet menyapa pagiku untuk bergegas melaksanakan aktivitas. Dengan perlahan menarik napas, aku merentangkan tangan, meluruskan jari-jemari serta membiarkan tubuh ini meregang lega. Kelopak mata perih seperti teriris oleh tajamnya belati namun aku tak bisa mengelak dari rutinitas yang sudah menjadi kewajibanku. Dari ruangan belakang terdengar berisik, aku menoleh ke arah Akong yang masih tertidur pulas. Ya, dia sudah kuanggap seperti bapak sendiri. Meskipun Akong usianya terbilang sudah lapuk, namun ketampanannya masih memukau. Entah seperti apa rupanya waktu masih lajang.
Kemudian, aku beranjak dari pembaringan yang menyenyakkan malamku. dengan hati-hati pintu kamar dibuka.
“Pagi, Ama.”
Aku menyapa wanita paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.
“Pagi juga, Sus. Bagaimana Akong semalam?”
“Baik, Ama. Hanya sedikit rewel. Dia tak nyaman mengenakan pampers lalu dia menyuruhku untuk membukanya, namun tidak ku turuti.”
“Hayoo. Susah lah Akong-mu itu, Sus.” balas Ama.
Lalu, aku dengan gesit membersihkan setiap ruangan di rumah itu, pakaian, dan diriku sendiri sebelum Akong bangun.
Akong mengidap penyakit stroke yang membuatnya hanya terbaring di atas ranjang, tubuhnya yang berisi kadang membuatku tak mampu mengangkatnya seorang diri. Sesekali Akong dipindahkan ke roda empat untuk menghirup udara pagi pada kota yang masih nampak asri, sehingga bantuan pun datang dari koko atau pun cece.
Aku terperangah oleh tatapan tajam yang mengisyaratkan untuk bergegas menengoknya.
“Selamat pagi. Sudah bangun ya, Kong?? Hm .. Sebentar ya, Sus ambil air hangat dulu.”
Tanpa bersuara, Akong hanya mengangguk. Pakaian dan pampers yang membungkus tubuh rentanya ditanggalkan dan aku mengganti dengan yang lain.
“Semuanya telah siap. Ahh, gantengnya.” godaku.
“Saatnya Akong makan, ya.”
“Mana Ama, Sus? Panggil Ama lah, tolong! Akong mau Ama yang menyuapi.” rengek Akong padaku.
Keluhan terkadang muncul sebab tingkah Akong yang seperti anak bayi menguji naluri kesabaranku. Ucapan yang dilontarkan juga harus dijaga, memastikan agar dia tidak merasa tersinggung.
“Ama.. Ama..”
“Iya, Sus?”
“lâi ma, Akong maunya disuapin oleh Ama.” kataku pada Ama.
Lalu, Ama dengan penuh cinta memberikan suapan kepada belahan jiwanya itu. Kemudian, aku menegur Ama dengan ramah untuk menuju meja makan mengisi perut. Biarkan momen kemesraan antara suami dan istri itu kembali merekah.
Aku terperangkap dalam balutan luka dan kasih sayang. Diriku sudah menyatu dengannya dan keluarganya. Perlakuan tulus mereka mengantarkanku menjalankan tugas untuk menjaga dan merawat Akong. Kami sudah sangat dekat seperti bapak dan anak.
“Jujur, aku menyayangi dia.”
Kehangatan di rumah papan itu membuat aku betah karena anak, menantu, dan cucu – cucunya menghargai kehadiranku.
Tuhan telah mempertemukan aku dengan keluarga yang sangat baik. Walaupun begitu, tetap ada batasan untuk menjaga kepercayaan mereka. Bisikan yang terngiang di telinga sebagai penutup darinya.
“Sus, xièxiè.”
Sambil menggenggamkan tanganku, mata Akong berkaca-kaca. Asing memang mendengar kata itu sebab bahasa yang digunakan adalah Bahasa Hokkien. Aku dan Ama saling membuang pandangan keheranan dengan ucapan Akong. Dia tidak biasanya bersikap lembut karena yang aku tahu bahwa Akong mempunyai sifat emosional yang tidak stabil. Yah, mungkin dia bersikap demikian lantaran penyakit yang diderita, tentu hal ini dapat dimaklumi.
“Sus, Akong mengucapkan xièxiè yang artinya terima kasih. Hati ini senang, Sus.” jelas Ama padaku. “Seharusnya Akong tidak mengutarakan kata itu ma. Ini sudah menjadi bagian dari pekerjaanku.”
Dua tahun lamanya aku mengurus Akong, hati ini merasa hambar ketika Sang Penguasa mengambil kembali ciptaan-Nya. Tenda duka dipenuhi dengan jubah putih yang dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, terutama penganut agama Buddha, melambangkan kemurnian dan penghormatan bagi orang yang telah meninggal.
Asap tongkang membubung tinggi dekat jenazah Akong, aku menyaksikan api melahap kayu-kayu itu yang membawa doa terakhir untuk keabadiannya.
“Sedih! Tak ada yang meneriaki aku lagi.” batinku sambil termenung dalam kesedihan.
Tempat tidur itu tidak lagi ditempati, sementara kursi roda yang pernah mengiringi langkahnya menjadi besi tua tak bertuan.
“Selamat jalan, Akong. dirimu akan selalu terekam di dalam memoriku.”
Akong telah mengajarkan aku bagaimana menjadi seorang pekerja yang telaten, bertanggung jawab, dan jujur. Setelah itu, aku memeluk Ama dengan berderai air mata.
“Akong sudah bersama dewa, jiwanya kini telah menyatu dengan dewa.” kata Ama menenangkanku.
Selesai Akong dimakamkan, aku mengundurkan diri dari tempat tersebut. Koper yang sudah berisi baju itu siap berpindah ke persinggahan baru. Ciuman perpisahan kepada Ama, cece dan koko menjadi momen haru antara kami. Aku tidak pernah menyangka, kepulangan berharga ini diiringi untaian amplop yang mengisi kantongku.
“Aku terperangkap dalam balutan luka dan kasih sayang. Diriku sudah menyatu dengannya dan keluarganya. Perlakuan tulus mereka mengantarkanku menjalankan tugas untuk menjaga dan merawat Akong.”
SEKIAN
Kreator : Leny Fios
Comment Closed: Bagan Siapi-Api
Sorry, comment are closed for this post.