KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bagian 2 – Belajar Menjadi Ibu

    Bagian 2 – Belajar Menjadi Ibu

    BY 26 Okt 2025 Dilihat: 7 kali
    Belajar Menjadi Ibu_alineaku

    Sebelum gelar “Ibu” itu melekat padaku, aku memantaskan diri dengan berbagai tirakat. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk anak-anak yang belum hadir di dunia. Dari puluhan buku dan kajian, aku belajar bahwa menjadi ibu bukan sekadar melahirkan, melainkan mendidik jiwa yang Allah titipkan. Aku ingin mempersiapkan hati, ilmu, dan ruhiyahku agar kelak aku siap membersamai mereka.

    Salah satu bentuk tirakatku adalah selama hamil aku meng-khatamkan Al-Qur’an di setiap kehamilan. Rasanya, setiap lantunan ayat menjadi doa yang ku hembuskan ke dalam jiwa kecil yang sedang bertumbuh di rahimku. Selain itu, aku membaca buku-buku tentang parenting ala Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, juga menghafal doa-doa. Berharap semua tirakat yang aku lakukan menjelang kelahiran mereka, menjadi bekal yang tertanam kuat dalam kehidupanku dan anak-anakku nantinya.

    Hari-hari selama kehamilan, selain kuisi dengan merintis bisnis clothing, lebih banyak kuhabiskan di atas sajadah. Ada ketenangan tersendiri, seolah aku sedang berbicara dengan Allah Ta’ala, menitipkan doa-doa panjang untuk anak yang bahkan belum kulihat wajahnya.

    Lucunya, masa itu justru aku sedang LDR dengan suami. Setelah pendidikan di Surabaya, suamiku ditempatkan di Jakarta, sementara aku masih bertahan di Kota Padang karena sedang hamil muda. Rindu itu nyata, tapi Allah Ta’ala gantikan dengan waktu yang panjang untukku bermuhasabah. Aku merasa benar-benar diproses sendiri, dalam kesunyian, ditempa untuk menjadi seorang ibu.

    Aku masih ingat, beberapa hari sebelum tahu aku hamil, aku pernah berucap pada suamiku: “Gapapa kalau Allah tidak kasih aku anak di dunia, mungkin lewat ini Allah menerima aku untuk pantas menjadi hamba-Nya yang masuk surga. Karena masuk surga itu berat, butuh pengorbanan besar. Semoga ini Allah catat jadi pengorbananku.” Siapa sangka, hanya beberapa hari setelah ucapan itu, Allah menghadiahkan kabar kehamilan. Masya Allah.

    Mungkin itulah jawaban dari semua tirakat, doa, dan kepasrahan bahwa Allah tidak pernah alpa mendengar. Ia hanya menunggu waktu terbaik untuk mengabulkan.

     

    Bab 4 – Pertemuan Pertama

    Hari itu akhirnya tiba. Setelah sembilan bulan penuh doa, air mata, dan penantian, aku dipertemukan dengan buah hatiku. Proses persalinan kujalani dengan seorang dokter kandungan yang mendampingi sejak awal kehamilanku. Aku bersyukur, meski perjalanannya cukup panjang dan tidak mudah, Allah Ta’ala beri kemudahan disaat yang paling genting.

    Tangis pertama bayi itu masih jelas terngiang. Ruangan seketika penuh dengan suara paling merdu yang pernah kudengar. Lalu tubuh mungil itu diletakkan di dadaku. Hangat, lembut, rapuh tapi juga begitu kuat memeluk jiwaku.

    Air mataku tumpah. Tak hentinya aku berucap haru “masya Allah, masya Allah”. Aku menatapnya, dan berbisik, “Nak, akhirnya kita bertemu. Terima kasih sudah memilih Ummi dan Abi sebagai rumahmu di dunia. Ummi janji akan berusaha sekuat tenaga menjaga amanah ini.”

    Rasanya seluruh pengorbanan dari tahun-tahun penantian, doa panjang dimalam-malam sunyi, sampai tirakat selama kehamilan terbayar hanya dengan satu genggaman kecil jemarinya. Dunia berhenti. Hanya ada aku, suami, dan bayi mungil itu.

    Menggendong untuk pertama kali bukan sekadar peristiwa fisik. Itu adalah titik balik hidupku. Saat aku sadar, aku bukan lagi sekadar Khairunissa yang sibuk mengejar mimpi dan berlari dalam kehidupannya sendiri. Kini aku adalah “Ummi”, seseorang yang hidupnya ditautkan dengan jiwa kecil yang sepenuhnya bergantung padaku.

    Aku belajar bahwa menjadi ibu tidak serta-merta berarti aku langsung bisa segalanya. Justru dari pelukan pertama itu, perjalanan belajar dimulai, belajar menyusui, belajar menahan lelah, belajar mengatur emosi, belajar bersyukur atas hal-hal kecil.

    Aku sering merasa tak pantas, tak cukup baik. Tapi setiap kali menatap wajah kecil itu, ada kekuatan baru yang entah dari mana datangnya. Mungkin karena Allah Ta’ala memang menciptakan cinta seorang ibu begitu luas, sehingga selalu ada ruang untuk belajar, salah, lalu mencoba lagi.

    Dan sejak hari itu aku tahu, hidupku tak lagi tentang aku. Hidupku kini adalah tentang menjaga, menuntun, dan mengembalikan amanah ini kepada Allah dalam keadaan terbaik. Ia milik Allah, hanya dititipkan lewat rahimku.

    “Ya Allah, kuatkan aku. Jadikan aku ibu yang pantas untuk amanah ini.”

     

    Reflection & Insight

    Sejak pertemuan pertamaku dengan anakku, aku menyadari bahwa menjadi ibu bukanlah status yang otomatis membuatku bisa segalanya. Justru dari pertemuan pertama itulah perjalanan panjang belajar dimulai. Belajar sabar, belajar mengasihi tanpa syarat, belajar menahan diri, sekaligus belajar mempercayai bahwa Allah selalu memberi cukup kekuatan. Aku memahami bahwa cinta seorang ibu bukanlah cinta biasa, ia adalah anugerah yang Allah tanamkan, sehingga meski lelah, selalu ada energi baru untuk terus bangkit.

    Setiap ibu punya kisah unik tentang pertemuan pertama dengan anaknya. Ada yang penuh haru, ada yang penuh perjuangan, ada yang mungkin tak sesuai harapan. Apa pun bentuknya, percayalah bahwa Allah memilih momen itu sebagai awal perjalanan seorang ibu sesuai dengan takaran terbaik untuk masing-masing kita.

    Jangan takut merasa tidak cukup baik. Semua ibu belajar dari awal, semua ibu berproses. Yang terpenting adalah menyadari bahwa anak bukan sekadar milik kita, tapi titipan Allah. Dan tugas kita bukan menjadi “sempurna”, melainkan menjadi ibu yang terus berusaha dan bersandar pada Allah.

     

    Bab 5 – Ibu Juga Manusia

    Aku masih ingat satu peristiwa yang sampai sekarang meninggalkan jejak di hati. Momen pertama kali aku benar-benar marah pada anak pertamaku. Saat itu, usianya sekitar dua setengah tahun. Ia mencubit adiknya sampai meninggalkan bekas merah. Aku kaget, sedih, dan bingung bagaimana harus bereaksi. Hatiku ingin langsung memeluknya, tapi aku juga tahu kalau aku diam saja, ia akan menganggap itu hal biasa.

    Akhirnya, untuk pertama kalinya, aku memberinya sanksi. Aku menutup pintu kamar mandi dan memegang gagangnya dari luar, membiarkannya menangis dan berteriak memanggil-manggil aku. Sebenarnya pintu itu tidak benar-benar terkunci, tapi cukup untuk membuatnya merasa bahwa perbuatannya ada konsekuensi.

    Dibalik pintu itu, hatiku bergejolak hebat. Antara tak tega mendengarkan tangisnya dan takut kalau aku terlalu keras padanya. “Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini. Maafkan Ummi, Nak… Ummi tidak bermaksud menyakitimu. Ummi hanya ingin kamu belajar bahwa mencubit adikmu itu salah”, begitu doa dan bisikku di sela tangisannya.

    Sambil menahannya didalam, aku tetap berbicara padanya dari balik pintu. Aku bertanya, kenapa ia melakukan itu? Kenapa adiknya dicubit? Aku jelaskan padanya kenapa ia harus diberi sanksi. Dan sebelum aku membuka pintu, aku minta ia meminta maaf pada adiknya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

    Setelah pintu kubuka, aku langsung memeluknya erat-erat. Air matanya bercampur dengan air mataku. Aku meminta maaf kepadanya dan menjelaskan kenapa aku harus melakukan itu. Aku tahu ia masih kecil, aku tahu ia belum sepenuhnya mengerti. Tapi aku ingin ia merasakan bahwa dibalik tegasku, ada cinta yang begitu besar. Sejak saat itu aku sadar bahwa menjadi ibu berarti berjalan di garis tipis antara kasih sayang dan ketegasan. Antara ingin selalu memeluk, dan perlu sesekali melepas. Dan itu tidak pernah mudah.

    Seringkali aku diliputi rasa bersalah. “Apakah aku terlalu keras?” atau sebaliknya, “Apakah aku terlalu lembut?” Tapi justru dari momen-momen seperti itulah aku belajar bahwa ibu juga manusia. Ada lelah, ada marah, ada tangis, ada salah. Dan itu wajar. Yang terpenting bukanlah selalu benar, tapi mau terus belajar, meminta maaf, dan memperbaiki diri. Karena anak-anak tidak butuh ibu yang sempurna, mereka hanya butuh ibu yang tulus mencintai dan tidak berhenti berusaha.

    Reflection & Insight

    Hari itu aku menangis bukan hanya karena marah pada anakku, tapi juga karena aku sedang belajar menerima bahwa aku hanyalah manusia. Aku tidak selalu mampu menjadi ibu yang lembut, bijak, dan sabar setiap waktu. Tapi justru disitulah Allah mengajarkanku bahwa tugas seorang ibu bukanlah menjadi sempurna, melainkan terus berusaha dengan hati yang ikhlas.

    Dari pengalaman itu aku belajar dua hal penting:

    • Sanksi perlu jelas dan proporsional.

    Bukan sekadar melampiaskan emosi, tapi memberi anak kesempatan memahami sebab-akibat dari perbuatannya. Sanksi sebaiknya sederhana, singkat, dan bisa dipahami anak. Misalnya: duduk sejenak di “kursi tenang”, tidak boleh bermain dengan mainan tertentu untuk sementara, atau diminta meminta maaf dengan tulus.

     

    • Setelah marah, tebus dengan kebaikan.

    Aku pernah mendengar sebuah rumus sederhana 1 : 5 yang kurang lebih maksudnya jika seorang ibu telah marah satu kali pada anaknya, maka ia harus mengganti dengan lima kali kebaikan untuknya. Bisa berupa pelukan hangat, ucapan sayang, membacakan buku favoritnya, menemani bermain, atau sekadar menatap matanya dengan penuh cinta. Dengan begitu, anak belajar bahwa meski ibu bisa marah, cinta ibu padanya tak pernah berkurang sedikit pun.

    Marah itu manusiawi, tapi jangan berhenti dimarahnya. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menutup momen itu dengan kasih sayang dan perbaikan. Karena sejatinya, anak tidak sedang mencari ibu yang sempurna. Mereka hanya butuh ibu yang selalu kembali pulang kepadanya dengan cinta.

     

    Bab 6 – Rumah, Madrasah Pertama

    Ada satu nasihat yang sering kudengar sejak hamil anak pertama: “Ingat, rumahmu adalah madrasah pertama bagi anak-anakmu”. Awalnya kalimat itu terdengar seperti petuah indah, sekadar kata-kata yang manis di telinga. Tapi semakin hari aku menjalani peran sebagai seorang ibu, semakin terasa betul maknanya. Rumah memang tempat segalanya bermula. 

    Disinilah anak belajar mengenal suara pertama, wajah pertama, pelukan pertama, bahkan kata-kata pertama. Dan aku sadar, setiap sikapku, bahkan hal kecil seperti intonasi saat berbicara, cara merapikan rumah, hingga bagaimana aku berbeda pendapat dengan suami, semua itu direkam oleh mata dan hati mereka.

    Salah satu momen yang membuatku semakin yakin bahwa rumah memang madrasah pertama adalah ketika anak sulungku untuk pertama kalinya menuliskan sebuah kalimat sederhana untukku. Ia menulis dengan tangannya sendiri, masih terbalut coretan polos anak-anak dan memberikannya padaku sambil tersenyum malu. Saat aku memandang tulisan itu, air mataku hampir jatuh. Rasanya seperti ada energi besar yang dititipkan Allah melalui kata-kata sederhana dari tangan mungil itu. Aku bahkan mengabadikannya di media sosialku, sebagai pengingat bahwa proses kecil yang terjadi di rumah ternyata sangat berarti dalam membentuk hati seorang anak.

    Foto itu kini tersimpan rapi, dan setiap kali melihatnya aku selalu teringat: anak-anak tidak hanya belajar dari buku, tapi dari atmosfer rumah yang setiap hari mereka hirup. Dari cara aku menyapanya pagi hari, dari doa yang kami ucapkan bersama, dari kebersamaan kami saat makan, hingga percakapan menjelang tidur.

     

    Rutinitas Harian Kami di Rumah

    Seiring waktu, aku belajar bahwa rumah tidak perlu selalu penuh aktivitas kreatif yang rumit. Justru rutinitas sederhana sehari-hari yang dihidupi dengan ruh kebersamaanlah yang membentuk karakter anak-anak.

    1. Rutinitas Pagi

    Hari biasanya dimulai dengan doa bersama, lalu membaca buku ringan. Setelah itu anak-anak belajar membereskan tempat tidur mereka sendiri, meski kadang hasilnya masih acak-acakan. Kami juga sering menyiapkan sarapan bersama. Ada momen kecil yang aku sukai, ketika mereka membantu pekerjaan dapur, mulai dari memecahkan telur, mengaduk adonan, atau sekadar menaruh sendok di meja makan sampai mencuci piring setelah makan. Saat sarapan bersama, kami biasanya ngobrol ringan tentang rencana hari itu, tentang imajinasi mereka yang diambil dari cerita buku atau sekadar bercanda.

    1. Rutinitas Siang

    Setelah makan siang, biasanya ada waktu belajar praktis atau eksplorasi. Kadang anak-anak membantuku melipat kain atau ikut mengucek baju. Di saat lain mereka bermain mandiri, membangun imajinasinya dengan balok atau mainan sederhana. Aku membiarkan mereka berkreasi, meski kadang rumah jadi berantakan. Di sinilah aku belajar untuk menahan diri: bahwa berantakan bukan berarti gagal, tapi tanda anak-anak sedang bertumbuh.

    1. Rutinitas Sore

    Jika suami tidak sedang dinas malam, sore hari menjadi waktu emas. Anak-anak bermain bersama Abinya, sementara aku ikut mendampingi atau sekadar mengamati dengan hati penuh syukur. Kadang terjadi konflik di antara mereka rebutan mainan, berbeda pendapat, bahkan sampai menangis. Tapi di situlah aku belajar, konflik adalah bagian dari proses belajar sosial anak. Yang penting, selalu ada ruang rekonsiliasi setelahnya.

    1. Rutinitas Malam

    Malam hari menjadi saat paling sakral bagi kami sekeluarga. Kami makan malam bersama sambil mengobrol tentang apa yang terjadi sepanjang hari. Setelah itu anak-anak membereskan mainan. Ritual sebelum tidur selalu sama: mandi, gosok gigi, berwudhu, membaca iqra’ atau Al-Qur’an, lalu membaca buku bersama. Saat lampu sudah diredupkan, biasanya ada deep talk kecil. Kami saling mengungkapkan perasaan, meminta maaf jika ada salah, mengucapkan kalimat sayang, lalu menutup dengan doa.

    Ritual sederhana ini membuatku sadar, hari-hari di rumah bersama anak-anak sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri. Mereka belajar adab, iman, kasih sayang, bahkan cara menghadapi konflik, semuanya dari atmosfer rumah.

    Reflection & Insight

    Di balik semua rutinitas ini, aku sering bertanya pada diri sendiri :

    – Apa yang anak-anakku pelajari dari rumah ini?

    – Apakah mereka menemukan kasih sayang, atau justru sering melihat emosi?

    – Apakah mereka belajar adab lebih dulu daripada sekadar akademik?

    Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pengingat bahwa rumah tidak harus selalu rapi atau penuh aktivitas kreatif. Yang lebih penting adalah “ruh” rumah itu sendiri, ruh kehangatan, ruh kebersamaan, ruh bahwa orang tuanya hadir bukan hanya secara fisik, tapi juga dengan hati.

    Semakin aku menjalani hari-hari ini, semakin aku menyadari: rumah adalah madrasah kecil yang Allah titipkan padaku untuk dijaga. Anak-anak tidak hanya belajar dari apa yang diajarkan, tapi lebih banyak dari apa yang mereka lihat setiap hari. Maka aku pun belajar, bahwa mendidik anak berarti juga mendidik diri sendiri.

    Madrasah pertama ini bukan hanya tentang “apa” yang anak-anak pelajari, tapi tentang “siapa” guru pertama mereka. Dan aku tahu, guru itu adalah aku. Maka tugasku adalah terus belajar menghadirkan kasih sayang, menjaga adab, dan menumbuhkan iman agar ruh rumah ini selalu hidup, dan menjadi cahaya bagi anak-anak di setiap langkah mereka.

     

     

    Kreator : Khairunissa (UmmuHanaHasan)

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bagian 2 – Belajar Menjadi Ibu

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021