
Aku tiba di Tokyo pada suatu pagi yang pucat di bulan Desember — musim yang seharusnya merayakan awal kehidupan baru, tapi bagiku terasa seperti halaman kosong yang masih mencari arti. Udara dari jendela Stasiun Chubu Centrair menyentuh wajahku seperti sapuan kertas kanvas yang baru dibuka: dingin, rapi, dan menakutkan dalam kebisuan.
Kereta melepasku menuju Nagoya dengan kecepatan yang tak memberi kesempatan untuk tengok ke belakang. Di luar kaca, aku melihat Jepang seperti barisan huruf Kanji yang berdiri tegak, aku belum mengerti maknanya. Gedung-gedung tampak disiplin, jalanan nyaris tanpa debu, dan di tepi rel, pucuk pucuk pohon berselimut titik salju memudar berguguran pelan — seolah menyambutku tanpa suara.
Aku mencoba menelan gugup yang menggerogoti. Di dalam dada, ada nostalgia Jogja yang masih hangat dan ketakutan baru yang tak bisa kuterjemahkan. Di sini, tidak ada Bagas yang menunggu di pintu, tidak ada tawa anak-anak yang memanggil “Ibu!” sambil menarik lenganku. Yang ada hanya aku — dan bayangan yang kurindukan tapi kutinggalkan.
Aku menulis di buku kecilku saat malam pertama di kamar asrama:
“Nagoya seperti jam pasir.
Aku berada di bagian sempitnya —
terjepit antara masa lalu dan masa depan
yang belum berani kusebut milikku.”
Kamar itu kecil, tak lebih besar dari ruang menyetrika di rumahku di Jogja. Tapi di sana aku harus belajar bernafas dalam sunyi yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Tidak ada ketukan pintu. Tidak ada suara riuh. Tidak ada siapa-siapa yang menanyakan apakah aku sudah makan.
Aku pernah mengira keheningan adalah hadiah bagi jiwa yang lelah. Tapi ternyata, keheningan yang tidak dipilih justru menggerogoti.
Hari pertamaku di kampus adalah pelajaran tentang menjadi asing.
Aku berdiri di antara mahasiswa Jepang yang berjalan cepat dan rapi, seperti aliran sungai. Mereka tahu arah mereka; aku hanya mengikuti arus.
“Sumimasen…” maaf
Aku mencoba bertanya letak ruang kuliah.
Seorang mahasiswi berhenti, menunduk sopan. “Daigaku kaigi-shitsu wa… kochira desu.” Ruang kuliah ada di sana, katanya sambil menunjuk satu ruangan.
Langkahnya ringan seperti angin, tapi bahasa asing itu bagai tirai kaca — terlihat, tapi tak tersentuh.
Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih yang masih kaku.
“Arigatou gozaimasu.” Terima kasih
Di dalam kelas, aku duduk di ujung, memeluk diri sendiri dalam bahasa yang belum kupahami. Dosen berbicara cepat, suara spidol menyayat papan tulis, laptop menyalak sunyi — semua terasa seperti mimpi yang tak kumengerti.
Aku menatap keluar jendela: ranting ranting bergoyang pelan di udara dingin.
Aku bertanya dalam hati:
Apakah ini harga dari mimpi yang terlambat dikejar?
Sore itu, sebelum kembali ke asrama, aku memberanikan diri ke supermarket.
Ternyata sunyi adalah bahasa pertama yang harus kupelajari di Jepang.
Suara pintu otomatis berbunyi piiin…
Pegawai menyapa singkat tanpa kontak mata:
“Irashaimase.” Selamat datang
Aku melangkah pelan, mengambil roti, susu, dan beberapa buah.
Ketika sampai di kasir, aku sedikit panik — bukan karena harga, tapi karena aku lupa cara menjadi manusia yang tak dikenal siapa pun.
Kasir bertanya panjang dalam bahasa Jepang. Aku terpaku.
Keringat dingin muncul, pipiku memanas.
“Ano… wakarimasen,” maaf saya tidak mengerti
Aku berbisik, hampir memohon maaf pada dunia.
Kasir itu menunjuk tas belanja plastik.
“Oh, bag… yes, please.” Oh…tas, ya terimakasih
Aku merasa kecil. Seolah semua langkahku harus dimulai dari nol.
Keluar dari supermarket, angin dingin menyapu wajahku. Aku menengadah pada bulan yang menggantung jauh.
“Tuhan,
apakah aku terlalu sombong bermimpi pergi sejauh ini?”
Setiap akhir pekan, aku mengirim email ke rumah rumah.
“Kepada Lintang dan Bima,
Ibu sehat di sini. Semoga segera meninggalkan musim dingin. Kabarnya bulan Januari juga masih dingin. Semoga segera musim semi. Ibu ingin melihat bunga Sakura. Kabarnya seperti hujan permen kapas kalau dilihat dari bawah.
Kalau kalian di sini, Ibu akan jadi orang paling bahagia di Jepang.”
Aku sisipkan gambar yang kauwarnai sendiri — bunga sakura versi tanganku yang gemetar oleh rindu.
Beberapa hari kemudian, email balasan datang. Ada foto tulisan tangan Lintang yang baru belajar huruf sambung.
Ibu, cepat pulang ya. Bima setiap malam tidur sambil pegang foto Ibu.
Hatiku runtuh tanpa suara.
Aku hanya bisa memeluk udara yang tak bisa menjawab pelukanku.
Aku pernah bertanya:
Bagaimana caranya rindu tidak menyakiti?
Namun tak ada yang mengajariku untuk menjawabnya.
Profesor pembimbingku, Sato-sensei, adalah lelaki tua dengan rambut abu dan mata yang teduh.
Pertemuan pertama kami berlangsung di perpustakaan kampus — tempat yang sunyi, tapi hangat oleh ilmu.
Ia menghampiri mejaku, melihat buku catatan yang penuh tulisan tanganku.
“Apa yang sedang kamu tulis?” suaranya lembut, bahasa Inggrisnya nyaris berbisik.
“Tentang rumah,” jawabku.
“Rumahmu di Indonesia?”
Aku mengangguk.
Ia menghela napas pelan, seperti seseorang yang mengerti lebih banyak dari yang ia ucapkan.
“Saya pernah belajar di Eropa,” katanya. “Dan saya ingin pulang setiap hari. Tapi saya bertahan… sampai suatu hari saya sadar—”
Ia menatapku, menghentikan kalimatnya di udara.
“Bahwa rumah kadang bukan tempat yang kita tinggalkan…
melainkan tempat kita sedang menjadi.”
Aku tak bisa menjawab. Kata-kata itu terasa seperti desau angin yang jatuh di hatiku. Kecil, tapi menimbulkan riak yang jauh.
Waktu berputar cepat di negara ini. Pohon yang dulu telanjang mulai penuh kuncup. Dan aku pun berubah tanpa sadar. Hari-hariku diisi dengan kelas bahasa, diskusi riset, membaca jurnal, dan berjalan sendirian melalui jalanan kota yang terlalu teratur untuk air mata yang tak teratur.
Aku mengamati kehidupan yang tidak membutuhkan kehadiranku untuk terus berjalan:
Seorang ibu membungkuk dalam kepada guru TK anaknya — hormat yang penuh cinta.
Pelajar menunggu kereta tepat satu garis dari tepi — disiplin yang tak pernah dilatih dengan teriakan.
Lelaki tua memberi makan burung merpati — dengan kesabaran seolah ia sedang memberi makan waktunya sendiri.
Aku mencatat semuanya, sebagai bukti bahwa dunia bisa sangat mudah — dan sangat sunyi.
“Nagoya mengajariku bahasa baru:
bukan Jepang.
Tapi bahasa kesendirian yang tidak merajuk.”
Suatu malam, aku pulang terlambat dari perpustakaan. Angin dari Sungai Kiso menggigit hingga ke tulang. Aku merapatkan mantel, menunduk melawan angin.
Di persimpangan, lampu merah menyala. Tak ada mobil, tapi aku berhenti. Di Jepang, aturan adalah bagian dari udara.
Di seberang jalan, aku melihat seorang ibu muda menggendong anak kecil. Mereka tertawa pelan, hangat.
Dadaku serasa diremas.
Tanpa sadar, aku berbisik:
“Lintang, Bima, Ibu kangen…”
Seorang perempuan muda berdiri di sampingku, mungkin mendengar rengekan lirihku. Ia menatapku singkat.
“Daijoubu desuka?” apakah anda baik baik saja?
Aku mengangguk terlalu cepat.
“Haik… daijoubu desu.” Ya saya baik baik saja
Padahal tidak.
Aku tidak baik-baik saja.
Aku merasa seperti huruf kanji yang ditulis tidak sempurna — bentuknya ada, maknanya hilang.
Namun — justru dalam sunyi itu — aku menemukan bagian dari diriku yang selama ini terkubur:
Perempuan yang tidak hanya menjadi istri.
Tidak hanya menjadi ibu.
Tidak hanya menjadi penopang bagi kehidupan orang lain.
Perempuan yang punya suara sendiri.
Aku mulai menulis bukan lagi untuk lari, melainkan untuk kembali:
kembali kepada diri yang dahulu pernah bermimpi.
“Aku bukan hilang.
Aku sedang belajar muncul.”
Sunyi di Nagoya bukan lagi musuh.
Ia menjadi guru yang perlahan memahatku agar lebih kuat, lebih jernih.
Aku belajar menyeduh teh dengan sabar.
Aku belajar menikmati jam makan sendirian tanpa merasa gagal.
Aku belajar mendengar jam berdetak tanpa merasa tergesa-gesa.
Aku belajar mengenali diriku
tanpa nama siapa pun melekat padaku.
Bulan Januari datang seperti tamu tanpa senyum. Ia masuk begitu saja ke dalam kamarku lewat celah jendela, menyusup hingga ke tulang, bahkan ke tempat yang paling tersembunyi: ketahanan hatiku.
Aku seperti hidup dalam jeda, mengharapkan lebih banyak kehangatan musim semi. Rasa takut yang selama ini muncul tanpa permisi, sedikit luluh oleh pucuk pucuk daun yang bermunculan dari pohon pohon yang dibalut kain. Saat semua orang menutup pintu dan jendela, aku bertanya pada diriku sendiri:
“Semakin jauh aku pergi, semakin kecil kah ruangku di hati mereka?”
Telepon dari rumah tidak lagi sesering awal aku pergi.
Suara Bagas terdengar makin pendek, makin datar—
seperti seseorang yang berlari dan tak ingin berhenti untuk menjelaskan ke mana ia sudah sampai.
“Di sana dingin sekali, ya?”
Hanya itu yang ia tanya.
Aku ingin cerita tentang es yang menempel di jendela, tentang jemariku yang kaku saat menekan tombol telepon umum, tentang malam-malam panjang ketika aku tertidur dengan buku terjepit di dada agar rindu tidak menyusup ke mimpi.
Tapi yang keluar hanya:
“Iya. Sangat.”
Hening mengambil alih.
Telepon terputus sebelum aku sempat bertanya:
Kapan kamu merindukanku?
Apakah kamu benar-benar merindukanku?
Hari-hari berlalu dalam putih yang tidak memaafkan. Aku sering memandangi sisa sisa dari jendela bus kampus — kepingannya seperti ribuan pertanyaan tanpa jawaban.
Di kelas bahasa Jepang, aku semakin serius belajar—bukan karena ambisi akademik, tapi karena aku takut tenggelam dalam ketidakmengertian.
Suatu kali, karena gugup saat presentasi, aku salah mengucap “atsui” menjadi “atai”—dan seluruh kelas menahan tawa. Aku menunduk, wajahku panas oleh rasa malu yang menusuk.
Setelah kelas, seorang mahasiswa perempuan menghampiriku.
Namanya Minako. Senyumnya lembut seperti teh hangat.
“Daijoubu. Minna machigaeru,” katanya. Tidak apa-apa. Semua orang pernah salah.
Aku mengangguk, tapi suaraku tercekat.
Ia lalu menambahkan dalam bahasa Inggris,
“Your Japanese will bloom. Just like sakura… after winter.” Bahasa Jepangmu akan berkembang. Seperti bunga sakura setelah musim dingin
Kata-katanya sederhana, tapi terasa seperti selimut pertama yang kuterima di negara ini.
Kami mulai sering belajar bersama.
Kadang ia mengajakku ke kantin, makan udon panas saat salju turun di luar jendela. Aku belajar cara Jepang menghangatkan diri — bukan dengan percakapan panjang, tapi dengan kebersamaan yang pelan.
Namun persahabatan tidak bisa sepenuhnya mengisi ruang rindu.
Suatu malam, setelah mandi air panas, aku menerima telepon dari Indonesia.
Suara Lintang langsung menggedor dinding hatiku:
“Ibu… adik Bima jatuh. Lututnya berdarah. Ibu kapan pulang?”
Dadaku serasa diremas.
“Ada Ayah, kan? Ayah bantu?”
Lintang terdiam sesaat.
Ada suara perempuan di belakangnya— kelihatan Bagas sedang berbicara dengan seseorang.
“Ibu… ada tante… siapa ya namanya… Dia sering datang ke rumah…”
Aku menegang. Ada suara langkah, lalu telepon direbut Bagas cepat sekali.
“Sudah ya. Anak-anak mau tidur. Jangan buat mereka susah tidur ”
Klik.
Telepon mati.
Aku menatap ponsel buta itu dengan gemetar.
Di belakang kaca yang berembun, angin turun semakin rapat oleh titik titik salju — putih yang begitu indah, tapi kini terasa seperti ancaman.
Aku berkata dalam hati:
“Jarak bukan hanya memisahkan tubuh.
Ia membentangkan bayangan yang tak ingin kita lihat.”
Aku tidak menangis malam itu.
Tangis membutuhkan tenaga.
Aku memilih menyimpan tenaga untuk bertahan esok hari.
Esoknya, aku menemui Profesor Sato di ruangannya.
Matanya langsung membaca seluruh kekacauan jiwaku.
“Kamu datang lebih pagi dari biasanya,” katanya.
Aku membungkuk pelan. “Hai.”
Kami duduk lama dalam diam yang tidak memaksa.
Akhirnya ia bertanya:
“Kau merindukan rumah?”
Air mataku jatuh tanpa meminta izin.
Aku menunduk, malu pada kerentanan yang mengalir begitu mudah.
“Sensei… Aku takut. Aku takut ketika aku kembali, rumah sudah tidak mengenal aku lagi.”
Profesor Sato terdiam sesaat.
Ia menatap keluar jendela—salju turun perlahan di balik kaca.
Lalu ia berkata:
“Rumah bukan tempat yang menunggumu tetap sama.
Rumah adalah tempat yang berharap kamu pulang dengan versi terbaik dirimu.”
Aku mengusap pipiku. “Bagaimana jika mereka tidak menyukai versi itu?”
Ia tersenyum sangat tipis, hampir seperti kenangan yang takut terungkap.
“Kalau begitu, kamu harus menjadi rumah bagi dirimu sendiri dulu.”
Kata-katanya merayap masuk ke luka-luka batinku seperti balsem.
Aku mulai belajar bahwa kesendirian bukan hukuman,
melainkan tempat untuk bernegosiasi dengan diri sendiri.
Aku berjalan lebih banyak.
Aku menulis lebih banyak.
Aku mulai memotret salju di sudut-sudut kota—
karena aku ingin percaya, meski dingin menyakitkan, ia juga bisa indah.
Dari Minako aku belajar satu kalimat baru:
「一人じゃない」
Hitori ja nai — Kamu tidak sendirian.
Aku mencoba mengucapkannya pada diriku sendiri setiap malam.
Namun kejutan hidup jarang datang satu per satu.
Suatu sore, aku menerima email dari Jogja:
ada pergantian kebijakan yang membuat studiku ditambah 6 bulan tapi aku harus mempercepat laporan laporan jurnal dan penelitian.
Aku limbung. Aku merasa seperti berjalan di atas es yang semakin rapuh. Tapi juga seperti percikan kembang api yang merayakan waktu untuk lebih mengenal sudut sudut lekukan rahasia tulisan kanji.
Aku mendial nomor Bagas. Telepon berdering sangat lama sebelum akhirnya dijawab.
“Ada apa?” nadanya lelah, atau mungkin bosan.
Aku ingin menjelaskannya pelan, berharap ia menyimak.
Tapi suaranya memotong:
“Kamu kuat, kan? Kamu yang ingin sekolah ke Jepang.
Jadi, jangan minta aku selalu pegang tanganmu.”
Kalimat itu menusuk lebih tajam daripada dingin di udara.
“Bagas… aku hanya ingin kamu dengarkan.”
“Buang waktuku kalau cuma curhat. Aku banyak kerjaan.”
Klik.
Telepon itu mati sebelum aku sempat bernapas.
Aku rasa… itulah saat ketika hujan yang dulu menutup isak di Jogja
kini berubah menjadi salju yang membekukan air mataku di Nagoya.
Aku bersandar pada pintu kamar.
Jam dinding berdetak seperti langkah kaki waktu yang meninggalkan aku sendiri.
Aku memanggil napasku pelan:
“Aku tidak sendiri. Aku hanya sedang belajar menjadi lengkap meski sendiri.”
Untuk pertama kalinya, aku mempercayai kalimat itu— walau sebagian hatiku masih tidak yakin.
Malam itu, aku membuka jendela. Udara dingin menerpa wajahku, tapi aku tidak menutupnya.
Aku memandang langit gelap Nagoya dan berkata:
“Aku datang sejauh ini bukan untuk kembali patah. Aku akan pulang—tapi bukan sebagai bayangan siapa pun.”
Salju turun pelan di luar, menutupi jejak siapa pun yang lewat.
Tapi di dalam diriku, ada jejak baru yang mulai muncul: jejak seorang perempuan yang tidak lagi menunggu diselamatkan.
Aku menulis kalimat terakhir sebelum tidur: “Musim dingin adalah cara bumi mengingatkan kita: untuk kembali tumbuh, kadang kita harus membeku dulu.”
Kreator : Shavitri Nurmala Dewi
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bagian IV — Lagu Keempat: Nagoya dan Dunia yang Lebih Luas
Sorry, comment are closed for this post.