KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bahagia yang terenggut

    Bahagia yang terenggut

    BY 27 Okt 2024 Dilihat: 181 kali
    Bahagia yang terenggut_alineaku

    Sesosok tubuh lelaki tinggi besar itu tergeletak tak berdaya di kamar. Hampir dua pekan lelaki itu, suamiku, merasa badannya meriang. Suhu badannya terasa biasa saja, namun ia kadang menggigil, pilek tak berkesudahan, disertai batuk hebat yang kadang mengganggu tidurnya terlebih kala malam hari. Beberapa kali pula aku merayu beliau untuk diajak berobat. Namun, hasilnya nihil. Suamiku tak juga bersedia, dia hanya minta obat kepada keponakannya, Ana,  yang bekerja sebagai seorang bidan. Mas Syukur khawatir jika dibawa ke dokter, akan didiagnosis terkena virus yang sedang marak terjadi bahkan menjadi pandemi yang mendunia, virus corona.

    Aku sangat kasihan melihatnya, susah sekali untuk diajak makan, sering aku menyuapinya agar ada makanan yang masuk ke tubuhnya meski hanya beberapa suap yang berhasil ia telan. Lidahnya tak mampu merasakan makanan yang masuk ke mulutnya. Setiap kali mas Syukur minum obat yang diberikan Ana, ia merasa kondisinya lebih baik. Tetapi setiap kali persediaan obat itu habis, ia kembali merasakan meriang seperti sebelumnya. 

    Di tempat yang lain, tubuh renta Mamak mertuaku juga terbaring tak berdaya di kamarnya. Aku bolak balik mengurus kedua orang yang sangat kuhormati dan ku sayangi itu.

    Kakak suamiku yang tinggal di kota lain, setiap hari beliau menelepon, menanyakan kabar Mamak dan suamiku. Virus yang sedang “menggila” itu, membuat mereka tidak dapat sesering mungkin mengunjungi kami. 

    Pagi itu, hari Senin, aku sengaja memasak makanan kesukaan suamiku, pindang patin, yang bahan-bahannya aku pesan lewat tetanggaku. Dia mengabariku lewat WhatsApp bahwa pesananku sudah diletakkannya di kursi teras rumah. Uangnya biarlah besok saja, pesannya.

    Selesai masak, aku menyiapkan satu porsi makanan untuk suamiku dan satu porsi makanan untuk mamak mertua. Aku mengantarkan makanan sekaligus segelas air minum hangat ke kamar Mamak terlebih dulu. Menunggunya sementara waktu, memastikan makanan itu masuk ke perut Mamak meskipun hanya dua atau tiga suap yang berhasil masuk. Namun, itu sudah cukup melegakan hatiku. 

    Aku keluar dari kamar Mamak membawa piring yang bagaikan tak tersentuh itu. Hatiku sedih melihat mereka dalam kondisi tak berdaya seperti itu. Namun, aku tidak boleh menunjukkan perasaan itu kepada mereka, aku harus terlihat semangat agar mereka juga semangat untuk sehat. 

    Kedua anak lelakiku, sengaja aku larang mendekati Ayah dan Neneknya. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, virus yang terkenal mudah sekali menular lewat kontak fisik dan udara itu, aku khawatir akan menular kepada keduanya jika mereka mendekat. Sedangkan anak kembarku, aku meminta kepada pengasuhnya untuk sementara waktu kembarku menginap di rumahnya sampai situasi dan kondisi ayah dan neneknya sehat.

    Lalu, aku mengambil seporsi makanan yang telah kusediakan untuk Mas Syukur. Perlahan pintu kamar aku buka, aku masuk ke dalamnya, duduk di samping suamiku, menyuapinya. Hanya satu suap yang berhasil masuk ke mulutnya. Aku merayunya untuk makan agak banyak, namun usahaku sia-sia. Mas Syukur tak juga membuka mulutnya. Tangannya yang bergerak hendak mengambil air minum di meja kamar terlihat gemetar. Aku segera mengambil gelas itu, membantunya membawa gelas itu ke mulutnya. Beberapa teguk air hangat yang kusediakan itu berhasil masuk ke kerongkongannya.

    “Pak, makan yang banyak biar cepat sembuh,” ucapku memelas.

    “Sudah, Bu,” jawab suamiku. Meski aku terus memintanya membuka mulut namun beliau tetap saja tidak membuka mulutnya.

    Aku menampakkan rasa sedihku di hadapannya. 

    “Bu, duduk sini,” pintanya ketika aku hendak beranjak keluar. Aku menurutinya, duduk di sampingnya. 

    Aku terdiam menunggu beliau yang sepertinya ingin menyampaikan sesuatu. 

    “Bu, tolong ambilkan pulpen sama kertas,” ucap suamiku. Tanpa banyak bertanya aku segera mengambil pulpen dan kertas dari atas meja kerja yang berada di samping ranjang tidur. 

    Aku menatapnya, bertanya dengan isyarat mataku.

    “Apa yang harus kutulis?” begitu mataku bertanya. 

    Beliau lantas memintaku menulis sejumlah uang kas sekolah yang ada pada beliau. Beliau adalah bendahara sekolah di sebuah MTs swasta dekat rumah. Sejumlah uang kas kelompok tani, beliau juga adalah bendahara kelompok tani. Dan sejumlah uang milik kakak pertama suami yang dititipkan pada beliau. 

    “Mengapa? Ada apa? Bapak pasti akan sembuh,” ucapku menatapnya tak mengerti. 

    “Jaga-jaga aja, Bu. Kalau ada apa-apa, Ibu sudah punya catatannya. Buku rekening, ATM, dan PIN ATM ada di brankas di lemari itu,” tunjuknya pada sebuah lemari pakaian di sudut kamar.

    Aku tak dapat berkata, mendengarnya seolah mengatakan seperti itu tak dapat kutahan air mata begitu saja tumpah dari kedua mataku. Di sela isakku, aku kembali mengajaknya bicara agar mau berobat ke rumah sakit. 

    “Iya, aku mau. Tapi aku minta di bawa ke klinik terdekat aja ya, Bu.” pintanya. Aku bersyukur akhirnya suamiku mau ku ajak berobat. 

    Aku segera menelpon kakak yang ada di kota bahwa suamiku bersedia di bawa ke klinik. Dengan menggunakan pakaian pelindung diri seadanya, mereka segera meluncur ke rumah kami. Membawa kedua orang terkasih  ke klinik terdekat. Hasil swab test menunjukkan bahwa keduanya dinyatakan positif corona. Aku limbung, duniaku runtuh. Kakak bergerak cepat menghubungi saudara yang seorang bidan untuk mencari info rumah sakit yang masih menyediakan kamar isolasi untuk mereka berdua. Namun,  dalam kondisi pandemi seperti ini tak satupun rumah sakit yang masih menyediakan kamar kosong untuk isolasi. Pihak klinik juga tidak menyediakan kamar isolasi, mereka menyarankan agar kami melakukan isolasi mandiri. 

    Kami pulang dalam kondisi hati tak karuan. Bayangan dampak virus corona terbayang di pelupuk mataku. Aku menarik nafas perlahan, mengusir embun yang mengambang di mataku. Situasi ini begitu sulit. Terbayang sudah kondisi kami setelah ini, menjalani isolasi mandiri.

    Tak putus asa, kami menghubungi beberapa sahabat yang mungkin saja dapat memberi info kamar isolasi di sebuah rumah sakit. Namun, hingga sore hari, nihil. Perasaanku bercampur aduk. Saat orang lain sedang mempersiapkan makanan untuk hari raya kurban esok hari, di sini kami sedang berjuang mencari kamar isolasi. Kami justru harus mengucilkan diri. Terisolasi dari tetangga dan juga saudara. Hatiku terasa teriris dan merasa pilu. 

    “Semua ini akan segera berlalu. Mas Syukur akan segera sehat setelah ini.” Begitu pikiran yang melintas di kepalaku. Aku menanamkan keyakinan dalam hati dan memberikan semangat untuk diriku sendiri. 

    Hingga malam hari, saat suara takbir berkumandang dari masjid dekat rumah, sebuah telpon masuk dari saudaraku, mengabarkan ada satu kamar isolasi yang kosong. Aku dan saudara-saudaraku berkomunikasi bermusyawarah menentukan untuk siapa kamar tersebut. Setelah melalui musyawarah tersebut, kami sepakat mamak yang akan kami dahulukan. Namun saat kami sampaikan kepada mamak berita itu, beliau tidak bersedia. Bujukan kami tak dihiraukannya. Beliau tetap bertahan untuk tetap di rumah menjalani isolasi mandiri bersama anak lelakinya. 

    Hingga pagi menjelang, saat orang berduyun-duyun hadir ke Masjid untuk mengikuti sholat Idul Adha meski dengan menggunakan masker. Di rumahku, tak ada masakan khusus hari raya kurban seperti biasanya. Pun tak ada kesibukan meneriaki anak-anak untuk segera mandi dan bersiap ke Masjid. Kami semua justru sibuk berjemur diri termasuk kedua anak lelakiku, berharap virus corona itu akan segera berlalu dari keluarga kami.  

    Semakin siang kondisi Mamak semakin memprihatinkan. Erangan yang keluar dari lisannya membuatku begitu khawatir dan cemas. Aku kembali merayunya agar mau di bawa ke rumah sakit untuk menjalani isolasi di sana. Merasakan kondisi tubuhnya yang semakin lemas tak tertahan dan entah apa yang dirasakannya, akhirnya beliau menyatakan bersedia di isolasi di rumah sakit. 

    Tak menunggu waktu lagi, aku segera menyampaikan hal tersebut kepada kakak suamiku. Mereka kembali meluncur ke rumah, sepulang mereka dari sholat ied, bersiap membawa Mamak ke rumah sakit. 

    Aku merasa sedih karena tidak bisa ikut merawat Mamak mertuaku. Tetapi, saudara-saudara suamiku membesarkan hatiku, meyakinkan bahwa Mamak sudah ada yang merawat. Aku diminta untuk fokus merawat suamiku. 

    Tinggallah aku bersama suami dan kedua anak bujangku. Kedua anak lelakiku, aku minta untuk menjauh dari kami. 

    “Badan Bapak rasanya sudah enteng, Bu,” ucap suamiku ketika kami berjemur diri di samping rumah. 

    “Alhamdulillah, Pak. Semoga semakin membaik. Berarti Bapak tinggal pemulihan. Mudah-mudahan segera sehat lagi, ya, Pak,” sambutku bahagia mendengar apa yang diucapkan oleh suamiku. 

    Hari itu aku lalui dengan semangat dan perasaan optimis. Aku yakin bahwa suamiku akan segera sembuh dan pulih kembali.  

    Malam itu, di ruang tamu aku menunggu suamiku sembari membaca Al-Qur’an. Perlahan perasaan tenang menyusup dalam jiwaku. 

    Kuyakinkan suamiku tidur terlebih dahulu sebelum akhirnya aku beranjak menengok kedua anak lelakiku di kamar mereka masing-masing. 

    Malam semakin larut ketika aku beranjak ke kamar untuk tidur. Namun, meski di tengah lelap tidurku, tiba-tiba aku terjaga ketika mendengar suara dengkuran yang amat keras dari kamar di mana suamiku beristirahat. Semenjak beliau dinyatakan positif corona, aku diminta untuk tidur terpisah. 

    Sesekali aku terbangun menengok kondisi suamiku. Namun, malam itu suara yang ku dengar lain dari dengkuran biasanya. Kudekati kamar suamiku, lalu aku masuk ke kamar beliau dan mendekatinya. Tiba-tiba ia membuka matanya dan melihatku yang mendekatinya. Nafasnya terlihat tersengal. 

    “Pak, kenapa suara nafas Bapak seperti itu?” aku masih juga belum sadar dengan kondisi suamiku yang seperti itu. 

    Semakin lama, nafas suamiku semakin tersengal. Aku seperti tersadar dari mimpi buruk. Seketika itu aku mengambil ponsel, menelepon Ana, lalu menceritakan kondisi suamiku. Ana mengambil langkah cepat, bergegas ke rumah membawa tabung oksigen, memasangkannya untuk membantu pernafasan suamiku, menghubungi rumah sakit, namun tak ada kamar isolasi yang kosong, semua penuh karena memang situasi corona yang sedang memuncak. Setelah menghubungi sana sini, pada akhirnya Ana mendapatkan info kamar isolasi di puskesmas terdekat. Ana segera menghubungi mobil ambulans dan membawa suamiku ke puskesmas tersebut. 

    “Lawan virus ini, ya, Pak. Bapak atur nafas pelan. Bapak harus sembuh. Ingat anak-anak masih kecil, masih sangat membutuhkan Bapak.” Sepanjang jalan aku memberikan semangat kepada suamiku. Aku membisikkan kalimat itu kepada suamiku, meski air mata mendesak untuk keluar. Aku menahannya sekuat yang aku mampu. Aku tidak mau menampakkan kesedihan di hadapan suamiku. 

    Mobil ambulans bergerak secepat mungkin untuk sampai ke puskesmas tujuan. Bergegas membawa suamiku menuju kamar isolasi, mengganti oksigen puskesmas yang lebih besar. Sesekali dokter memeriksa suamiku, dengan menggunakan APD (Alat Pelindung Diri). 

    Setelah memeriksa suamiku, dokter memintaku mengikutinya ke ruangannya. 

    “Bagaimana kondisi suami saya, dokter?” tanyaku tanpa menunggu beliau duduk.

    Dokter itu menatapku sejenak, kemudian menghela nafas pelan. Beliau duduk dan mempersilahkan aku untuk duduk.

    “Banyak  do’a, ya, Bu. Segala ketentuan ada di tangan Allah. Namun, dengan kondisi suami ibu seperti ini, kita hanya bisa pasrah sepenuhnya kepada Allah. Ibu harus mempersiapkan hati, jika terjadi sesuatu,” ucap dokter tersebut.

    Aku sudah tidak mendengarkan apa yang beliau sampaikan lebih lanjut. tangisku pecah seketika, bayangan buruk muncul  di kepalaku. Aku meraung pilu. Beberapa saat tangisku tak juga reda. Sekuat tenaga aku mencoba mengendalikan diri. Bergegas aku menuju kamar isolasi dimana suamiku berada. Aku tak kuasa menatap wajahnya. Mataku sembab. 

    “Bapak harus sembuh, ya, Pak. Ingat si kembar. Bapak harus melawan virus ini,” ucapku dengan suara serak. 

    “Iya.” Hanya itu yang keluar dari lisan Mas Syukur. 

    Semakin lama nafasnya semakin tak terkendali. Aku menjerit tertahan, mencoba menguatkan diriku, menguatkan suamiku. Aku berharap akan ada keajaiban. Berharap suamiku membaik dengan bantuan oksigen itu. Namun, takdir tak berpihak kepada kami. Sejenak suamiku menatap ke arah pintu, detik berikutnya tubuhnya dingin.

    Aku masih mengajaknya bicara, mengajaknya membaca dzikir, mengajaknya semangat sehat. Namun, tubuhnya tetap saja dingin dan Aku belum percaya bahwa tubuh suamiku tak lagi bernyawa. 

    “Bapak!!!”

    Aku menjerit histeris. Memeluk tubuhnya. Mengguncangkan tubuhnya, memaksanya untuk merespon panggilanku. Aku menangis menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Kebahagiaan bersamanya selama ini, terenggut dalam sekejap. Aku  meraung tiada henti.

    Hingga tubuh suamiku di bawa pulang ke rumah, aku masih menangis pilu, menggoncangkan tubuhnya, memintanya menjawab panggilanku. Di rumah tak banyak orang yang hadir. Mereka semua mengenakan APD. Tetangga menatap dari jauh, menggunakan protocol kesehatan, memaksakan dirinya untuk menghadiri proses pengurusan jenazah mas Syukur. Tak berani mendekat. Tubuhku lunglai tak berdaya bagaikan kain basah, pandangan mataku kabur. Kedua anak lelakiku, mereka mendekat, membantuku turun dari mobil ambulans,  memapah tubuhku masuk ke dalam rumah. 

    Takdir telah merenggut suami dariku, merenggut Ayah dari anak-anakku, merenggut bahagia dari keluargaku. 

      

     

     

    Kreator : Suharni

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bahagia yang terenggut

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021