Tidak dapat dipungkiri, salah satu adaptasi yang cukup menantang buatku selama membersamai anak-anak dalam belajar di Pulau Nias adalah perbedaan bahasa. Disini masih umum digunakan bahasa daerah sebagai bahasa percakapan sehari-hari, termasuk di sekolah. Seringkali aku bertanya-tanya sendiri makna dari percakapan orang-orang disini ketika mendengarkan mereka berbicara. Meski demikian, aku cukup bersyukur karena seringkali anak-anak berinisiatif mengajariku bahasa Nias.
“Ibu, kalau artinya tangan apa?”
“Apa?”
“Danga”
“Ibu, kalau artinya rumah apa?”
“Apa?”
“Nomo”
Dan masih banyak lagi kosa kata bahasa Nias yang mereka ajarkan. Sekaligus kalimat sehari-hari yang biasa dipakai dalam percakapan.
Bagiku sendiri, mempelajari bahasa Nias cukup menantang karena tata bahasa Nias berbeda dengan bahasa Indonesia. Salah satu contohnya, jika dalam struktur bahasa Indonesia, subyek biasanya berada di depan kalimat, sedangkan dalam bahasa Nias struktur subyek kalimat berada di belakang kalimat. Misalnya “mangado” arti tepatnya adalah “makan aku”, dimana kata “aku” sebagai subyek berada di belakang kalimat.
Kalimat tersebut hanya salah satu contoh dari banyak tata bahasa Nias yang berbeda dari tata bahasa Indonesia. Belum lagi kosa kata tunggal dan jamak yang berbeda. Contohnya seperti yang ku ketahui kemarin dari salah satu rekan guruku. Dalam bahasa Nias, nogu artinya anak. Jika dalam bahasa Indonesia, anak-anak berarti anak yang banyak, dengan pemahaman tersebut maka aku biasa memanggil anak-anak di sekolah dengan kosa kata nogu-nogu. Akan tetapi, salah satu rekan guruku memberitahu kalau anak-anak artinya iraono dalam bahasa Nias, bukan nogu-nogu. Sejujurnya agak malu ketika diberitahukan seperti itu, tapi dengan kesalahan-kesalahan yang kualami ketika mempraktekkan bahasa Nias, aku jadi belajar apa yang benar.
Perbedaan dalam tata bahasa ini seringkali menjadikan anak-anak di sekolah kesulitan dalam pelajaran yang membutuhkan pemahaman literasi mereka. Karena belum membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia, maka belum banyak kosa kata Indonesia yang mereka kuasai, sehingga ketika mereka membaca bacaan panjang, beberapa kosa kata dalam bahasa Indonesia belum mereka ketahui. Hal ini juga merupakan tantangan bagiku sendiri untuk mengajak guru-guru untuk membersamai anak-anak dalam pemahaman literasi yang lebih baik lagi.
Meski sumpah pemuda sudah dikumandangkan sejak lebih dari 90 tahun yang lalu, akan tetapi masih ada tantangan-tantangan yang dihadapi oleh bangsa dalam mencerdaskan generasi penerusnya, salah satunya adalah tantangan bahasa. Momen sumpah pemuda ini merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan lagi sudah sejauh apa upaya kita untuk ikut memaknai persatuan Indonesia, termasuk persatuan dalam mencapai impian bangsa kita untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, apapun suku dan bahasanya.
Salam sumpah pemuda!
*Tulisan ini pernah dipublikasikan di blog pribadi senandikafadiya.wordpress.com
Kreator : Fadiya Dina H
Comment Closed: Bahasa, Literasi, dan Pendidikan Indonesia
Sorry, comment are closed for this post.