Malam sangat pekat memayungi langit yang terisak…
duduk diam dalam keheningan…
Hilang…
Ada yang hilang…
–
“Pak… Ini Dede datang, Pak.”
Alisnya terangkat, matanya tetap terpejam, tubuhnya terbaring lemah tanpa daya hanya terdengar suara hembusan nafas yang terus berulang melalui selang.
“Pak, yang kuat, ya. Doa ya, Pak.”
Matanya terbuka menatap penuh duka. Ku genggam tangannya yang terpaksa harus diikat karena hati teriris dan berontak pada peralatan medis.
–
“Punteeeennn…ini…” Seorang pengamen datang membawa dan menyerahkan sebuah gitar kecil miliknya.
“Apa ini, teh?”
“Ini, kata Bapak suruh bawain ke sini.”
Setengah bingung aku pegang gitar itu dan pengamen pun pergi. Tak berapa lama Bapak pun datang.
“Pak, ini buat Dede?”
Bapak hanya tersenyum dan berkata, “Ya. Kamu kan mau. Tapi, Bapak ndak bisa beliin yang baru. Tadi ditukar sama uang lima puluh ribu. Eh, dia mau. Sekalian buat hadiah Dede ikut tes masuk universitas.”
“Wahh!! Makasih ya, Pak.”
Aku mulai asik sendiri dengan gitar kecil tadi dengan mencoba memainkan lagu lama.
Kekasihku apa yang kau risaukan?
Kerjamu hanya melamun saja.
Tak berguna kau bersedih hati, tertawalah sayaaang.
“Haduuhh, dari tadi lagunya ituuuuu terus.” Mamah mulai terganggu.
“Iya, Mah. Katanya kan kalau main gitar harus belajar satu lagu sampai lancar baru nanti bisa nyanyi semua lagu” jawabku.
–
“Apa itu, Suster?”
“Ini makanan buat Bapak.” Suster kembali menyuntikan makanan melalui selang.
“Makan yang banyak ya, Pak. Supaya cepet sembuh.” Aku berbisik di telinganya. Berharap bisikanku terdengar olehnya.
–
“Eeeeee….. Bapaaaaakk….!!!” Panggilku kaget sekaligus senang. Tergesa Aku masuk dalam warung burjo (bubur kacang ijo) dekat kos-ku. Ternyata Bapak sudah cukup lama menunggu.
“Baru pulang, De?”
“iya, Pak. Bapak udah dari tadi, ya?”
“Ndak, kok. Kamu mau makan, ndak?’
“Hmmm. Ndak ah, Pak. Yuk ke kos aja!” Dengan hati senang aku dan Bapak berjalan menuju tempat kos di kota Yogyakarta.
“Kereta dari Bandung jam berapa, Pak?”
“Tadi pagi, sekitar jam tujuh.”
“Ya udah, Bapak istirahat dulu. Nanti kita jalan-jalan ya, Pak.”
Bapak langsung setuju dan tertidur. Tampak wajah lelah sisa perjalanan tadi. Setelah cukup istirahat Bapak langsung mengajakku keluar.
“Ayo, De. Kamu butuh apa?”
“Hm, apa ya?”
Bapak menyerahkan selembar kertas kecil. Begitu melihatnya, aku langsung tahu itu tulisan tangan kakakku yang nomor dua. Kak Mety menuliskan pesan tentang barang-barang yang sekiranya dibutuhkan dan harus dibeli. Kami pun masuk ke salah satu pusat perbelanjaan yang harganya cukup miring sesuai ukuran kantong anak kost. Tak banyak yang dibeli karena aku sendiri bingung.
“Nih, De,” Bapak memberikan dua sapu tangan kecil berwarna biru dan merah muda.
“Siapa tahu perlu.”
–
“Gimana, Kak?” Tanyaku begitu masuk dalam ruang ICU.
“Lagi tidur, De.” Jawab Kak Mety.
“Kok dari tadi tidur terus? Posisinya juga ga berubah, ya?”
Kak Mety coba merasakan detak nadi Bapak.
“Detak nadinya cepet banget, De.”
“Trus, artinya apa?”
“Ya, bapak lagi tidur. Kita doa aja, De.”
=
“Pulang malem terus!” Dengan nada marah Bapak menegurku.
“Habis ngelesin, Pak.” Sahutku sedikit jengkel. Kulirik jam dinding sudah pukul 22.30.
“Ngeles apa sampai malam gini?”
Tanpa menjawab, Aku langsung menuju kamar mandi membasuh muka.
“Dede teh dari mana atuh?’ tanya Mamah lembut.
“Ngeles, Mah.”
“Mamah sama Bapak khawatir, De. Setiap hari kamu berangkat jam setengah enam pagi sampai malam gini baru pulang.”
Aku hanya diam.
Mamah melanjutkan, “Mamah sama Bapak kasihan sama kamu. Takut kamu sakit.”
“Ndak, Mah. Tenang aja.”
–
“Keluarga Tuan Christofianus.” Panggil Suster dengan tergesa.
“Iya, Saya.” Aku menjawab dan langsung mengikuti Suster masuk dalam ruang ICU.
“Maaf, Anda siapanya, ya?”
“Saya anaknya, Suster.”
Dari bahasa tubuh dan intonasinya, aku sudah curiga. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Bapak.
“Begini, Bu. Dari jam dua hari Sabtu kemarin, Bapak sudah tidak ada respon. Kami sedang berusaha memberikan suntikan agar Bapak bisa bereaksi.”
Tiga orang Suster bergantian memberi tekanan di atas dada Bapak. Kupegang telapak kakinya, sangat dingin. Dokter hanya diam, wajahnya serius melihat layar monitor.
“Gimana, Dok? Gimana Bapak Saya?”
“Ya, detak jantungnya tidak stabil. Kami sudah memberikan enam kali suntikan.”
“Jadi, artinya gimana, Dok?’
“Ya, kami akan berusaha lakukan yang terbaik.”
Perih rasanya saat mendengar itu.
“Ya, yang terbaik. Yang terbaik, Tuhan. Buat Bapak. Aku mohon.” pintaku dalam hati.
Dokter dan tiga orang Suster terdiam dan menyerah. Aku berusaha membaca maknanya.
“Tuhan. Inikah yang terbaik dari-Mu untuk Bapakku?”
Kuraih tangan Bapak, kurasakan denyut nadinya.
“Bapak, kami ikhlas.”
Kreator : Fransisca Dafrosa
Comment Closed: Bapak… Ini Dede…
Sorry, comment are closed for this post.