Mahesa mematung di tengah kafe, cangkir kopi di tangannya hampir terjatuh. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia yakin semua orang di ruangan itu bisa mendengarnya. Napasnya tersangkut di tenggorokan. Matanya tidak bisa berpaling dari sosok wanita yang baru saja melangkah masuk.
Rambutnya. Cara jalannya. Postur tubuhnya. Bahkan, cara ia menyibakkan hijab yang sedikit bergeser—semuanya seperti memutar waktu mundur lima tahun.
Tidak. Tidak mungkin ini Aina. Aina sudah tiada. Ia sudah melihat sendiri pusara tempat kekasihnya beristirahat. Ia sudah menangis di makam itu ribuan kali. Tapi wanita di depannya…
“Bung, kau baik-baik saja?” Suara temannya memecah lamunan.
Mahesa tidak menjawab. Ia tidak bisa. Wanita itu sedang memesan di konter, tersenyum pada barista. Senyum itu. Ya Tuhan, senyum itu sangat mirip dengan senyum yang pernah menjadi alasan hidupnya untuk terus berjalan.
Ini hanya kebetulan. Hanya kemiripan. Dunia ini luas, pasti ada orang yang mirip.
Tapi kenapa dadanya sesak begini? Kenapa tangannya bergetar? Kenapa semua luka yang sudah lima tahun ia rawat tiba-tiba terbuka kembali, segar dan perih?
Wanita itu berbalik, membawa kopinya mencari tempat duduk. Sedetik—hanya sedetik—mata mereka bertemu. Mata cokelat itu menatapnya, asing dan sopan. Tidak ada pengenalan. Tidak ada percikan kenangan. Hanya senyum tipis orang asing yang tidak sengaja bertatapan.
Mahesa merasa dunianya runtuh untuk kedua kalinya.
Dia bukan Aina. Dia tidak mengenalku. Tentu saja dia tidak mengenalku. Karena dia bukan dia.
“Eesa!” Temannya menepuk bahunya agak keras, memanggil nama panggilan yang biasa digunakan keluarga dan teman dekat Mahesa. “Ada apa denganmu?”
“Aku… tidak apa-apa,” bisiknya, suara serak. “Aku hanya… aku hanya perlu ke kamar kecil sebentar.”
Di dalam kamar kecil yang sempit, Mahesa bersandar pada wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas yang memburu.
Tenang. Tenang. Ini hanya seseorang yang kebetulan mirip. Tidak lebih.
Tapi kenapa hatinya masih berteriak? Kenapa setiap sel dalam tubuhnya memberontak, menolak logika, menuntut untuk kembali ke luar dan menatap wajah itu sekali lagi?
Lima tahun. Lima tahun ia sudah belajar hidup tanpa Aina. Lima tahun ia membangun kembali kepingan-kepingan dirinya yang hancur. Dan dalam sekejap, hanya dengan sekilas pandang, semuanya hampir roboh kembali.
Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berulang kali, berharap ini hanya halusinasi, efek dari terlalu banyak begadang dan kopi. Tapi ketika ia kembali ke meja dan mencuri pandang ke sudut kafe, wanita itu masih ada. Nyata. Hidup. Bernapas.
Tidak seperti Aina.
“Mahesa! Tunggu aku!”
Mahesa yang saat itu berusia 22 tahun menoleh, matanya langsung berbinar melihat Aina berlari kecil menghampirinya di kampus. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin—belum berhijab saat itu. Pipinya merona karena berlari. Ia terlihat seperti musim semi yang menjelma menjadi manusia—segar, hangat, penuh kehidupan.
“Kau selalu ketinggalan,” kata Mahesa sambil tersenyum geli, menangkap Aina yang hampir menabraknya.
“Salahkan jam alarm ku yang tidak bunyi!” Aina cemberut, tapi matanya berbinar. “Atau mungkin salahkan seseorang yang membuatku begadang tadi malam karena telpon sampai jam dua pagi.”
“Oh, jadi itu salahku?” Mahesa terkekeh.
“Tentu saja!” Aina memukul lengan Mahesa main-main. “Siapa suruh cerita sampai segitunya? Aku sampai lupa tidur.”
Mahesa merangkul bahunya. “Kau yang tidak mau tutup telpon duluan.”
“Karena suaramu membuat aku tidak bisa berhenti mendengarkan.”
Itulah awal dari segalanya. Pertemuan di kampus, perkenalan singkat di perpustakaan, lalu percakapan yang mengalir begitu alami seakan mereka sudah saling kenal seumur hidup. Aina adalah mahasiswa sastra, sementara Mahesa kuliah di arsitektur. Dua dunia yang berbeda, tapi entah bagaimana jiwa mereka terhubung dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.
Tiga bulan setelah pertemuan pertama, Mahesa memberanikan diri menyatakan perasaannya di bawah pohon maple di taman kampus.
“Aina, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa menahannya lagi,” katanya, gugup dan canggung. “Setiap hari bersamamu terasa seperti hadiah. Kau membuat hari-hariku yang membosankan menjadi luar biasa. Kau membuat aku percaya bahwa dunia ini tidak seburuk yang kukira. Aku… aku mencintaimu.”
Aina terdiam. Air matanya menggenang, tapi senyumnya merekah seperti bunga yang mekar.
“Kau tahu apa yang lucu?” bisiknya. “Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali kau menjelaskan tentang arsitektur gotik dengan mata yang berbinar-binar. Saat itu aku berpikir, ‘Astaga, orang ini mencintai passion-nya dengan sepenuh hati. Aku ingin dicintai seperti itu juga.'”
“Dan sekarang kau tahu, aku mencintaimu bahkan lebih dari arsitektur,” kata Mahesa, menarik Aina ke dalam pelukannya.
Perubahan itu terjadi secara perlahan, tapi sangat berarti. Mahesa yang tumbuh di keluarga yang taat beragama, selalu menjaga shalat lima waktunya dan sering mengajak Aina untuk lebih dekat dengan Allah. Bukan dengan cara menggurui, tapi dengan memberi contoh dan mengajak dengan lembut.
“Aina, yuk sholat Maghrib dulu. Setelah itu kita lanjut ngobrol,” katanya suatu sore ketika mereka sedang belajar bersama.
Aina yang dulu sering melewatkan sholat mulai terbiasa karena Mahesa selalu mengingatkan dengan cara yang tidak menyinggung. Ia tidak pernah marah atau memaksa, hanya mengingatkan dengan senyum hangat.
Suatu hari, Mahesa membawakan hadiah untuk Aina—sebuah hijab cantik berwarna dusty pink.
“Ini buat apa?” tanya Aina, memegang hijab itu dengan lembut.
“Buat kamu. Kalau kamu mau pakai. Aku tidak memaksa, tapi aku pikir kamu pasti cantik pakai ini,” jawab Mahesa tersenyum.
Aina menatap hijab itu lama. “Jujur, aku sudah lama kepikiran untuk berhijab. Tapi aku takut tidak konsisten, takut tidak bisa menjaganya.”
Mahesa meraih tangan Aina. “Tidak ada yang sempurna, Aina. Yang penting niatnya. Dan kalau kamu butuh penguat, aku akan selalu ada. Kita sama-sama belajar menjadi lebih baik.”
Seminggu kemudian, Aina datang ke kampus dengan hijab untuk pertama kalinya. Mahesa tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang lebar.
“Cantik,” bisiknya.
“Aku gugup,” jawab Aina, merapikan hijabnya yang masih terasa asing di kepala.
“Kamu luar biasa cantik. Bukan karena hijabnya, tapi karena keberanianmu mengambil keputusan untuk lebih dekat pada Allah.”
Sejak saat itu, Aina tidak pernah melepas hijabnya lagi. Ia mulai rutin sholat, mulai belajar mengaji, dan bahkan mulai mengikuti kajian-kajian keislaman. Mahesa selalu menemaninya, mendukungnya, dan belajar bersama dengannya. Mereka tumbuh bersama, tidak hanya sebagai sepasang kekasih, tapi juga sebagai sahabat dalam mendekatkan diri kepada Allah.
“Terima kasih, Mas,” kata Aina suatu malam setelah mereka sholat Isya berjamaah di masjid kampus.
“Terima kasih untuk apa?”
“Karena kamu tidak pernah menghakimiku. Karena kamu menunjukkan Islam yang indah, yang penuh kasih sayang, bukan yang menakutkan. Aku jadi ingin terus belajar.”
Mahesa menggenggam tangan Aina. “Dan aku bersyukur Allah mempertemukanku dengan kamu. Kita sama-sama belajar, sama-sama tumbuh.”
Tiga tahun berikutnya adalah masa-masa terindah dalam hidup Mahesa. Mereka membangun mimpi bersama—ingin menikah setelah lulus, ingin memiliki rumah kecil dengan taman, ingin berkeliling dunia. Aina ingin menjadi penulis, Mahesa ingin membuka firma arsitektur sendiri. Mereka merencanakan segalanya dengan detail, dengan harapan yang tinggi, dengan keyakinan bahwa masa depan adalah milik mereka.
Tapi tidak semua cerita berakhir sesuai rencana.
Tahun ketiga hubungan mereka penuh dengan tantangan. Mahesa mulai bekerja magang di sebuah firma arsitektur besar dan sering lembur. Aina sibuk dengan skripsi dan beberapa proyek penulisan freelance. Waktu bersama mereka berkurang drastis. Pertengkaran kecil mulai bermunculan.
“Kau tidak pernah punya waktu untukku lagi,” kata Aina suatu malam, suaranya lelah.
“Aku sedang membangun masa depan kita, Aina. Ini semua untuk kita,” jawab Mahesa, frustasi.
“Apa gunanya masa depan jika kita kehilangan hari ini?”
Kalimat itu menohok Mahesa. Ia tahu Aina benar. Ia terlalu fokus pada karir hingga melupakan orang yang seharusnya menjadi alasan ia bekerja keras.
Akhir pekan berikutnya, Mahesa mengajak Aina ke pantai. Mereka menghabiskan hari dengan berjalan di tepi laut, membangun istana pasir, menertawakan lelucon bodoh. Saat matahari mulai tenggelam, mereka duduk di pasir, saling bersandar.
“Maafkan aku,” bisik Mahesa. “Aku terlalu sibuk mengejar sesuatu di masa depan sampai lupa menikmati saat ini bersamamu.”
Aina menggenggam tangannya. “Aku juga minta maaf karena tidak lebih pengertian. Aku tahu kau melakukan ini untuk kita.”
“Aku berjanji akan lebih baik. Aku akan mencari keseimbangan.”
“Dan aku berjanji akan lebih sabar.”
Mereka bergenggaman tangan di bawah langit yang berubah warna, dengan ombak sebagai saksi janji-janji mereka.
Dua bulan setelah itu, Aina pergi untuk selamanya.
Malam itu hujan turun dengan deras. Mahesa sedang menyelesaikan proyek di rumah, menunggu Aina pulang dari acara keluarga. Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Aina: “Tunggu aku di rumah, sayang. Aku bawakan kue kesukaanmu.”
Mahesa tersenyum membaca pesan itu. Ia membalas dengan emoji hati dan kembali pada pekerjaannya. Itu adalah interaksi terakhir mereka.
Satu jam kemudian, ponselnya berdering. Nomor yang tidak dikenal.
“Halo, apakah ini Mahesa Arjuna? Anda keluarga dari Aina Saraswati?”
Jantung Mahesa langsung berdegup kencang. “Ya, saya pacarnya. Ada apa?”
“Pak, anda harus segera ke Rumah Sakit Umum Pusat. Terjadi kecelakaan—”
Mahesa tidak mendengar sisanya. Ia sudah berlari ke luar, menerjang hujan, tanpa payung, tanpa jaket. Pikirannya kosong. Hanya satu doa: Biarkan dia baik-baik saja. Ya Tuhan, kumohon.
Tapi Tuhan punya rencana lain.
Ketika Mahesa tiba di rumah sakit, dokter sudah menunggunya dengan wajah yang menyampaikan segalanya sebelum kata-kata keluar dari mulutnya.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi benturan itu terlalu keras. Dia meninggal seketika. Dia tidak merasakan sakit.”
Dunia Mahesa hancur. Ia runtuh di lantai rumah sakit yang dingin, menangis seperti anak kecil. Suara tangisnya bergema di koridor, memilukan, menusuk hati setiap orang yang mendengarnya.
Aina pergi. Kekasihnya, sahabatnya, belahan jiwanya—pergi begitu saja, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.
Di kantong jaket Aina, petugas menemukan kotak kecil berisi kue cokelat yang ia beli untuk Mahesa. Kue itu remuk, seperti hati Mahesa. Dan ada satu hal lagi—tasbih kecil yang selalu dibawa Aina sejak ia berhijab, masih tergenggam erat di tangannya. Seakan di detik-detik terakhir, ia kembali kepada Allah.
Setahun pertama setelah kepergian Aina adalah neraka. Mahesa menolak makan dengan benar, menolak bertemu siapa pun. Ia mengunci diri di kamar yang penuh dengan foto-foto mereka, menonton video-video lama, membaca ulang pesan-pesan mereka. Bahkan hijab pertama yang ia hadiahkan untuk Aina masih tergantung di kamarnya, menyimpan aroma yang perlahan memudar.
Ia tenggelam begitu dalam hingga nyaris kehilangan dirinya sendiri.
“Eesa, kau harus bangkit,” kata ibunya suatu hari, air mata mengalir di pipinya. “Aina tidak akan senang melihatmu seperti ini.”
“Bagaimana aku bisa bangkit, Bu? Bagaimana aku bisa terus hidup ketika separuh jiwaku sudah pergi?”
Ibunya memeluknya erat. “Karena kau masih bernapas. Karena kau masih punya orang-orang yang mencintaimu. Dan karena Aina pasti ingin kau bahagia, bahkan tanpanya.”
Perlahan, sangat perlahan, Mahesa mulai belajar hidup lagi. Bukan berarti ia melupakan Aina—itu tidak mungkin. Tapi ia belajar membawa kenangan itu tanpa membiarkannya menghancurkan dirinya. Ia kembali bekerja, bertemu teman-teman, bahkan sesekali tertawa. Tapi ada bagian dalam hatinya yang tetap tertutup, terkunci rapat untuk selamanya.
Atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.
“Eesa, serius, kau lihat hantu atau apa?” Teman Mahesa menatapnya dengan cemas.
Mahesa menggeleng pelan. “Bukan. Hanya… seseorang yang mengingatkanku pada seseorang.”
“Orang yang kau cintai?”
Mahesa mengangguk, tidak percaya ia mengakuinya.
Temannya mengikuti arah pandang Mahesa. “Wanita di sudut sana?”
“Ya.”
“Kenapa tidak kau ajak kenalan?”
“Karena aku tidak tahu apakah aku siap.”
Tapi takdir memang punya cara anehnya sendiri. Ketika wanita itu bersiap pergi, ia melewati meja Mahesa. Tas laptopnya tersangkut pada kursi dan hampir terjatuh. Mahesa refleks berdiri dan menangkapnya.
“Oh, terima kasih!” katanya, menatap Mahesa dengan mata yang begitu familiar namun juga begitu asing.
“Sama-sama,” balas Mahesa, suaranya hampir berbisik.
Mereka berdiri dalam keheningan canggung selama beberapa detik. Wanita itu tersenyum.
“Aku merasa kita sudah pernah bertemu, tapi aku tidak ingat di mana. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Mahesa terkesiap. Bahkan cara dia bertanya pun mirip dengan Aina.
“Saya… saya rasa tidak. Tapi mungkin saya memiliki wajah yang familiar,” jawabnya, berusaha terdengar normal.
“Mungkin. Aku Putri, ngomong-ngomong.”
Putri. Bukan Aina. Ini adalah orang yang berbeda. Orang dengan nama yang berbeda, kehidupan yang berbeda.
“Mahesa. Mahesa Arjuna. Tapi teman-teman biasa panggil aku Eesa.”
“Senang berkenalan, Eesa. Mungkin lain kali kita bisa ngobrol lebih lama? Aku sering ke kafe ini.”
Sebelum Mahesa bisa menjawab, Putri sudah melangkah pergi, meninggalkan jejak parfum yang tidak mirip dengan parfum Aina, tapi entah kenapa membuatnya ingin bernapas lebih dalam.
Malam itu, Mahesa tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar, pikirannya kacau balau.
Ini hanya kebetulan. Hanya kemiripan fisik. Dia bukan Aina. Dia tidak akan pernah menjadi Aina.
Tapi ada suara kecil di dalam hatinya yang berbisik: Bagaimana jika ini kesempatan kedua? Bagaimana jika Tuhan memberiku alasan untuk mencintai lagi?
Dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Mahesa Arjuna membiarkan dirinya merasakan sesuatu yang sudah lama mati—harapan.
Harapan yang menakutkan, rapuh, tapi juga begitu menggoda.
Apakah ia berani mengambil risiko untuk jatuh lagi? Apakah ia berani membuka hati yang sudah berkeping-keping ini untuk seseorang yang mengingatkannya pada luka terbesarnya?
Hanya waktu yang akan menjawab. Dan Mahesa, untuk pertama kalinya, merasa siap untuk menunggu jawaban itu datang.
Pertemuan demi pertemuan di kafe itu menjadi rutinitas yang Mahesa nantikan. Putri, dengan hijab pastel yang selalu ia kenakan—kadang biru muda, kadang salem, kadang krem—selalu datang dengan senyum yang menenangkan. Berbeda dengan Aina yang lebih suka hijab bermotif, Putri cenderung memilih warna-warna lembut yang mencerminkan kepribadiannya yang kalem.
“Kau tahu,” kata Putri suatu sore sambil mengaduk kopinya, “aku sering bertanya-tanya kenapa kita bisa bertemu. Maksudku, dari sekian banyak kafe di kota ini, kita memilih tempat yang sama.”
Mahesa tersenyum tipis. “Mungkin memang sudah diatur begitu.”
“Kau percaya pada takdir?”
“Dulu tidak. Tapi sekarang… aku mulai berpikir bahwa ada hal-hal yang memang berada di luar kendali kita. Ada skenario besar yang sudah ditulis, dan kita hanya mengikuti alurnya.”
Putri mengangguk perlahan. “Aku selalu percaya itu. Bahwa setiap pertemuan, setiap perpisahan, setiap kebahagiaan dan kesedihan—semuanya adalah bagian dari rencana-Nya. Kita hanya perlu berusaha dan berdoa, selebihnya serahkan pada-Nya.”
Kata-kata Putri mengingatkan Mahesa pada Aina. Almarhumah juga selalu begitu—teguh dalam keimanan, selalu ingat untuk kembali kepada Allah dalam setiap situasi. Bahkan di saat-saat tersulit dalam hubungan mereka, Aina selalu mengingatkan: “Mas Eesa, kalau lagi susah, jangan lupa sholat. Allah tahu yang terbaik untuk kita.”
“Aku pernah kehilangan seseorang,” kata Mahesa tiba-tiba, mengejutkan dirinya sendiri. Ini pertama kalinya ia membicarakan Aina pada Putri secara langsung.
Putri tidak kaget. Ia hanya menatap Mahesa dengan lembut, menunggu.
“Lima tahun lalu. Kecelakaan. Dia… dia pergi begitu saja, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.”
“Aku tahu,” bisik Putri pelan.
Mahesa mengangkat kepala, terkejut. “Kau tahu?”
“Dari cara kau menatapku di awal kita bertemu. Dari cara kau kadang terlihat sedih saat aku melakukan sesuatu yang mungkin mengingatkanmu padanya. Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku tahu dia pasti sangat spesial.”
Air mata menggenang di mata Mahesa. “Dia adalah segalanya. Dan aku merasa bersalah… karena sekarang aku mulai merasakan sesuatu yang sama untukmu.”
Putri meraih tangan Mahesa di atas meja, sentuhan yang hangat dan menenangkan.
“Eesa, di dalam Islam kita diajarkan bahwa hidup ini penuh dengan ujian. Kehilangan orang yang dicintai adalah ujian yang sangat berat. Tapi kita juga diajarkan untuk tidak berkabung berlarut-larut. Kehidupan harus terus berjalan. Dan Allah Maha Pengasih—Dia tidak akan memberikan ujian yang tidak bisa kita tanggung. Jika Dia menutup satu pintu, Dia akan membuka yang lain.”
“Kau pikir… ini pembukaan pintu baru?”
“Aku pikir ini adalah cara Allah menunjukkan bahwa kau masih berhak bahagia. Mencintai lagi bukan berarti mengkhianati kenangan. Hati manusia itu luas, Eesa. Kau bisa mengenangnya dengan kasih sayang sambil memberi ruang untuk yang baru.”
Mahesa menangis. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia menangis bukan karena kehilangan, tapi karena merasa dimengerti.
“Putri,” panggil Mahesa saat mereka berjalan di taman kota setelah sholat Maghrib berjamaah di masjid. “Aku ingin cerita tentang Aina. Tentang semuanya.”
Dan malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Mahesa menceritakan segalanya. Tentang pertemuan mereka, tentang bagaimana ia membantu Aina untuk lebih dekat dengan Allah, tentang hijab pertama yang ia hadiahkan, tentang cinta mereka yang tumbuh bersama keimanan mereka, tentang mimpi-mimpi yang kandas. Putri mendengarkan dengan sabar, sesekali mengusap air mata yang jatuh di pipi Mahesa.
“Dia pasti wanita yang luar biasa,” kata Putri ketika Mahesa selesai. “Dan aku yakin, dia juga ingin kau bahagia.”
“Kadang aku bermimpi bertemu dia,” bisik Mahesa. “Dan dalam mimpi itu, dia selalu tersenyum, seperti memberi restu.”
“Mungkin itu memang restu,” jawab Putri lembut. “Allah punya cara-Nya sendiri untuk berbicara pada kita. Kadang melalui mimpi, kadang melalui perasaan, kadang melalui orang-orang yang Dia hadirkan dalam hidup kita.”
Mahesa menatap Putri—wanita yang entah bagaimana masuk ke dalam hidupnya saat ia sudah pasrah tidak akan pernah mencintai lagi. Putri dengan hijab lavender-nya yang berkibar tertiup angin malam, dengan senyumnya yang hangat, dengan kesabarannya yang luar biasa.
“Putri, aku tidak tahu apakah aku pantas, tapi… aku ingin mencoba lagi. Bukan untuk menggantikan siapa pun, tapi untuk memulai chapter baru. Bersamamu.”
Mata Putri berkaca-kaca. “Aku sudah menunggumu siap mengatakan itu.”
Mereka berpelukan di bawah cahaya lampu taman, dua jiwa yang pernah tersesat akhirnya menemukan jalan pulang.
Mahesa berdiri di depan cermin, merapikan dasi jas pengantin prianya. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Putri. Tangannya sedikit bergetar—bukan karena gugup, tapi karena emosi yang membludak di dadanya.
“Kau siap, nak?” Ayahnya bertanya dari balik pintu.
“Sebentar, Yah.”
Mahesa merogoh sakunya dan mengeluarkan foto kecil Aina yang selalu ia simpan. Ia menatap wajah itu, wajah yang pernah menjadi dunianya. Dalam foto itu, Aina tersenyum lebar dengan hijab dusty pink—hijab pertama yang ia hadiahkan.
“Aina,” bisiknya pelan. “Terima kasih telah mengajariku arti cinta yang tulus. Terima kasih karena kau mau berubah menjadi lebih baik bersamaku, mau berhijab dan mendekatkan diri pada Allah. Aku bangga padamu. Terima kasih untuk tiga tahun terindah itu. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Tapi hari ini, aku akan memulai babak baru. Dan aku yakin kau juga bahagia untukku, di sana, di tempat yang lebih baik. Semoga kau tenang di sisi-Nya. Amin.”
Ia mengusap foto itu sekali, lalu menyimpannya kembali. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk ditempatkan pada ruang yang tepat di hatinya—sebagai kenangan indah yang membentuknya, bukan sebagai beban yang menghancurkannya.
Akad nikah berlangsung khidmat. Ketika Mahesa mengucapkan ijab kabul, suaranya mantap dan penuh keyakinan.
“Saya terima nikahnya Putri Zahratunnisa binti Ahmad Wijaya dengan mas kawin emas 25 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
“Sah!” Deklarasi sang penghulu membuat ruangan dipenuhi takbir dan doa.
Mahesa menatap Putri—istrinya. Wanita yang Allah hadirkan setelah lima tahun kegelapan. Wanita yang mengajarkannya bahwa cinta bisa datang dua kali, dengan cara yang berbeda, tapi sama indahnya. Putri cantik dengan hijab syar’i berwarna putih gading yang menjuntai anggun, tersenyum bahagia dengan mata yang berkaca-kaca.
Di tengah keramaian, Mahesa dan Putri sempat mencuri waktu sejenak untuk ke balkon gedung. Angin malam sejuk menerpa wajah mereka.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Putri, menyandarkan kepalanya di bahu Mahesa.
“Aku berpikir tentang bagaimana Allah itu Maha Pengatur. Lima tahun lalu, aku tidak pernah membayangkan akan merasakan kebahagiaan lagi. Aku pikir hidupku berakhir bersama Aina. Tapi ternyata Allah punya rencana lain. Dia menghadirkanmu tepat di saat aku sudah belajar ikhlas.”
“Mungkin memang harus begitu,” jawab Putri lembut. “Kau harus melewati proses duka yang sempurna dulu, melewati fase ikhlas, baru kemudian Allah hadirkan kebahagiaan baru. Kalau terlalu cepat, mungkin kau belum siap menerimanya dengan hati yang utuh.”
Mahesa mengangguk. “Kau tahu, mutiara hikmah pernah bilang: ‘Manusia hanya merencanakan, tapi Allah yang menentukan. Dan apa pun yang Allah tentukan, itulah yang terbaik.’ Dulu aku tidak benar-benar paham. Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi, aku mengerti. Kehilangan Aina adalah ujian terberatku, tapi juga jalan menuju hadiah terindahku—yaitu kau.”
Putri menatap mata Mahesa. “Dan aku bersyukur Allah memilihku untuk menjadi bagian dari hidupmu. Untuk menyembuhkan luka-lukamu, untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan bersamamu. Ini bukan kebetulan, Mas Eesa. Ini adalah takdir yang sudah ditulis jauh sebelum kita lahir.”
“Qadarullah wa maa sya’a fa’al,” bisik Mahesa—takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi. “Dulu aku memberontak terhadap kalimat itu. Tapi sekarang, aku berserah dengan penuh syukur.”
Mereka terdiam, menikmati kebersamaan dalam keheningan yang nyaman. Dari dalam gedung terdengar lantunan sholawat nabi yang merdu, mengiringi doa para tamu untuk pengantin baru.
“Mas Eesa,” panggil Putri. “Janji padaku satu hal.”
“Apa?”
“Jangan pernah merasa bersalah untuk bahagia bersamaku. Aina pasti menginginkan kebahagiaanmu. Dan aku, sebagai istrimu sekarang, juga menginginkan itu. Biarlah kenangan tentangnya tetap indah, tapi jangan biarkan itu menghalangi kita untuk membangun kenangan baru.”
Mahesa memeluk Putri erat. “Aku berjanji. Terima kasih telah menerimaku dengan semua luka dan masa laluku.”
“Terima kasih telah memberi kesempatan untuk mencintaimu.”
Mahesa berdiri di pemakaman, seperti yang rutin ia lakukan setiap tahun di hari kematian Aina. Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Putri berdiri di sampingnya, memegang tangan anak mereka yang berusia satu setengah tahun—seorang putri kecil yang mereka beri nama Aisyah Mahesa.
“Assalamualaikum, Aina,” sapa Mahesa lembut di depan nisan. “Aku datang lagi. Aku ingin kau kenalan dengan keluarga kecilku. Ini Putri, istriku. Dan ini Aisyah, putriku. Berkahmu pasti mengalir untuk kami.”
Putri ikut membaca doa, melantunkan Al-Fatihah dengan khusyuk. Tidak ada rasa iri, tidak ada rasa terancam. Hanya rasa hormat terhadap wanita yang pernah menjadi bagian penting dari hidup suaminya.
“Aina,” lanjut Mahesa, “aku selalu bersyukur karena dulu kau mau mendengarkan ajakanku untuk lebih dekat pada Allah. Hijab yang aku hadiahkan dulu, aku simpan dengan baik. Suatu hari nanti, aku akan ceritakan pada Aisyah tentangmu—tentang bagaimana kau wanita yang berani berubah, yang mau belajar menjadi lebih baik. Semoga Allah menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya.”
Setelah selesai, mereka berjalan perlahan meninggalkan pemakaman. Aisyah tertidur di gendongan Putri, wajahnya damai.
“Kau tidak pernah cemburu?” tanya Mahesa tiba-tiba.
Putri tersenyum. “Kenapa harus cemburu pada seseorang yang sudah kembali pada Allah? Dia adalah bagian dari perjalananmu, bagian dari yang membentukmu menjadi pria yang sekarang kucintai. Aku justru bersyukur dia pernah ada, karena tanpa dia, kau tidak akan menjadi dirimu yang sekarang.”
“Kau… benar-benar luar biasa.”
“Bukan aku yang luar biasa. Tapi karena kita sama-sama memahami bahwa hidup ini lebih besar dari ego kita. Kita percaya bahwa Allah punya rencana terbaik, dan bagian kita adalah menjalaninya dengan penuh rasa syukur dan keikhlasan.”
Mahesa berhenti melangkah dan menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku mencintaimu, Putri. Dengan cara yang berbeda dari cintaku pada Aina, tapi tidak kalah dalam atau tulus.”
“Dan aku mencintaimu, Mas Eesa. Apa adanya, dengan semua masa lalumu, dengan semua kenangan yang kau bawa. Karena semua itu adalah bagian darimu.”
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati gerbang pemakaman. Sore itu matahari bersinar lembut, tidak terlalu terik, menciptakan kehangatan yang sempurna. Adzan Ashar berkumandang dari masjid terdekat, mengingatkan mereka untuk kembali kepada-Nya.
“Yuk, kita sholat dulu sebelum pulang,” ajak Putri.
“Ayo.”
Mereka berjalan menuju masjid, tangan bertaut, dengan Aisyah yang terlelap damai di gendongan ibunya. Keluarga kecil yang lahir dari duka dan berkembang dalam syukur. Keluarga yang membuktikan bahwa takdir Allah memang selalu indah pada waktunya.
Hidup memang penuh misteri. Kadang Allah merenggut sesuatu yang sangat kita cintai, membuat kita jatuh ke jurang kesedihan yang seakan tiada dasar. Dalam momen-momen seperti itu, mudah bagi kita untuk kehilangan iman, untuk mempertanyakan kebijaksanaan-Nya.
Tapi kemudian, di tengah kegelapan itu, Allah hadirkan cahaya—entah dalam bentuk orang baru, peluang baru, atau pemahaman baru. Dan baru kemudian kita menyadari: setiap kepergian adalah persiapan untuk kedatangan yang lebih baik. Setiap luka adalah jalan menuju penyembuhan yang lebih dalam.
Mahesa Arjuna belajar bahwa berserah bukan berarti menyerah. Berserah adalah menerima bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya yang mengatur segalanya. Bahwa tugasnya hanya berusaha dan berdoa, selebihnya adalah ranah Tuhan. Dan dalam penyerahan itu, ia menemukan kedamaian.
Ia juga belajar bahwa mengajak seseorang kepada kebaikan adalah bentuk cinta yang paling tulus. Ketika ia membantu Aina untuk lebih dekat pada Allah, untuk berhijab dan memperbaiki ibadahnya, ia tidak hanya mencintai Aina sebagai kekasih, tapi juga sebagai saudara seiman yang ingin membawa pasangannya ke jalan yang lebih baik. Dan meskipun Aina akhirnya dipanggil lebih dulu, perubahan spiritual yang terjadi padanya adalah warisan terindah dari cinta mereka.
Putri mengajarkan bahwa cinta sejati tidak egois. Ia tidak meminta untuk menjadi satu-satunya, tapi menerima untuk menjadi yang terbaik di waktunya. Ia tidak bersaing dengan bayangan masa lalu, tapi berdiri dengan percaya diri di masa kini, membawa terang masa depan.
Dan Aina? Dari sana, dari tempat yang lebih baik, mungkin ia tersenyum. Tersenyum melihat pria yang pernah ia cintai, yang pernah membimbingnya menuju jalan yang benar, akhirnya menemukan kebahagiaan lagi. Karena cinta yang tulus tidak pernah mengekang, bahkan setelah kematian.
Begitulah takdir bekerja. Misterius, kadang menyakitkan, tapi selalu—selalu—membawa kita pada tempat yang seharusnya kita tuju. Dan bagian terindah dari iman adalah percaya bahwa di balik setiap ujian, ada hikmah yang sedang menunggu untuk terungkap.
Allah tidak pernah merenggut sesuatu dari kita kecuali untuk menggantikannya dengan yang lebih baik, atau untuk menyiapkan kita menerima kebaikan yang lebih besar. Kita hanya perlu sabar, terus berusaha, terus berdoa, dan mempercayai bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita.
Seperti kata Nabi Muhammad SAW: “Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya adalah baik. Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.”
Mahesa kehilangan Aina, tapi ia mendapat Putri. Ia kehilangan masa lalu yang indah, tapi ia membangun masa depan yang lebih indah. Dan di dalam perjalanan itu, ia menemukan makna sebenarnya dari keimanan—bahwa hidup bukan tentang menghindari ujian, tapi tentang bagaimana kita melewatinya dengan tetap berpegangan pada Allah.
Wa Allahu a’lam bishowab. Dan Allah yang Maha Mengetahui yang benar.
TAMAT
Kreator : Baijuri Haromaini
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bayangan di Balik Senja
Sorry, comment are closed for this post.