Dari Bayang-Bayang Sejarah Kelam Menuju
Pelayanan Untuk Banyak Orang
Lahir di Kulon Progo pada 10 Juni, saat pergantian pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, aku tidak menyangka bahwa perjalanan karirku akan menjadi refleksi dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Aku lahir saat Indonesia bergolak. pasca pemberontakan G.30 S. PKI yang gagal, jutaan anak yang lahir di tahun 1965-1970, hidup dalam situasi masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian dan kekerasan. Perburuan anggota dan simpatisan PKI berlangsung masif di seluruh Indonesia. Ribuan orang dieksekusi mati, dibuang ke sumur alam di pegunungan kapur selatan, dan banyak yang terbuang tak tentu rimba kuburnya. Jutaan orang jadi narapidana politik yang dibuang ke Pulau Buru, hidup di alam yang ganas, menahan rindu keluarga dan kampong halaman, hingga mendapat kebebasan di tahun 1980.
Ayahku bekerja di balai pembenihan. Orang-orang di kampungku menyebut tempat itu sebagai lambau (Bhs Belanda: Landbouw). Konon, Ayah sering diajak temannya kumpul-kumpul. Rupanya, itu kumpulan serikat buruh PKI. Untunglah Ayah segera pergi ke Jakarta untuk mencari aman dan pekerjaan baru. Banyak temannya dibuang ke Pulau Buru hingga bertahun-tahun terpisah dari keluarga. Namun, di KTP Ayah dan Ibu terdapat cap PKI yang menjadi stigma bagi keluargaku. Kami dikucilkan, dibenci, dan dibully sebagai keluarga PKI. Tak satupun dari kami yang bisa diterima menjadi pegawai negeri. Bukan karena kami tak pintar, tapi karena memang sudah minder duluan, mendaftar juga pasti tidak lolos tes ideologi.
Tanpa sosok Ayah, aku bertumbuh dan berkembang sebagai anak lelaki di antara tujuh perempuan. Perempuan pertama adalah Ibu, yang enam lagi adalah kakak dan adik-adikku. Ya, aku anak lelaki satu-satunya dalam keluargaku di antara tujuh bersaudara. Empat kakakku, dan dua adikku, semuanya kaum hawa. Aku pun harus belajar untuk menjadi tangguh dan mandiri.
Keseharianku dipenuhi dengan kegiatan anak laki-laki desa, seperti mencari kayu bakar, memanjat pohon, berenang menyeberangi sungai, dan bermain perang-perangan di gunung pasir. Namun, aku juga belajar untuk menghargai pendidikan sebagai kunci untuk mencapai kesuksesan.
Dengan tekun dan semangat, aku berhasil menempuh pendidikan di sekolah negeri. Dari Sekolah Dasar (SD), SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi (Universitas), aku tak pernah sekolah di luar negeri (alias sekolah swasta). Lulus kuliah dari Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UGM Yogyakarta pada tahun 1992 menjadi titik awal perjalanan karirku. Aku mengikuti upacara wisuda sarjana di Balairung Bulaksumur, ikon UGM yang membanggakan. Dan setelah itu mendapatkan ijazah UGM, yang semakin menambah kepercayaan diriku.
Perjalanan karirku tidaklah mulus. Aku mencari pekerjaan di berbagai tempat, dan gagal di sana-sini. Setelah hampir setengah tahun memasukkan puluhan lamaran ke berbagai instansi dan perusahaan atau lembaga, aku mendapatkan pekerjaan sebagai pengajar part time di suatu akademi pariwisata di Jakarta Timur. Selama 13 tahun, aku mengajar Sejarah Kebudayaan Indonesia dan Sosiologi, membagi pengetahuan dan pengalaman kepada generasi muda.
Selain itu aku juga mengajar di SMP dan SMA swasta di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Dengan sepeda motor Honda Legenda yang butut, aku berangkat pagi-pagi melintasi kemacetan dan kadang hujan di sepanjang perjalanan. Pukul 07.00 mulai mengajar sampai pukul 08.30, lanjut ke kawasan Jakarta Barat untuk melakoni pekerjaan sebagai wartawan di media nasional.
Aku juga pernah mencoba mendaftar sebagai pegawai negeri di Direktorat Kebudayaan Kemendikbud, tetapi tidak diterima. Meskipun tidak lolos, aku tidak kecewa karena proses seleksi itu membuktikan bahwa aku bukan orang bodoh, hanya nasib yang belum baik.
Perjalanan karirku berlanjut sebagai wartawan di sebuah majalah nasional selama 19 tahun (1997-2017). Diterima sebagai wartawan magang, berangsur naik karir menjadi wartawan tetap, penjaga rubirk, sampai redaktur pelaksana. Jabatan terakhirku hasil dari mengikuti asesmen, aku dipercaya sebagai Pemimpin Perusahaan. Selama enam bulan mengembang tugas itu aku pindah bekerja di penerbit dan percetakan ternama di Yogyakarta. Belum setahun bekerja di situ, aku alih profesi sebagai marketing tour ziarah ke Yerusalem dan Lourdes, tetapi terhenti karena pandemi.
Tahun 2020, aku pindah bekerja di rumah duka sebagai kepala bagian operasional, humas, dan umum. Aku merasa bahwa perjalanan karirku beragam dan lancar, tetapi mengapa aku tidak mempunyai penghasilan yang besar? Jawabannya sederhana: aku bekerja di yayasan yang tidak mencari profit, tetapi untuk melayani banyak orang.
Bekerja menjadi ajang untuk melayani banyak orang, membahagiakan banyak orang, namun tingkat kesejahteraan dalam kehidupanku sendiri terbatas. Aku tidak menyesali pilihan ini, karena aku percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari materi, tetapi dari dampak positif yang kita berikan kepada orang lain.
Perjalanan karirku adalah refleksi dari perjalanan hidupku, penuh dengan lika-liku dan tantangan. Namun, aku tidak akan pernah menyesali pilihan-pilihan yang telah aku buat, karena semuanya telah membentuk aku menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih berarti.
Kreator : Anton Sumarjana
Comment Closed: Bayangan Sejarah
Sorry, comment are closed for this post.