Matahari Jakarta pukul dua siang terasa sedang panas-panasnya. Bibi bertahan mencabuti rumput liar di pekarangan rumah mewah tempat bekerja. Untuk usianya yang hampir 55 tahun, rasanya lebih enak tinggal di kampung mengurus anak. Tapi sudah hampir setengah tahun ini ia terpaksa merantau ke Jakarta, menyeberangi Selat Sunda meninggalkan Lampung Selatan.
Tuntutan harus membayar hutang memaksanya yang sudah tidak muda lagi menjadi pembantu rumah tangga. Untung saja masih ada keluarga yang mau menerimanya bekerja. Menantunya pernah menasehati untuk jangan pernah terlibat rentenir, karena riba dilarang agama. Nasehat ini tidak digubris. Ia tak punya pilihan lain waktu itu. Gubuknya reyot, atap sudah berjatuhan sehingga bocor di saat hujan. Sudah tak layak lagi disebut rumah.
Setelah rumah selesai diperbaiki tergelitik di dalam hati keinginan untuk memulai berjualan cemilan. Ketika ada lagi penawaran untuk meminjam kredit usaha, tak ragu-ragu segera ia cairkan. Satu dua bulan pertama dagangan keripik belado laris manis melalui penjualan online, namun setelahnya sepi pembeli. Cicilan yang tagihannya harus dilunasi sebesar 650.000 rupiah per minggu lama-kelamaan tak bisa ditutupi.
Bibi mulai merasa hidup menjadi lebih berat. Nafas tak pernah lagi plong. Akhir pekan yang biasanya digunakan untuk bersantai, baginya menjadi saat-saat penuh ketegangan karena dua hari lagi debt collector tak pernah absen untuk mengetuk pintu rumah.
“Ah! Rasanya benci sekali ketika mengingat bagaimana dulu mereka merayu untuk mengambil kredit. Kini sekedar senyum sambil mengucap salam pun tidak mereka lakukan ketika menagih hutangku,” tangannya terus saja mencabuti rumput liar sambil pikiran melayang-layang memikirkan hutang.
Tiba-tiba lamunannya dihentikan oleh suara bel yang terdengar lebih nyaring di siang yang sepi itu. Lututnya seperti tak mau diajak kompromi untuk berdiri dari posisi mencabut rumput. Suara bel terdengar lagi. Pintu ruang tamu terbuka.
“Siapa, ya?!” suara Bos perempuan terdengar melengking, rupanya tidur siangnya terganggu.
“Herman, Bu,” terdengar sahutan dari seberang pagar.
“Apa tidak salah dengar?” batin Bibi.
Cepat-cepat ia bergegas ke arah pagar yang tingginya membuat tak bisa melihat siapa yang ada di luar sana. Ketika gembok dibuka, Bibi terpana melihat Herman anaknya berdiri di balik pagar.
Herman mencium tangan Ibunya yang masih belum berkata apa-apa.
“Siapa Bi?” terdengar lagi suara dari dalam.
“Ayo masuk,” katanya pada Herman sambil membimbing menuju arah Bu Wanti. “Ibu, ini anak saya Herman dari kampung.”
Bu Wanti memperhatikan anak laki-laki dua puluh tahun di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Oh!”
Hanya itu kata yang keluar dari lisannya. Dua orang di hadapannya berdiri seperti patung menatap wanita sepuh ini.
“Ya sudah masuk dulu, istirahat, nanti sehabis maghrib kita ngobrol ya.”
Keduanya kompak mengangguk dan segera masuk ke belakang melalui garasi.
* * *
Sehabis maghrib seperti biasa Bibi menata meja makan. Meski sendirian, tapi Bu Wanti tertib menikmati makan malam di meja makan dengan piring lengkap tertata.
“Bagaimana Bi? Ada kabar apa dari kampung?”
Bibi duduk di lantai berseberangan dengan meja makan. “Sebenarnya Herman membawa kabar gembira, Bu. Tapi Bibi malah jadi sedih,” katanya perlahan.
Bu Wanti bangkit dari duduknya beralih pindah ke sofa lebih dekat dengan Bibi. “Maksudnya bagaimana?”
“Herman diterima bekerja di kapal pesiar, Bu.”
“Wah, selamat! Dapat kontrak berapa lama?”
“Kontraknya kali ini sepuluh bulan, Bu.”
“Ya sudah, sepuluh bulan kan tidak terasa. Nanti juga dia akan pulang, Bi. Pengalaman ini bagus sekali untuk Herman,” Bu Wanti mengira Bibi sedih karena akan ditinggal anaknya.
“Bukan itu yang membuat Bibi sedih.” Bu Wanti mendengarkan Bibi melanjutkan kalimatnya, “Herman bilang saat mulai menerima gaji nanti, dia yang akan membayar hutang-hutang Bibi di kampung. Dia tidak mau Bibi capek bekerja.”
“Maasya Allah, mulia sekali hati Herman. Lalu, kenapa sedih, Bi?”
“Kalau Bibi tidak bekerja lagi. Bagaimana dengan Ibu?”
Bu Wanti diam lalu cepat-cepat menambahkan “Ck.. nggak usah pikirin saya. Jadi Herman datang ke sini untuk menjemput Bibi pulang?”
Bibi menunduk.
“Coba panggil Herman ke sini,” pinta Bu Wanti.
Bibi permisi ke belakang dan kembali bersama Herman. Anak muda ini mengenakan sarung dan kaos putih tampak rapi dengan rambut basah oleh air wudhu. Ia menganggukan kepala dan segera menyalami Bu Wanti.
“So, when are you leaving?” untuk mengetes kebenaran cerita Bibi bahwa anaknya akan bekerja di kapal pesiar, Bu Wanti langsung menanyai Herman dalam Bahasa Inggris.
“Insya Allah, I will leave on March 27, Ibu,” Herman menjawab tanpa canggung.
“Are you sure you are going to pay all your mother’s debt?” tanya Bu Wanti lagi.
“Yes Bu. I think it’s my time to take care of her. She has been working very hard to raise me by herself after Bapak passed away. I’m waiting for this moment Bu. I will make her happy. May Allah make it easy for me,” Herman berbicara panjang lebar disambut senyum Ibu Wanti dan tatapan mata Bibi yang bingung tak mengerti sepatah kata pun.
“Bibi harus bersyukur ya punya anak yang bertanggung jawab,” Bu Wanti bangkit dari duduknya menuju kamar. Tak lama ia kembali sambil menyerahkan amplop coklat kepada Bibi, “Ini terima uang gaji Bibi tiga bulan ke depan dan uang tiket untuk kalian berdua. Besok Bibi boleh pulang.”
“Bu.. tapi saya kan belum bekerja, kok sudah digaji,” Bibi tak habis keheranannya.
“Anggap saja ini bonus. Alhamdulillah, saya sangat terbantu sekali dengan adanya Bibi selama ini. Kebaikan dan kesabaran Bibi sudah dibalas oleh Allah. Pulanglah. Persiapkan keberangkatan Herman sebaik-baiknya. Uang ini bisa untuk membeli beberapa keperluan Herman. Jangan pikirkan saya. Saya juga punya anak-anak yang insya Allah siap meringankan beban saya,” Bu Wanti tersenyum menatap keduanya lekat.
Herman mencium tangan Bu Wanti sambil mengucapkan terima kasih. Bibi tak henti bersyukur kepada Allah yang telah mengangkat beban berat di dadanya. Sudah lama sekali hatinya tak merasa seringan ini. Pada shalat di penghujung malam, ia lama-lama sujud untuk mensyukuri pertolongan Allah yang memberinya ketenangan dan kedamaian qalbu. Malam itu ia berjanji untuk tidak akan pernah lagi berurusan dengan riba, karena Allah pun jelas-jelas menyatakan perang terhadapnya.
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Bayar Hutang
Sorry, comment are closed for this post.