Di sekolah filial Baru, pagi selalu dimulai dengan deru suara motor tua yang meraung dari kejauhan. Debu-debu tipis beterbangan setiap kali roda-roda kecil itu melintas di jalanan berbatu dan berlumpur. Anak-anak berseragam lusuh, dengan tas sekolah yang sudah mulai pudar warnanya, berboncengan di atas motor tanpa helm, kadang bertiga, bahkan berempat.
Medan yang terjal, lembah curam, dan tikungan licin tak pernah menjadi alasan untuk absen sekolah. Mereka tetap datang, membawa semangat yang entah darimana datangnya. Meski sekolah itu hanyalah bangunan sederhana, berdebu, bocor ketika hujan, dengan ruang kelas seadanya, tapi di sanalah mimpi-mimpi kecil itu disemai. Aku jatuh hati dengan pemandangan ini.
Di sekolah filial Baru, pemandangan yang kutemui tak kalah unik dan mendebarkan dibanding filial lainnya. Beberapa murid datang ke sekolah bukan dengan berjalan kaki atau naik sepeda seperti di tempat lain. Di sini, anak-anak kecil itu justru datang mengendarai sepeda motor sendiri. Bukan hanya satu orang, tapi kadang dua, bahkan tiga orang berboncengan di atas satu motor kecil.
Aku masih ingat pagi itu, ketika suara deru motor tua terdengar dari kejauhan. Debu jalanan berterbangan, lalu muncullah tiga anak kecil dengan tubuh mungil dan wajah ceria, duduk berjejer di atas satu motor tanpa helm. Salah satu dari mereka bahkan masih duduk di kelas tiga, memeluk erat kakaknya dari belakang. Mereka tiba di halaman sekolah sambil tertawa-tawa, seolah baru saja selesai bermain layang-layang, bukan menempuh jalan terjal berbatu yang di musim hujan bisa berubah menjadi aliran sungai dadakan.
Awalnya aku khawatir. Bagaimana mungkin anak sekecil itu mengendarai motor, di jalan licin dan berbatu, tanpa perlengkapan keselamatan? Tapi, Bu Ayu, guru senior di sana, hanya tersenyum.
“Bu, di sini sudah biasa. Kalau nggak begini, bisa nggak sekolah mereka. Rumahnya jauh di atas bukit, kalau jalan kaki bisa sejam jam lebih.”
Memang benar, jarak rumah ke sekolah filial Baru bisa mencapai dua hingga tiga kilometer. Jalanannya naik turun bukit, melewati lembah dan sungai-sungai kecil yang di musim kemarau kering, tapi bisa mendadak banjir jika hujan turun malam sebelumnya. Tak ada kendaraan umum, tak ada ojek. Orang tua pun tak selalu bisa mengantar. Seringnya, anak-anak harus berangkat sendiri.
Suatu kali, aku bertanya pada salah satu murid, “Kenapa nggak jalan kaki saja, Nak?”
Dengan polosnya, dia menjawab, “Kalau jalan kaki telat, Bu. Kalau bawa motor, bisa sekalian antar adik sama teman. Nanti pulangnya bareng-bareng.”
Ada rasa haru di balik keberanian mereka. Di usia yang masih sangat belia, mereka sudah terbiasa berbagi beban dan tanggung jawab. Tak sekadar mengejar ilmu, tapi juga memastikan teman dan saudaranya tetap bisa sekolah. Pilihan mereka bukan karena berani semata, tapi karena keadaan yang memaksa.
Aku selalu mengingatkan mereka agar hati-hati, tak ngebut di jalan, dan jangan memaksakan diri saat hujan deras. Tapi, aku tahu, di sini, keberanian adalah bagian dari perjuangan. Karena di desa kami, sekolah bukan sekadar kewajiban, tapi cita-cita yang harus diperjuangkan meski di atas roda dua.
Tak hanya soal anak-anak yang datang berboncengan naik motor di medan berbatu, sekolah filial Baru juga menyimpan cerita lain yang tak kalah memprihatinkan. Bangunannya sederhana sekali. Hanya ada tiga ruang kelas. Kelas enam menempati satu ruangan sendiri, begitu juga kelas lima. Sedangkan kelas tiga dan empat terpaksa harus berbagi ruang, hanya dipisahkan oleh sekat triplek tipis yang lebih sering bolong ketimbang utuh.
Suara riuh anak-anak bercampur jadi satu. Jika di sebelah membahas soal pecahan, di sisi lain belajar tentang sistem tata surya. Kadang suara guru bercampur, lalu terdengar suara tawa anak-anak saling bersahutan di sela-sela pelajaran.
Yang lebih membuat hati trenyuh, kelas satu dan dua bahkan tak punya ruang kelas. Mereka belajar di balai banjar, semacam pos kamling yang biasanya dipakai warga berkumpul saat ronda malam atau rapat desa. Di sana, anak-anak duduk lesehan di atas tikar lusuh, dikelilingi tiang kayu dan atap seng yang bocor di beberapa sudut.
Jika hujan turun, guru harus sigap menggeser anak-anak ke sudut yang lebih kering. Kadang buku pelajaran basah terkena tetesan air dari atap. Belum lagi jika angin kencang datang, debu dan dedaunan masuk ke dalam ruangan, membuat anak-anak sibuk menutup mata dan hidung mereka.
Aku pernah bertanya pada salah satu guru di sana, “Bu, kok kuat ya ngajar di kondisi begini?” Dia hanya tersenyum. “Namanya juga perjuangan, Bu. Kalau kita nggak begini, siapa lagi yang mau ngajarin mereka?”
Aku tahu betul, di kota, anak-anak seusia mereka mungkin belajar di ruang kelas ber-AC, diantar jemput orang tua, lengkap dengan helm lucu dan bekal di tas kecil. Sementara di sini, mereka membawa nasib sendiri di atas motor tua, belajar di ruang sempit yang bocor, berbagi ruangan, bahkan duduk di balai banjar.
Sebagai guru, tentu saja aku selalu khawatir. Tapi di saat yang sama, aku bangga. Karena anak-anak ini telah mengajarkan makna keteguhan, tanggung jawab, dan keberanian di usia yang masih sangat muda. Di balik suara deru motor, tawa kecil, debu, dan atap bocor itu, tersimpan semangat untuk tetap bertahan dalam keterbatasan.
Sekolah filial Baru telah menjadi saksi kecil betapa pendidikan di desa ini tak sekadar soal pelajaran di kelas. Tapi soal perjuangan, soal pengorbanan, soal keberanian kecil di atas roda dua, di kelas berdebu, di ruang seadanya. Dan aku, beruntung sekali bisa menjadi bagian dari kisah ini.
Di balik debu yang mengepul, di atas motor-motor tua yang ringkih, dan di antara kelas-kelas bersekat triplek itu, aku menyaksikan keberanian dan keteguhan yang sulit kutemukan di tempat lain. Anak-anak ini telah lebih dulu mengajarkan tentang arti perjuangan sebelum aku sempat berbicara banyak di depan kelas.
Aku tahu, mimpi mereka mungkin sederhana — bisa lulus SD, melanjutkan ke SMP, dan semoga suatu hari bisa sekolah di kota. Tapi keberanian mereka menaklukkan jalan terjal demi sebuah pelajaran, itu adalah cerita besar yang tak semua orang punya.
Di sekolah filial Baru, aku belajar bahwa semangat bisa lahir di mana saja. Meski di atas jalan berbatu, di ruang kelas bocor, atau di balai seadanya. Karena sesungguhnya, pendidikan bukan soal gedung megah, tapi soal hati yang tak pernah menyerah.
Kreator : Kade Restika Dewi
Comment Closed: Belajar di Antara Debu dan Deru Motor (Chapter 7)
Sorry, comment are closed for this post.