KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Belajar Tak Kenal Usia (Chapter 3)

    Belajar Tak Kenal Usia (Chapter 3)

    BY 14 Agu 2025 Dilihat: 6 kali
    Belajar Tak Kenal Usia_alineaku

    Jam dinding tua di depan kelas berdetak mantap. Pukul 09.00 pagi. Waktu di mana pelajaran di kelas lima selesai, dan aku, guru Bahasa Inggris baru dengan semangat 45 dan bekal spidol warisan, bersiap menapaki medan tempur berikutnya, yaitu kelas enam.

    Secara teori, ini masih jam produktif. Tapi kenyataannya di lapangan, ini adalah jam kritis. Kritis antara tetap fokus atau mulai mendengar suara keroncong dari perut sendiri maupun perut murid. Murid-murid mulai menunjukkan tanda-tanda alam, duduk goyah, mata melayang, dan sesekali melihat ke luar jendela seperti sedang mengintip gebetan lewat.

    Kelas enam ini letaknya persis bersebelahan dengan kelas lima, yang kata Bu Komang, wali kelas enam, mereka kadang suka bikin konser mini mendadak. Kalau kelas lima lagi belajar lagu nasional, kelas enam bisa ikut karaoke dadakan. Tapi, kalau kelas lima lagi dihukum diam, kelas enam justru lebih heboh. Mereka sebagai kakak kelas yang baik dan santun, sambil bertepuk tangan dan bersorak, memberi semangat kepada adik-adiknya yang kena hukuman. Luar biasa memang tingkah anak SD yang kadang di luar prediksi BMKG.

    Saat aku masuk ke kelas, suara kursi diseret langsung menyambut, ada yang pelan, ada juga yang seperti sedang geser lemari. Beberapa anak langsung sigap berdiri, sebagian lagi masih sibuk menutup bekas coretan rahasia di mejanya, entah nama gebetan, nama sendiri, nama teman sebangku, hasil hitung cepat PR, atau rumus matematika.

    Good morning, class!” sapaku dengan semangat penuh harapan.

    Mereka serempak senyum-senyum tipis. Yang perempuan senyumnya manis, sambil nutup mulut pakai tangan, entah malu, grogi, atau sisa sarapan masih nyangkut di gigi. Sementara yang laki-laki? Saling lirik dan tolah-toleh, seperti hendak berkata, “Eh, ini beneran Bu Guru ini yang ngajar? Bahasa Inggris beneran, nih?”

    Sepertinya, pagi tadi mereka sudah mengintip pelajaran di kelas tetangga, kelas 5, yang kebetulan aku ajar juga. Jadi mereka sudah dapat bocoran. Sekarang giliran mereka dihadapkan pada bahasa dari negeri jauh, Bahasa Inggris.

    Wajah-wajah penasaran bercampur deg-degan mereka, seperti mau ikut audisi, bukan belajar. Tapi aku tahu, mereka sebenarnya sudah siap. Siap belajar… atau siap pura-pura paham. Dua-duanya boleh saja, asal gak tidur saat jam pelajaran.

    Secara sepintas, kelas ini tidak jauh beda dengan kelas sebelah. Bangku-bangkunya sama, papan tulisnya sama, bahkan kondisi rak buku yang tak terurus juga sama. Tapi, ada dua magnet di pojokkan yang membuatku kepo. Ada dua murid laki-laki yang langsung mencuri perhatianku, bukan karena aktif, tapi karena… kok kelihatan seperti bukan anak SD?

    Dua anak ini terlihat jauh lebih besar dan matang dari murid lainnya. Tingginya? Mungkin setara aku, bahkan mungkin sedikit unggul kalau pakai sepatu pantofel. Bahunya lebar, suaranya berat, dan yang bikin aku nyaris salah sapa, kumis tipisnya sudah mulai tumbuh. Sungguh, aku sempat curiga, jangan-jangan ini bapaknya yang duduk nemenin anaknya.

    Mereka duduk di bangku paling belakang, seperti penjaga gawang. Wajahnya serius, tapi sesekali ikut nyengir saat teman-temannya tertawa. Dalam hati aku mikir, “Kalau nanti ada lomba atletik Tingkat SD, kayaknya mereka sudah pasti juara.”

    Apakah mereka tinggal kelas? Entahlah. Tapi yang jelas, mereka adalah bukti hidup bahwa pertumbuhan itu bisa sangat cepat dan tidak menunggu izin guru.

    Sebelum aku mati penasaran dan terus-menerus bertanya dalam hati, aku harus mencari cara yang elegan untuk mengetahui berapa sebenarnya usia dua murid raksasa di pojok kelas itu. Masa iya aku langsung tanya di depan kelas. 

    “Nak, kamu ini SD atau kuliah sambil nyamar?” 

    Kayak Film Shah Rukh Khan dong ya. Tentara yang menyamar jadi mahasiswa, yang malah bikin dosennya jatuh hati. Ah, penggemar drama Korea, mana tahu Bollywood.  Intinya, gak sopan aja kalo langsung nanya di depan teman-temannya.

    Lalu muncul ide yang agaknya cemerlang. Karena ini adalah pertemuan pertama pelajaran Bahasa Inggris, jadi aku bisa ajarkan topik perkenalan diri hari ini. Ini kesempatan emas! Sekali dayung, dua murid besar ini bisa terkuat usianya.

    Jadi aku pun memulai dengan penuh semangat, “Oke class, today we learn about self-introduction!” Mereka mengangguk-anggukan kepala, entah paham, atau hanya pura-pura paham. Yang penting gaya dulu. Urusan paham, belakangan.

    Aku mulai dengan contoh, “My name is Miss Dewi. I am 20 years old.”
    Lalu aku suruh mereka membuat kalimat yang sama. Tentunya tidak semudah itu, Ferguzo. Perkara angka 11 Bahasa Inggrisnya apa, 12 apa, dan seterusnya, aku dibikin pusing. Murid SD itu ya, kalau bertanya selalu kompak, bersamaan, seperti paduan suara yang tak seirama. Alhasil, kelas jadi seperti pasar. 

    Dan aku baru ingat, mereka belum pernah belajar Bahasa Inggris. Ini adalah kali pertama mereka. Jadi pantas saja mereka belum tahu angka dalam Bahasa Inggris. Lalu, dengan kesabaran maksimal, aku meladeni mereka satu persatu. 

    Akhirnya satu per satu, mereka mau memperkenalkan diri dengan malu-malu di depan kelas. Sampai datanglah giliran salah satu dari dua “kakak kelas dadakan” itu berdiri, dan dengan suara berat seperti penyiar radio, dia bilang, “My name is Yasa. I am sixteen years old.” Enam belas belas? Dalam hati aku mikir, Oh, pantes… ini bukan SD biasa. Ini SD edisi jumbo. Tapi kok bisa ya?”

    Yang satu lagi, begitu berdiri, juga bilang usia yang kurang lebih sama. Dan sekarang misteri itu terpecahkan. Mereka memang masih SD, hanya saja usia mereka tidak seperti teman-teman sekelasnya.

    Namun, meskipun rasa penasaranku soal umur sudah terjawab, masih ada yang mengganjal di hatiku. Dari gaya bicara dan tatapan mereka, rasanya tidak mungkin mereka tinggal kelas. Nada suara mereka mantap, pilihan kata mereka rapi. Mereka tidak seperti anak yang sering absen atau malas belajar. Justru mereka terlihat cerdas, tenang, dan… dewasa.

    Lalu aku mulai bertanya-tanya dalam hati lagi, Kenapa ya? Kenapa mereka masih duduk di bangku SD, padahal usianya sudah seharusnya SMA? Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Aku pun diam sejenak di depan kelas, memandangi mereka satu per satu, bukan cuma dua murid “spesial” itu, tapi semua anak di kelas. Dan dari wajah-wajah itu, aku bisa melihat cerita yang tidak ditulis di rapor. Cerita tentang anak-anak desa pegunungan yang kering dan gersang yang hidupnya tidak selalu linear. Di desa ini, sekolah bukan satu-satunya prioritas. 

    Disamping himpitan ekonomi keluarga, kurangnya kesadaran akan pentingnya Pendidikan, jarak tempuh ke sekolah yang jauh juga penyebab kenapa anak-anak usia sekolah banyak yang belum bersekolah. Jadi, dua murid ini adalah contoh kecil dari anak-anak itu. 

    Yang satu namanya Arya. Wajahnya tenang, senyumnya tipis. Tapi dari matanya, aku tahu, anak ini sudah kenyang ditempa oleh kehidupan. Saat istirahat, aku duduk sebentar di bangku luar kelas, lalu mulai mengobrol dengannya. Obrolan ringan itu pelan-pelan mengantar ke sebuah cerita yang membuatku terdiam cukup lama.

    Arya tinggal sekitar dua kilometer dari sekolah. Kedengarannya biasa, bukan? Tapi beda cerita kalau kamu tahu bahwa jarak itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, menyusuri bukit-bukit dan menyeberangi lembah. Ini bukan jalan aspal mulus seperti di kota. Ini jalan tanah berbatu, yang saat hujan bisa jadi kubangan, dan saat kemarau jadi lautan debu.

    Arya tidak pernah diantar orang tuanya. Bukan karena tak sayang, tapi karena mereka harus bekerja sejak pagi-pagi sekali. Menyabit rumput, mencari kayu bakar, atau mencari tuak manis (cairan yang dihasilkan oleh buah pohon lontar bisa diolah menjadi minuman beralkohol yang dibali disebut tuak ataupun menjadi gula aren) untuk menyambung hidup. Mereka bukan tak peduli pada sekolah, justru sebaliknya. Tapi di desa ini, hidup sering kali meminta prioritas yang sulit dijelaskan dengan logika orang kota.

    Dan kalau aku mundur ke belakang, ke saat Arya berusia 6 tahun, aku hanya bisa membayangkan, bagaimana mungkin anak sekecil itu berjalan sendiri 2 kilometer, lewat jalan berbukit dan lembah, hanya demi bisa duduk di bangku sekolah?

    Jawabannya: Tidak mungkin. Anak umur 6 tahun, apalagi di daerah seperti ini, belum cukup berani, belum cukup kuat untuk melawan medan, cuaca, dan rasa takut. Karena itu, Arya baru bisa masuk sekolah beberapa tahun lebih lambat dari anak-anak lainnya. Bukan karena malas. Bukan karena bodoh. Tapi karena kehidupan belum membiarkannya sekolah tepat waktu.

    Dan sekarang, di usianya yang sudah remaja, dia masih duduk di kelas 6, berusaha mengejar yang tertinggal, dengan wajah penuh semangat dan rasa malu yang dia simpan rapat-rapat.

    Satu lagi, namanya Yasa. Anak laki-laki dengan rambut agak kaku, kulit legam terbakar matahari, dan mata yang tak banyak bicara. Dia bukan tipe anak yang ribut atau suka tampil. Dia ada di kelas seperti bayangan pohon tenang, tapi keberadaannya menyejukkan.

    Yasa adalah anak yatim. Ayahnya meninggal ketika dia baru berusia lima tahun, usia di mana sebagian anak masih belum mengerti apa itu kehilangan, tapi Yasa sudah lebih dulu merasakannya. Tak lama setelah itu, ibunya menikah lagi, dan hidup Yasa berubah arah. Bukan ikut ibu, bukan ikut ayah tiri, tapi ikut bibik. Perempuan sederhana yang berjuang merawat Yasa sebisanya.

    Dan begitulah, sejak saat itu, hidup Yasa jadi serba tertunda. Termasuk pendidikannya. Baru di usia 10 tahun, Yasa bisa masuk SD. Itu pun bukan karena ada yang mengantar. Tapi karena dia sendiri yang minta untuk sekolah. Dia bilang pada bibinya. 

    “Saya mau sekolah, Bik. Saya mau merubah hidup.” 

    Kalimat seperti itu, terasa tidak sederhana untuk anak sekecil Yasa.

    Yasa bukan lambat, hanya datang lebih belakangan. Saat teman-teman sebayanya sudah belajar pecahan dan pengurangan panjang, dia baru memegang pensil untuk pertama kali. Tapi tekadnya besar. Dia belajar dengan semangat, seperti anak yang tahu betul, pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari hidup yang rumit.

    Dan sekarang, di kelas enam, dia bukan hanya mengejar. Dia berlari. Tak selalu cepat, tapi tak pernah berhenti.

    Kadang, kita terlalu sibuk membandingkan anak-anak berdasarkan usia, nilai, atau kecepatan mereka menyerap pelajaran. Tapi Arya dan Yasa mengajarkanku sesuatu yang tak kutemukan di buku pedoman kurikulum.

    Bahwa belajar tidak selalu harus tepat waktu, tapi selalu harus penuh niat. Dan sebagai guru pengabdi, aku sadar, tugasku bukan hanya mengajarkan Bahasa Inggris, tapi juga menghargai bahasa hidup mereka. Bahasa perjuangan hidup, bahasa sabar menunggu waktu, dan bahasa tekad yang tidak pernah mati.

     

     

    Kreator : Kade Restika Dewi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Belajar Tak Kenal Usia (Chapter 3)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021