Sore itu seperti hari-hari kemarin. Cuaca cerah dan asri. Di sebuah perumahan padat penduduk yang terletak di daerah area pabrik terdapat sekelompok anak usia SD kelas kecil. Mereka berasal dari berbagai daerah yang bertempat tinggal di perumahan itu. Karena rumah mereka berdekatan bahkan satu sama lain bergandengan tembok maka mereka setiap hari ketemu dan selalu bermain bersama. Kebersamaan mereka bagaikan saudara dekat di kala tinggal di desa.
Setiap hari mereka bermain bersama. Satu sama lain saling mencari jika belum lengkap semuanya. Tak heran jika salah satu diantaranya pergi ke luar kota atau mudik, mereka saling berpamitan. Bahkan masih direncanakan oleh orangtuanya pun mereka sudah mengabarkan bahwa ia akan mudik.
Keakraban mereka terjalin baik walaupun mereka masih terbilang anak kecil. Mereka adalah Pampam dan Nadin mereka kelas 3 SD. Sedangkan Mira dan Giska mereka kelas 2 SD juga. Layaknya anak zaman now, mereka membuat geng kelompok bernama Squad Empat Sekawan. Keempat anak tersebut bersekolah di empat sekolah yang berbeda. Walaupun berbeda sekolah, mereka tetap kuat persahabatannya karena setiap sore masih ada waktu untuk bermain bersama.
Mereka sekolah pagi sampai siang. Sepulang sekolah mereka makan dan istirahat sebentar. Kemudian mereka berkumpul dan bermain bersama. Ada kalanya tidur siang, ada kalanya mereka tidak tidur siang, namun mengisi waktunya dengan bermain.
Sore hari setelah sholat asyar mereka ngaji ke TPQ masing-masing. Tempat ngaji atau TPQ mereka pun berbeda-beda. Karena di perumahan itu ada beberapa TPQ dan ada beberapa sekolah. Usai ngaji di masjid atau tempat TPQ masing-masing mereka melanjutkan bermain lagi. Banyak macam permainan mereka . Ada saatnya mereka masak-masak-an, ada saatnya mereka bermain peran sebagai penjual dan pembeli. Bahkan mereka main tik tok-an dan di upload sendiri ke YouTube milik salah satu diantara mereka.
Namun, keasyikan mereka akan berakhir ketika mendengar bacaan tarhim di masjid menjelang maghrib berkumandang. Mereka bergegas pulang dan mengambil mukena. Mereka berangkat ke masjid bersama-sama. Satu sama lain saling menunggu jika masih ada yang lambat keluar rumah.
Sore itu, Si Pampam lumayan lambat keluar rumah karena dia mandi lagi sebelum berangkat ke masjid. Ternyata ia sudah ditunggu teman-temannya di depan pagar rumah.
“Mbak Pampam, ayo sholat.” panggil Giska dengan suaranya yang besar.
“Iya, Gis. Tungguin, Gis. Aku masih pake baju!” sahut Pampam dari kamarnya.
Mendengar panggilan temannya, Si Pampam takut ditinggal oleh mereka. Dia segera lari keluar rumah dengan mukena di tangan tanpa menutup pintu seperti biasanya. Baru dia masukkan ke dalam tas sambil berjalan bersama teman-temannya.
Mereka pergi-pulang dengan berjalan kaki karena jarak masjidnya lumayan dekat. Dan, tanpa dibersamai orang tua pun mereka berani karena perumahan yang padat penduduk tersebut selalu ramai warga wira-wiri sampai habis isya.
Sepulang dari masjid si Pampam bercerita kepada emaknya penuh semangat.
”Mak, iku lo, Mak. tante yang baru ngontrak di depan rumah kita itu sudah masuk Islam loh.”
Emaknya yang diharapkan merespon dengan berapi-api juga, malah landai dan seperti tidak percaya dengan kabar yang dibawanya.
“Beneran nih? Wong tante itu non islam kok. Beberapa bulan lalu dia mulai ngontrak di depan itu kan perkenalan dengan warga blok sini saat kumpul bersama pertemuan warga blok. Dia bilang non muslim kok.” Jawab emaknya menyanggah si Pampam yang bercerita dengan serius.
“Bener Mak, ini serius. Orang tadi sholat di masjid bersama aku kok. Malah dia berdiri di sebelahku.” Sanggah Pampam kembali.
“Ah, mungkin Pampam salah lihat kali. Mungkin itu orang lain yang mirip gitu, terus kamu kira dia itu tante depan rumah.” sahut emaknya masih tek percaya.
“Ya sudah kalau Emak gak percaya.” Ujar Pampam menyerah meyakinkan emaknya. Sambil masuk kamar menyimpan mukenanya, si Pampam berkata sendiri dalam hati.
“Emak kok tidak percaya ya. Padahal aku tadi melihat tante itu beneran sholat di sampingku. Aku jelas kok itu tadi tante depan rumah. Bukan orang lain yang mirip dia. Tapi ya sudahlah. Ngapain aku pikirin. Terserah emak lah mau percaya atau tidak. Yang penting aku sudah menyampaikan kabar gembira. Bukan kewajibanku membuat Emak percaya. Kewajibanku cukup menyampaikan kabar gembira. Sebenarnya aku punya harapan Emak akan mengapresiasi tante itu atau memberi sesuatu supaya semakin yakin dia dengan Islam-nya. Tapi aku yakin deh, Emak pasti penasaran. Aku yakin juga, Emak akan menemui dan bertanya langsung kepada beliaunya, menyambutnya dengan gembira dan mengapresiasinya.” Kata Pampam dalam hati.
Kreator : Endah Suryani
Comment Closed: Bener Gak, Sih?
Sorry, comment are closed for this post.