Penulis : Iis Istiqomah (Member KMO Alineaku)
Sebagai manusia, tentunya kita tidak terlepas dari kehidupan sosial dengan sesama manusia. Manusia akan selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani hidupnya, bahkan ketika kita mati. Kelompok sosial di masyarakat dapat terbentuk dengan cara yang berbeda-beda.
Saat berinteraksi dengan orang lain dalam suatu kelompok tertentu, biasanya kita dapat saling mempengaruhi. Orang-orang pada kelompok yang sama cenderung memiliki pola pemikiran yang sama, atau dibuat supaya sama. Entah itu hanya nampak di luar atau memang seperti itu adanya.
Sebagai orang timur, terkadang kita masih memiliki rasa “tak enak hati” yang tinggi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut menimbulkan perilaku memaksakan diri demi solidaritas. Menyampaikan sesuatu yang berbeda dianggap beresiko untuk mendapatkan perlakuan berbeda dari anggota kelompok lainnya.
Ketakutan inilah yang membuat sebagian besar orang mencari “aman” dalam menentukan sikapnya. Padahal apa yang dia lakukan bertentangan dengan kondisi dirinya, baik secara pribadi maupun finansial. Apapun akan diusahakan supaya bisa mengikuti gaya hidup orang lain. Misalnya teman-temannya mengajak makan-makan di restoran mahal, maka dia akan berusaha untuk mendapatkan uang agar bisa makan-makan bareng teman-teman. Kecuali jika ada salah satu temannya yang mentraktir, maka itu lain cerita.
Adapula kelompok yang senang jalan-jalan atau traveling. Tentunya itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi ada saja orang yang memaksakan diri untuk mengikutinya walaupun harus berhutang. Yang penting dia bisa jalan bersama teman-temannya.
Banyak faktor yang membuat seseorang memaksakan diri mengikuti gaya hidup dalam lingkungan klan dimana dia berada. Pertama, karena rasa gengsi yang tinggi. Ada orang yang tidak mau dianggap tidak mampu, sebab khawatir akan menimbulkan perbedaan sikap dari teman-temannya, takut tersisih atau dipandang sebelah mata.
Kedua, kebanyakan orang merasa tak enak hati untuk menolak atau berkata “tidak”. Hal ini sepertinya sudah merupakan budaya di negeri kita, dimana seseorang merasa sungkan untuk menolak ajakan temannya. Bahkan menganggap penolakan sebagai sikap yang kurang sopan. Padahal apa yang diinginkan oleh orang lain belum tentu sesuai dengan hati nurani kita.
Sejatinya, sebuah pertemanan akan saling memahami satu sama lain. Mereka tidak akan memaksakan sesuatu yang akan memberatkan temannya. Jika dalam sebuah kelompok pertemanan ada yang tidak mampu, maka hal tersebut tidak akan mereka jalankan. Atau teman yang lain berusaha bersama-sama meringankan beban temannya yang tidak mampu.
Namun, ketika kita berada dalam kelompok orang yang tidak mau mengerti akan kondisi kita, percayalah, mereka bukan teman yang cocok untukmu. Jadi tak perlu takut untuk mengatakan “tidak” jika memang itu tidak mampu kita penuhi.
Berkata “tidak” memang memiliki resiko yang mungkin tidak kita harapkan. Tapi rasa takut untuk berkata “tidak” juga dapat memberi efek yang buruk untuk diri kita sendiri. Lakukan segala hal dalam batas kemampuan kita. Jangan menutupi masalah dengan masalah baru. Bertemanlah dengan orang yang dapat menerima kita apa adanya, dan dapat saling memberikan dukungan untuk kebaikan.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Berani Berkata “Tidak”
Sorry, comment are closed for this post.