Kenyataan pahit akan kepergian mama kembali kepada sang Pencipta, rasanya seperti menindih dan menghimpitku dari berbagai arah. Membuatku merasa sulit bernapas bahkan tak mampu berpikir jernih. Penyebab kematian mama membuatku merasa makin terpukul karena tidak pernah menyangka, ternyata mama selama beberapa tahun terakhir, tengah mengidap penyakit serius sampai merenggut nyawanya, dan aku tak tahu!
Betapa pintar dan sabarnya mama menahan dan menyembunyikan rasa sakitnya mulai dari awal gejalanya masih ringan, sampai pada fase akhir pun ketika ia sudah dirawat inapkan masih saja berusaha meyakinkanku bahwa dirinya hanya kelelahan saja. Kepergian mama yang secepat itu memberiku banyak pelajaran untuk di petik. Karena berjuang untuk hidup berkecukupan saja itu tidak cukup.
Rutinitas hidupku sehari-hari sebagai seorang ibu yang menginginkan semua yang terbaik untuk keluarga kecil ini, sebenarnya tujuannya tidak muluk-muluk. Namun, cara mencapai taraf hidup yang menjadi standarku, kadang terlalu menyita waktu dan perhatian sampai melupakan aspek kesehatan tubuh dan kesehatan mentalku sendiri.
Sebagai ibu yang bekerja dengan jam kerja tak menentu dalam 24 jam sehari, di tempat yang tak lazim dimana situasi dan kondisi dikatakan ‘aman’ jika dalam seminggu tidak terdengar suara peluru berdesing, tanpa ada pembantu rumah tangga, dengan 2 orang anak beda usia yang karena situasi dan kondisi yang tak lazim di pedalaman ini, jadinya melakoni #HybridSchoolingLife, sambil memastikan rumah dalam keadaan bersih, pakaian dan selimut seluruh anggota keluarga tercukupi untuk melawan dingin yang menusuk tatkala suhu mencapai 0*C dan hujan es melanda, menjamin meja makan tersaji makanan sehat yang mengenyangkan dengan persediaan bahan makanan yang serba terbatas dan seadanya, membuatku tak sempat mengingat bahwa tubuhku ini bukan robot yang tak akan pernah rusak.
Semenjak melahirkan anak pertama, tubuhku mulai menampakkan kenaikan berat badan walaupun masih dalam batas atas untuk dikatakan normal yang membuatku cuek saja tak memikirkan bentuk tubuhku karena aku bukan seorang model yang harus selalu tampil prima dengan kecantikan dan kemolekan, itu pikirku.
Melahirkan anak kedua di tengah Pandemi Covid-19, dan berlanjut dengan masa lockdown dan isolasi membuatku tak mengontrol asupan makanan yang masuk melalui mulut ini. Kondisi ibu menyusui yang menderita Covid, yang tidak merasakan citarasa makanan dan tak dapat mencium aroma masakan, membuatku memaksakan makan agar tubuh tetap Fit untuk menyusui. Belum lagi berbagai macam dan jenis vitamin yang diberikan dari Rumah Sakit untuk dikonsumsi selain anti Virus, karena memang Covid belum ada obat spesifiknya. Rentetan kecuekan ini membuat tubuhku mengembang layaknya tepung diberi ragi menjadi adonan roti. Dalam sekejap, berat badanku menjadi hampir dua kali lipat dibanding sebelum melahirkan anak pertama dulu, jauh dari kata ideal.
Kematian mama seakan menemplakku dengan kenyataan bahwa orang yang terlihat sehat tak selamanya tubuhnya benar-benar sehat, meskipun aku tahu mamaku sedari dulu sangat menjaga asupan makanannya setiap hari. Pola makan clean food, tanpa daging, tanpa minyak, tanpa penyedap rasa dan tepung putih adalah makanan mama selama hidupnya. Selain itu, mama bergerak aktif dalam kesehariannya sebagai dosen yang kampusnya ditempuh dalam 2 jam perjalanan dari rumah dan hobinya bercocok tanam segala jenis buah-buahan yang menuntutnya terus bergerak. Tapi, itu semua tidaklah cukup. Asupan makanan sehat dan gerak tubuh yang aktif tidak menjamin menjadikan tubuh sehat.
Beberapa waktu setelah mama meninggal, barulah aku mengetahui ada beberapa kejadian pahit yang mama sembunyikan dan mama hadapi sendiri tanpa mau di bagikan ke siapapun sampai akhir hidupnya. Kesehatan tubuhnya merosot drastis karena stres yang dideritanya. Penyebab stres yang aku sendiri pun pastinya tak dapat memikulnya seorang diri. Tapi, itu lah mama, tanpa mau membebaniku dan siapapun disekitarnya, semua derita itu ditelannya sendiri dan akhirnya menjadi penyebab kemerosotan kesehatannya dan merenggut nyawanya dalam waktu yang relatif singkat.
Peristiwa ini memaksaku kembali mereview akan kesehatan tubuh dan mentalku sendiri. Banyak orang tua Berani Mati untuk menyelamatkan hidup anak-anaknya dari bahaya maut. Tapi, apakah aku Berani Hidup dan sehat tubuh dan mental untuk mendampingi pertumbuhan anak-anakku hingga mereka dewasa dan siap hidup mandiri nanti? Tak mudah mengembalikan berat badan ke timbangan ideal lagi karena faktor umur dan kesibukan sehari-hari. Tapi, jika hal itu penting untukku, pastilah akan ku temukan dan ku usahakan berbagai cara untuk mencapainya.
Semangat diriku… Gapai kesehatan tubuh yang ideal sambil tetap menjaga kesehatan mental sebagai ibu bekerja dan istri yang menopang suami tercinta. Fight…!!!
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Berani Mati atau Berani Hidup? Sebuah Perjalanan Tubuh dan Asa
Sorry, comment are closed for this post.