Sejak kedatangan Dita ke rumahnya, Iskandar galau. Dia khawatir dengan ucapan Dita kalau Husna diam bukan karena mengerti, tetapi karena kecewa dan lelah menghadapinya. Dia takut kehilangan Husna. Kebodohan dan keisengannya telah membuat kacau hidupnya. Dia sering iseng menggoda Sriatun kala itu, untuk menciptakan suasana yang ceria setiap kali dia mengantar Sriatun ke pasar. Namun, Sriatun merasa tersanjung dengan godaan dan keisengan Iskandar.
Bahkan, Sriatun agresif dan sering mencari perhatian Iskandar. Iskandar pun akhirnya mulai merasa nyaman dan mereka sering pergi berdua untuk jalan-jalan. Iskandar yang sering mendengar keluh kesah Sriatun merasa iba dan mereka pun semakin akrab. Hingga akhirnya, muncul ide Iskandar untuk mengajak Sriatun kawin siri.
“Kandar!” Suara seseorang mengagetkan Iskandar.
Iskandar mencari sumber suara.
“Jono! Apa kabar, bro?”
Jono adalah teman kuliah Iskandar, mantan suami Dita.
“Kabar baik, Kandar. Bagaimana mau dapat penumpang kalau tukang bentor-nya cuma melamun, bukan cari penumpang,” seloroh Jono.
Iskandar menjawab dengan senyuman.
“Kenapa muka kusut begini, Kandar? Berantem dengan Husna?” Tebak Jono.
“Bukan berantem dengan Husna, tapi berantem dengan Dita,”
“Lho, kok bisa? Dita itu tidak tahu berantem, dulu aja diam biarpun aku menyakitinya,” Wajah Jono berubah sendu. Dia teringat bagaimana kecewanya Dita dengan tingkah lakunya. Hingga tiba-tiba dia menggugat cerai dan meninggalkan dirinya.
“Kenapa mukamu jadi muram, Jon?”
“Sedih mengingat mantan,” lanjut Jono. “Eh bagaimana bisa Kau berantem dengan Dita?”
“Aku mengkhianati Husna, Dita marah-marah,”
“Bahaya, Kandar. Siap-siap Kau digugat cerai,”
“Tidak mungkin Husna menggugat cerai. Dia pengertian dan membiarkan istri baruku tinggal di rumah.”
“Dia tidak protes?”
“Sempat protes sih, tetapi aku kasih tahu kalau istri baruku juga punya hak tinggal di rumah, akhirnya dia mau mengerti. Tapi, dia berubah jadi pendiam dan semakin sibuk kerja. Kadang malam baru pulang,”
“Itu tanda-tanda, Kandar. Kalau istri berubah jadi pendiam bukan karena pengertian. Tetapi sedang menahan rasa sakit dan kecewa. Kau siap-siap saja, kalau Husna sudah lelah dan tidak kuat lagi, dia akan meninggalkanmu,”
“Jangan sok tahu Kau, Jono.”
Jono tertawa getir, menahan rasa sakit di dada karena penyesalan yang dalam telah menyakiti orang sebaik Dita. Akhirnya, dia kehilangan Dita, orang yang sangat dicintainya.
“Aku duda yang digugat cerai istri. Dita menggugat cerai karena kecewa dengan kelakuanku yang narsistik dan patriarki, bahkan abusive. Dia diam, tetapi tiba-tiba aku digugat cerai dengan kesalahan berlapis-lapis yang dia ungkap ketika sidang perceraian.”
“Rumit banget kata-katamu, Jono. Narsisistik, abusive … dan … apa lagi tadi?”
“Intinya, aku semena-mena kepadanya. Lebih tepatnya lagi, Kau lihat di google. Kau bisa belajar parenting untuk menyelamatkan rumah tanggamu. Semua istilah tadi terungkap ketika sidang perceraianku. Aku tidak menyadari telah melakukan kesalahan besar hingga membuat Dita menggugat cerai.”
“Itu kan Dita. Husna berbeda lah,”
“Jangan terlalu pede, Kandar. Kau tak mengerti bagaimana istri berjuang sendiri menahan sakit dan mengobati luka hatinya. Ego kita sebagai laki-laki terkadang membuat kita zalim pada pasangan.”
“Istri yang seharusnya kita bahagiakan, malah kita sengsarakan,” Jono tertunduk menahan sesak di dada karena penyesalan yang dalam.
Iskandar mencoba mencerna apa yang dikatakan Jono.
“Eh, ngomong-ngomong makin cantik dan modis Husna itu ya. Hati-hati Kau. Banyak lelaki mengincar perempuan cantik dan salehah seperti Husna.”
“Kapan Kau ketemu dia, Jono?”
“Waduh, aku ini langganan di toko bangunannya. Dia nggak cerita kalau sering ketemu aku?”
“Apa katamu?” Husna kerja di toko bangunan? Bukan di kantor kelurahan lagi?”
“Kasihan Kau, Kandar. Istri punya toko bangunan Kau tidak tahu?”
Iskandar seperti tersengat listrik mendengar pertanyaan Jono. Tetapi dia masih merasa gengsi mengakui keterkejutannya.
“Toko bangunannya Dita, kali. Dia cuma bekerja di situ. Kan kakaknya yang punya. Bisa aja dia berlagak kayak bos,”
“Woiii, bangun dulu Kau, Kandar. Engkau seperti orang tidur yang tidak tahu apa-apa. Kalau sekarang Husna sampai merahasiakan siapa dirinya sebenarnya, itu tandanya Kau sudah tidak ada di hatinya!” Jono mulai kesal karena Iskandar tidak mau mempercayainya.
“Jangan kegeeran, dia bertahan karena masih mencintaimu. Mungkin dia bertahan karena Rio dan Ragil,” Jono masih berapi-api menyadarkan Iskandar.
“Sekarang Husna cantik dan kaya, enteng saja dia meninggalkanmu dan mencari yang selevel dengan dia,”
Panjang lebar Jono menjelaskan, Iskandar hanya diam. Dia belum percaya sepenuhnya. Masih tetap merasa Husna tidak akan meninggalkannya. Karena Jono semakin kesal kepada Iskandar yang belum sadar juga, Jono berkata sarkas.
“Husna pengusaha kaya, Kau cuma tukang bentor yang tidak tahu diri, cepatlah bangun dari tidurmu!”
Karena merasa terhina, Iskandar tidak terima dan berdiri tepat di muka Jono.
“Kau jangan menghina tukang bentor ya!”
“Maaf, Aku tidak bermaksud menghinamu. Hanya menyadarkanmu untuk segera bertindak supaya tidak kehilangan Husna, selamatkan rumah tanggamu” Jono melanjutkan nasehatnya.
“Kau butuh perjuangan yang berat karena Husna sekarang bukan Husna yang dulu, yang bisa seenaknya Kau perlakukan mengikuti kemauanmu!”
“Jangan sampai Engkau menyesal berkepanjangan seperti aku, sakitnya tidak ada obatnya. Sakit kehilangan orang yang kita cintai tetapi kita menyakitinya,”
Hilang kemarahan Iskandar melihat kesungguhan Jono menasehatinya. Sejatinya dia takut kehilangan Husna. Bahkan seandainya disuruh memilih antara Husna dan Sriatun, Iskandar lebih memilih Husna. Kepribadian Husna jauh lebih baik dari Sriatun. Kecantikan Husna juga jauh di atas Sriatun. Kalau sekarang dia terpaksa mempertahankan Sriatun, karena Iskandar tidak mau mempermainkan pernikahan. Sriatun juga sekarang menggantikan Husna mengurus dan melayaninya.
Karena penumpang malam itu sepi, Iskandar cepat pulang ke rumah. Nasehat Jono masih terngiang-ngiang di telinganya. Iskandar sangat takut kehilangan Husna.
“Assalamualaikum,” Iskandar masuk rumah, disambut Sriatun.
“Waalaikumsalam, kok cepat pulang, Bang?”
“Sepi penumpang, Atun. Tanggal tua begini, jarang orang keluar rumah.”
Iskandar duduk di sofa, bersebelahan dengan Sriatun. Husna keluar kamar dengan Ragil dan Rio membawa tas besar. Husna minta izin untuk tidur di rumah Dita. Iskandar keberatan, khawatir Dita akan memprovokasinya untuk mengajukan gugatan cerai.
“Duduk dulu, Dik. Aku mau menanyakan sesuatu.”
Husna duduk berhadapan dengan Iskandar. Dia menunduk. karena kikuk, sudah lama dia tidak duduk berdekatan dengan Iskandar. Iskandar memandangi kecantikan Husna. Sriatun cemburu.
“Abang ini mau tanya apa? Cepat tanya, mereka sudah mau pergi,” kata Sriatun tidak sabaran, berharap Husna cepat pergi.
“Toko bangunan yang di jalan menuju pantai itu adik yang punya?”
Husna terkejut Iskandar sudah mengetahuinya. Husna hanya mengangguk.
“Kenapa tidak bilang sama aku, Dik. Aku kan suamimu,” protes Iskandar.
“Wah, merahasiakan kekayaan kepada suami ya, dasar pelit!” tiba-tiba Sriatun menimpali.
“Bukan maksud mau merahasiakan, tapi selama ini Husna tidak pernah dianggap dan tidak pernah didengar kalau bersuara. Husna tidak tahu kalau masih dianggap istri atau dianggap apa.”
“Jangan sok minta simpati. Ceraikan saja, Bang. Istri kok kurang ajar, merahasiakan kekayaan pada suami.”
“Diam dulu, Atun. Ini urusan Abang dengan Husna.”
“Tapi tidak bisa dibiarkan, Bang. Ceraikan saja. Harta gono gini dari toko bangunan dan rumah ini harus dibagi dengan adil,” Sriatun menampakkan wajah aslinya yang matre dan ingin menguasai Iskandar.
Terdengar klakson mobil di luar. Dita datang menjemput Husna dan anak-anaknya. Karena Dita lama menunggu Husna dan keponakannya belum datang, dia khawatir terjadi sesuatu kepada mereka. Akhirnya, dia berinisiatif untuk menjemput mereka.
Mendengar suara mobil Dita, Husna langsung berdiri dan minta izin kepada Iskandar. Sebenarnya Iskandar masih ingin berbicara dengan Husna, tetapi dia khawatir kalau sampai Dita masuk ke rumah, akan terjadi lagi keributan dengan Sriatun. Dia sudah berjanji dengan Pak RT untuk menjaga keamanan dan ketenteraman keluarga dan lingkungan. Dia pun segera memberikan izin kepada Husna dan anak-anaknya untuk ke rumah Dita .Iskandar akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara empat mata dengan Husna.
Sriatun merasa bebas karena tidak ada Husna di rumah. Dia menanyakan kebenaran status rumah mereka tinggali milik Husna atau Iskandar.
“Awalnya rumah ini milik orang tuaku. Karena orang tuaku terlilit hutang, Dita membantu melunasi hutang dengan membeli rumah ini. Dita memberikan rumah ini kepada kami, tetapi sertifikat atas nama Husna,” Iskandar menjelaskan.
“Orang kok pelit banget, terlalu perhitungan. Kalau mau bantu bayar hutang ya bantu aja. Kok pakai menguasai rumah orang tuamu segala,” gerutu Sriatun.
“Bukan pelit, Atun. Tetapi Ayahku juga sudah banyak hutang budi kepada Dita. Waktu ibuku operasi, Dita yang menanggung biayanya.” Bela Iskandar.
“Apalagi hutang Bapakku itu setengah milyar. Ditukar dengan rumah ini, tidak ada separuhnya. Uang Dita tetap terpakai banyak.”
“Tetap aja pamrih, mau menguasai rumah orang tuamu!” Sriatun tetap ngotot dengan pendapatnya.
Iskandar tidak menanggapi lagi, akan tambah pusing kalau meladeni Sriatun. Tidak ada yang benar di matanya. Iskandar heran, kenapa dia bisa ketemu orang seperti Sriatun. Seperti ada yang salah dengan psikisnya. Setiap hari marah-marah. Kadang Iskandar lelah menghadapi kemarahan Sriatun.
Iskandar mengingat sikap lemah lembut Husna, adem dirasakan. Ketika Iskandar marah, Husna akan mengalah walau pun bukan Husna yang salah. Atau, tiba-tiba Iskandar menyadari sesuatu.
“Apakah ini balasan Allah kepadaku karena sering marah-marah kepada Husna untuk mempertahankan ego? Sehingga Allah mengirim Sriatun, agar aku tahu rasanya lelah menghadapi pasangan yang marah-marah dan kasar?” Iskandar bertanya dalam hati.
“Kenapa Abang melamun? Mikirin Husna?” Sriatun menepuk bahu Iskandar.
Melihat Iskandar terkejut, Sriatun curiga Iskandar memikirkan Husna.
“Abang! Ada aku di sini, kenapa Abang malah memikirkan Husna?” Sriatun cemburu.
“Bukan begitu, Atun. Aku takut kita terusir dari sini,” Iskandar mencoba menurunkan tensi kemarahan Sriatun dengan mencari alasan yang lain.
“Ini rumahmu, Bang. Orang tuamu yang membangun. Kita lebih berhak atas rumah ini,”
“Di mata hukum, rumah ini milik Husna. Sertifikatnya atas nama Husna.”
“Kita pakai hukum rimba, Bang. Biar Husna tahu siapa Sriatun. Tidak bisa dianggap remeh!”
“Jangan macam-macam, Atun. Aku tidak mau berurusan dengan hukum. Di mata hukum kita yang salah. Jangan memperparah keadaan!”
Iskandar khawatir Sriatun akan nekat, karena Dia tahu sifat Sriatun. Beberapa bulan lalu pedagang batik di pasar dihajar Sriatun karena menggeser lapak dagangannya. Untung bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan tanpa melibatkan polisi. Iskandar takut Sriatun akan menyakiti Husna. Keadaan akan tambah runyam kalau tidak segera diantisipasi.
Kreator : Tri Uswatun Hasanah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bercanda Dengan Poligami (chapter 10)
Sorry, comment are closed for this post.