Siang itu, Iskandar bermaksud mengajak Husna makan di luar untuk memperbaiki hubungan mereka dan mencari solusi dari masalah keluarga yang mereka hadapi. Iskandar masih sangat mencintai Husna dan merindukan saat-saat berdua seperti dahulu. Iskandar memarkirkan bentornya di seberang jalan yang berhadapan dengan toko bangunan.
Dia mengamat-amati suasana toko sambil duduk di kursi penumpang. Iskandar melihat Husna duduk di kursi kasir dekat pintu keluar toko. Husna melayani pembayaran para pembeli sambil sesekali memberikan instruksi kepada karyawannya. Pandangan Iskandar terhalang oleh mobil bak terbuka Daihatsu Gran Max yang tiba-tiba parkir di depan toko. Karena tidak puas hati, Iskandar masuk ke toko bangunan.
Dia melihat supir mobil bak terbuka tersebut sedang berbicara dengan Husna di meja kasir. Dari balik rak yang berisi cat, Iskandar bisa mendengar dengan jelas perbincangan mereka. Laki-laki yang menyetir mobil itu mengadakan transaksi pembayaran dengan Husna. Dari gaya bicaranya, dia adalah seorang kontraktor.
“Terima kasih, Bu Husna sudah membantu kami untuk pengadaan bahan bangunan. Sehingga proyek kami berjalan lancar,”
“Berarti benar, dia adalah kontraktor.” Pikir Iskandar.
“Terima kasih juga sudah mempercayakan kepada kami untuk menjadi mitra mega proyek pembangunan taman wisata bahari,” ucap Husna.
Iskandar masih terus memperhatikan perbincangan mereka. Dia mulai kesal karena laki-laki itu masih berbicara terus, padahal sudah selesai melakukan pembayaran. Perasaan Iskandar semakin bergejolak ketika laki-laki tersebut bertanya masalah pribadi kepada Husna.
“Saya lihat Bu Husna selalu sendirian ke sana ke mari mengurus toko ini, suaminya ke mana, Bu?”
“Suami saya ada kesibukan juga, Pak,” Jawab Husna.
“Saya kira Ibu ini janda. Saya siap jadi suami Ibu,”
Entah serius atau bercanda, tetapi kata-kata itu membuat Iskandar marah dan segera muncul di hadapan mereka. Husna terkejut dengan kemunculan Iskandar. Husna paham sifat Iskandar yang cemburu buta. Dia pernah ditampar Iskandar karena dia nebeng di mobil Pak Umar, tetangganya. padahal tetangga tersebut bersama istrinya.
“Ma … maaf, Pak. Ini suami saya,”
“Jangan bercanda, Bu Husna. Saya tahu dia ini tukang bentor,”
Iskandar yang tersinggung karena merasa dihina dengan profesinya sebagai tukang bentor, langsung meninju laki-laki tersebut.
“Astaghfirullah!!” Husna terpekik karena panik dengan kelakuan suaminya.
Terjadilah perkelahian karena kontaktor tersebut tidak terima mendapatkan tinju dari Iskandar. Para karyawan toko berusaha melerai, sedangkan Husna sangat marah dengan kelakuan suaminya. Dia meminta maaf kepada kontraktor yang tangannya ditahan oleh beberapa karyawan karena masih ingin memukul Iskandar.
“Kalau datang ke toko hanya untuk membuat kekacauan, lebih baik jangan pernah lagi datang ke sini!” Untuk pertama kalinya Husna meninggikan suara kepada Iskandar.
“Gara-gara laki-laki ini, kau berani membentakku, Dik!” Iskandar tidak terima dengan kata-kata Husna.
Husna tidak mengindahkan Iskandar. Dia mendekati Pak Jaya, kontraktor yang masih ditahan oleh beberapa karyawannya.
“Maaf, Pak Jaya. Saya sangat malu dengan kejadian ini. Maafkan kami. Saya harap Pak Jaya paham dengan posisi saya,” Husna menelungkupkan dua tangannya di dada sebagai tanda permohonan maaf.
“Saya juga minta maaf, Bu Husna. Saya tidak menyangka candaan saya berakhir dengan kekacauan.”
Husna mengantarkan Pak Jaya menuju mobilnya. Sebelum masuk mobil, Pak Jaya bertanya kepada Husna.
“Maaf, Bu. Benarkah dia itu suami Bu Husna? Karena yang saya tahu dia adalah suami Sriatun, tetangga saya yang pernah ngontrak dekat pasar.”
“Benar, Pak. Suami saya juga suami Sriatun.”
Dalam perjalanan pulang Pak Jaya tidak bisa fokus menyetir, karena pikirannya terganggu. Antara percaya dan tidak percaya Husna yang cantik dan kaya punya suami tukang bentor yang memiliki istri dua.
Sore harinya, Husna pulang ke rumah. Suasana rumah sepi. Rio dan Ragil masih ada kegiatan taekwondo. Anak-anak Sriatun bermain di kamar. Ketika akan masuk kamarnya, ada tangan yang menarik Husna, kemudian mendorongnya, sehingga Husna jatuh terduduk karena hilang keseimbangan. Husna segera bangkit, dan melihat Sriatun yang telah membuatnya terjatuh.
Mendidih darah Husna, karena kesabarannya selama ini disalah artikan oleh Sriatun. Dia mengira Husna penakut dan lemah.
“Heh! Cuma numpang disini, harus tahu diri ya!” melengking suara Husna didera kemarahan yang memuncak. Kemarahan atas kejadian di toko karena ulah Iskandar belum hilang, ditambah lagi dengan kelakuan Sriatun. Sriatun tertawa.
“Punya nyali juga Kau!” Sriatun menyeringai. Husna mencium gelagat yang tidak baik, dia pun semakin waspada.
Sriatun menarik jilbab Husna dan berusaha memukulnya dengan tangan sebelah. Husna menangkis serangan tangan Sriatun, dan kakinya menendang ke atas, mengenai tangan Sriatun yang menarik jilbabnya. Sriatun yang terkejut dengan gerakan cepat Husna, hilang keseimbangan. Peluang ini dipergunakan oleh Husna untuk menangkap kedua tangan Sriatun dan menahannya dibelakang. Sriatun tidak bisa bergerak.
“Aku ini mantan atlet karate, jangan Kau kira aku diam karena lemah,” bisik Husna di telinga Sriatun.
“Lepaskan! Lepaskan!” teriak Sriatun.
Asrul yang mendengar teriakan Sriatun berlari ke sumber suara.
“Tolong, dia mau mencelakaiku!” fitnah Sriatun.
Husna melepaskan cengkeraman tangannya, dan mendorong Sriatun sampai hampir jatuh di depan Asrul.
“Bilang pada adikmu ini, supaya tahu diri!” mata Husna nyalang mengarah ke wajah Asrul.
Husna tidak jadi masuk kamar, dia keluar rumah dan pergi ke rumah Dita. Sampai pagi Husna tidak pulang. Rio dan Ragil juga menginap di rumah Dita. Husna mencium gelagat yang mencurigakan. Sriatun ingin menguasai rumah itu. Demi keselamatannya dan anak-anak, mereka tinggal di rumah Dita.
Keesokan harinya, ada panggilan dari polisi untuk Husna. Sriatun dan Asrul membuat laporan polisi. Mereka menuduh Husna menyerang Sriatun. Husna memenuhi panggilan tersebut. Husna bertemu dengan mereka di kantor polisi. Bahkan Iskandar pun ada di sana.
“Dik, kenapa Adik sudah berubah jadi jahat?” Tanya Iskandar.
“Allah yang Maha Tahu siapa yang jahat,” jawab Husna dengan tenang.
Husna dipanggil masuk ruangan pemeriksaan. Sriatun tersenyum mengejek.
“Siap-siap tidur di penjara,” diiringi tawa Sriatun merasa puas karena berhasil membuat Husna jadi tertuduh.
Belum sampai sepuluh menit, Husna sudah keluar dari ruang pemeriksaan. Dia duduk senyum-senyum melirik Sriatun. Giliran Sriatun yang dipanggil untuk diinterogasi. Sambil menunggu Sriatun yang lama di dalam ruang pemeriksaan, Husna mengirim video rekaman CCTV kepada Iskandar. Video itu menjadi bukti dari kelakuan Sriatun. Iskandar terkejut melihat kenyataan bahwa Sriatun yang menyerang Husna.
Dita sampai di kantor polisi dengan wajah cemas. Melihat Husna yang duduk tenang, Dita merasa lega. Dia melotot ke arah Iskandar. Iskandar yang paham maksudnya, menunduk karena merasa bersalah. Husna memperlihatkan video rekaman CCTV kepada Dita.
“Alhamdulillah, mereka tidak tahu ada CCTV di rumah itu,” Bisik Dita di telinga Husna.
Sriatun keluar dari ruangan dengan wajah sendu, dan langsung terduduk di depan Iskandar.
“Aku dituntut karena melakukan tuduhan palsu,” isak tangisnya memenuhi ruang tunggu kantor polisi.
“Puas Kau, Husna! Awas ya, aku belum menyerah!” Teriak Sriatun.
Iskandar pusing dengan kelakuan Sriatun. Apa yang dikhawatirkan Iskandar menjadi kenyataan. Sriatun akan mencelakai Husna. Namun, Husna bisa menangkis karena terlatih mempertahankan diri dengan latihan karate waktu masih sekolah.
Sriatun ditahan di Polsek. Dita dan Husna merasa lega, kemudian beranjak untuk pulang. Di depan kantor polisi mereka bertemu Pak Jaya. Ternyata Pak Jaya datang ke kantor polisi untuk memasukan laporan Iskandar yang menyerangnya di toko bangunan milik Husna.
“Maaf, Bu Husna. Saya melaporkan Pak Iskandar,” Kata Pak Jaya sambil memperlihatkan hasil visum dokter.
Pak Jaya merasa sakit setiap buang air kecil, karena kandung kemihnya ditendang Iskandar.
“Silahkan, Pak. Tidak apa-apa. Gantian, tadi saya yang dilaporkan. Sekarang suami saya,” sahut Husna.
“Maksud Bu Husna?”
Dita menceritakan kronologi Husna dilaporkan oleh Sriatun. Akhirnya Sriatun yang ditahan karena membuat laporan palsu. Husna mencubit kakaknya sebagai protes karena Dita menceritakan masalahnya. Pak Jaya yang melihat kelakuan Husna dan paham maksudnya, tersenyum tipis.
“Waduh, Bu Husna ini memang wanita surga. Menutup aib suami walaupun sudah disakiti.”
Husna hanya tersenyum menanggapi pujian Pak Jaya, dan pamit untuk pulang karena urusan mereka sudah selesai. Kemudian mereka berpisah, Dan Pak Jaya masuk ke kantor polisi.
Dita memberondong pertanyaan kepada Husna. Dia heran kepada adiknya yang masih mempertahankan Iskandar. Apa yang bisa diharapkan dari suami yang sudah mengkhianati dan menyakiti istri? Tidak pernah lagi memberi nafkah, dan istri barunya sering bikin masalah.
“Kau tidak lelah, Husna?”
“Kalau dipikirkan ya bikin lelah. Aku sih nggak mau mikirin,” jawab Husna enteng.
“Kau tidak sakit hati?”
“Ada sih, sakit hati juga. Tapi nggak usah dirasain biar nggak berlarut sakitnya,”
“Bagaimana bisa tidak dirasain kalau yang nyakitin di depan mata?”
“Serahkan semua kepada Allah.”
“Susah lah, tetap saja hati itu rasa sakit. Aku aja kalau ketemu Mas Jono tetap ada yang teriris dalam hati. Padahal sudah belasan tahun lalu dia nyakitin. Sampai sekarang masih terasa.”
“Itu karena Kak Dita belum ikhlas.”
“Disakitin kok ikhlas, nggak bisa lah.”
“Yah, kalau nggak ikhlas itu menyiksa diri sendiri.”
“Tambah bingung dengan konsep hidupmu ini.”
“Rasa sakit itu memang ada, tapi jangan dirasain terus. Minta sama Allah agar kuat. Setiap masalah pasti ada hikmahnya.”
“Tapi kan nggak enak banget ada masalah.”
“Sesuatu yang kita tidak sukai itu datang atas izin Allah. Boleh jadi kita tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan banyak kebaikan dari hal yang tidak kita sukai itu.”
“Waduh, tambah bingung dengan jalan pikiranmu, Husna.”
“Husna terlalu mengutamakan suami waktu itu. Ketika Allah membuat hati suami berpaling dari Husna, Husna jadi sadar bahwa ada cinta yang lebih indah daripada cinta kepada manusia. Dulu Husna melayani suami, mengurus rumah tangga karena bakti kepada suami. Husna berharap suami menghargai pengorbananku. Ternyata pengkhianatan dan kekecewaan yang Husna terima. Tetapi kalau kita melakukan semua karena berharap ridha dan cinta Allah, kita tidak akan kecewa.”
“Allah cemburu karena kita mengutamakan suami dari pada Allah, akhirnya Allah tegur dengan pengkhianatan suami. Hikmahnya, Husna lebih dekat dengan Allah, sering merindukan Allah dan ikhlas menerima semua takdir Allah.”
“Bisa jadi ustadzah juga adikku ini,” seloroh Dita. Mereka pun tertawa.
“Ikut privat Kelas PPA, agar mendapatkan banyak ilmu dalam menghadapi masalah.”
“Apa itu, Husna? Baru dengar ini.”
“Pembelajaran untuk mendapatkan pertolongan Allah. Cara mencari solusi yang islami untuk meraih semua keinginan dengan mudah melalui pertolongan Allah.”
“Kayaknya menarik. Kalau lihat Kau, Husna, kayak enteng banget menghadapi masalah.”
“Just focus on Allah, hidup jadi lebih mudah dijalani.”
“Di mana kelasnya?”
“Bulan depan kayaknya ada, nanti Husna infokan kepastiannya.”
Diam-diam Dita mengagumi adiknya. Ternyata Husna lebih dewasa dari dia, lebih tangguh dan bisa jadi panutan.
Kreator : Tri Uswatun Hasanah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bercanda Dengan Poligami (chapter 11)
Sorry, comment are closed for this post.