Iskandar dirawat di rumah sakit, karena setelah pemeriksaan lebih lanjut ada bagian tulang belakangnya yang retak. Hal itulah yang membuat dia susah untuk bangun. Husna yang setiap saat menemaninya di rumah sakit dan menanggung semua biaya pengobatannya. Kalau Husna mengikuti perasaannya, dia ingin membiarkan Iskandar sakit dan meninggalkannya. Namun suara hati kecilnya membuat Husna tetap ingin menjadi istri yang salihah. Dia juga ingin keluarganya tetap utuh demi masa depan anak-anaknya.
Sore itu Dita datang ke rumah sakit. Selama Husna merawat Iskandar, Dita yang mengelola toko bangunannya. Sedangkan toko bangunan milik Dita dipercayakan kepada asistennya. Sebenarnya Dita merasa kesal karena Husna masih mau merawat Iskandar setelah apa yang Iskandar lakukan kepada Husna. Tetapi dia juga penasaran, apa yang membuat Husna setia kepada Iskandar.
Di rumah sakit, Dita malas melihat Iskandar. Dia hanya ingin ketemu Husna untuk melihat keadaannya. Mereka ngobrol di depan kamar.
“Kenapa di kamar VIP? Bayarnya mahal,” protes Dita.
“Biar aku lebih bebas bergerak, karena kapasitas cuma satu pasien. Kalau kelas yang lain risih lah campur dengan orang lain.”
“Apa yang kau harap dari dia, Husna? Kau bisa dapat laki-laki yang lebih ganteng dan lebih kaya.”
“Aku tidak mengharapkan apa-apa dari dia, pastinya cuma kecewa kalau berharap kepada manusia.”
“Tapi kau masih setia merawatnya.”
“Aku hanya berharap kepada Allah. Semoga Allah rida kepadaku. Istri yang berbakti kepada suami dan mendapat ridho dari suami akan mendapatkan balasan surga. Bahkan Allah mempersilahkan memilih pintu surga mana saja untuk masuk ke dalamnya.”
“Tetapi, Husna. Itu tidak mudah. Pasti berat kau rasakan. Masih banyak jalan lain meraih surga. Kau tidak sakit hati dengan kelakuan suamimu?”
“Kalau mengingat kelakuannya, pasti sakit hati. Jadi, lebih baik mengingat kebaikannya.”
“Apa baiknya dia, Husna? Dia sudah mengkhianatimu, sudah menghancurkan perasaanmu, tidak memberimu nafkah lagi.”
“Dia yang mengajari aku mengaji, mengajari aku sholat dan menyadarkan aku untuk berhijab.”
Pikiran Dita kembali ke masa kuliah. Iskandar adalah mahasiswa yang aktif dengan kegiatan keagamaan di kampus. Dia juga rajin shalat dan puasa sunnah. Karena itulah Dita memberikan lampu hijau ketika Iskandar mendekati Husna. Walaupun akhirnya dia kecewa karena Iskandar mengingkari janjinya untuk menjaga Husna.
“Dulu dia memang baik, Husna. Tetapi sekarang dia sudah berubah.”
“Hidup adalah proses. Mungkin dia khilaf. Semoga dia bisa sadar dan bisa menjadi imam yang baik.” Harap Husna.
“Aku dengan mudah bisa meninggalkannya. Mungkin bisa mendapatkan gantinya. Tetapi aku khawatir penggantinya tidak lebih baik dari dia.”
“Lalu, bagaimana dengan Sriatun?”
“Semoga dia akan sadar setelah mendapat pelajaran kehidupan di penjara.”
“Kalau dia tidak sadar dan malah semakin membencimu? Dia akan membahayakan dirimu, Husna.”
“Allah maha membolak balikkan hati. Semoga Allah memberikan jalan untuk dia menjadi lebih baik.”
“Susah ikut konsep hidupmu, Husna.” Keluh Dita.
“Kalau semuanya karena Allah, tidak ada yang susah. Allah mengangkat rasa sakit di hatiku setelah aku ikhlas dan percaya everything comes from Allah, dan hanya Allah yang bisa menolongku.”
Ketika Dita pusing mencerna konsep hidup yang Husna jelaskan, datang seorang wanita yang beberapa tahun silam sering main ke rumahnya, dialah sahabat Husna ketika masih kuliah. Namanya Aluna.
“Assalamualaikum,” sapa Aluna.
“Waalaikumsalam, maa syaa Allah … Alun, apa kabar?” Dita bangkit dan memeluk Aluna melepaskan rasa rindu.
“Alhamdulillah, kabarku baik, makin tua makin cantik aja Kak Dita,”
Dita mencubit gemas pipi Aluna.
“Wah, Bu Dokter juga makin keren,”
Husna keluar dari kamar dan menghampiri mereka, langsung memeluk Aluna.
“Luar biasa sahabatku yang cantik ini, tangguhnya tidak ada lawan,” canda Aluna yang mengetahui jalan kehidupan rumah tangga Husna.
Aluna adalah seorang psikolog yang akan menangani kesehatan mental Iskandar atas permintaan Husna. Husna sudah menceritakan kronologi perubahan karakter Iskandar. Setelah sepuluh tahun berumah tangga, perangai Iskandar berubah, pasca gagal lolos tes pengangkatan Pegawai Negeri Sipil. Dia keluar dari pekerjaannya sebagai guru honorer, dan memilih menjadi tukang bentor. Sejak itu dia menjadi pemarah dan sering keluar rumah.
Aluna menghibur Iskandar dengan candanya yang mengandung motivasi.
“Pinjam bidadarimu sebentar, Kandar. Sudah lama aku tidak ketemu dengannya. Mau ajak dia makan sebentar di depan rumah sakit.”
Iskandar menjawab dengan anggukan kepala.
“Nanti aku akan kasih dia resep supaya jadi istri yang setia dan tidak akan meninggalkanmu,” seloroh Aluna.
Iskandar menanggapinya dengan tertawa. Husna tersenyum dan merasa bahagia karena sudah beberapa tahun dia tidak pernah melihat Iskandar tertawa. Yang Husna lihat hanya Iskandar yang selalu marah-marah. Kata Aluna, Iskandar mengalami tekanan mental karena kegagalannya menjadi Pegawai Negeri. Tanpa disadari, Iskandar mengalami gangguan mental karena syok, tidak bisa menerima kegagalannya. Sejak kecil dia menjadi teladan dan dikagumi karena kecerdasan dan akhlaknya yang bagus. Sehingga ketika tiba-tiba gagal, dia syok.
Husna dan Aluna makan di restoran langganan Aluna di depan rumah sakit. Kebetulan, Aluna bertugas di rumah sakit tempat Iskandar dirawat.
“Hanya kau yang bisa menolongnya, Husna. Dia stres akut karena kegagalannya, sedangkan teman-temannya pada sukses. Dia merasa tak berguna dan tak berharga. Beri dia perhatian lebih. Jangan malah kamu diamkan. Akhirnya ada janda yang memberi perhatian padanya,” nasehat Aluna sambil bercanda.
Sambil tertawa, Husna introspeksi diri. Benar yang dikatakan Aluna. Sejak Iskandar sering marah-marah karena Husna kesal, dia lebih banyak cuek dan diam. Seharusnya, dia lebih aktif untuk mencari tahu penyebab perubahan sikap Iskandar dan harusnya dia mengerti perasaannya.
“Aku merasa bersalah, tidak menolongnya ketika mentalnya terjatuh. Aku malah mendiamkannya.”
“Dia butuh validasi, Husna.”
“Maksudnya?”
“Dia down waktu itu, merasa tidak diakui kemampuannya karena gagal. Padahal sejak kanak-kanak sampai mahasiswa, dia sering disanjung karena kecerdasannya dan karena kealimannya. Harusnya kau menguatkannya waktu itu agar dia tetap merasa bisa dibanggakan sebagai ayah, sebagai suami dan sebagai bagian dari masyarakat.”
Husna manggut-manggut mengerti dan menyadari keegoisannya waktu itu. Setiap Iskandar marah, dia merasa tidak diperhatikan dan tidak disayangi oleh Iskandar. Padahal kalau Husna mau mengalah, dia tidak membalas kemarahannya dengan mendiamkan Iskandar, mungkin Iskandar merasa tetap disayangi oleh Husna.
“Dia merasa tidak kau hargai, Husna. Bahkan merasa tidak dibutuhkan lagi, sehingga dia merasa nyaman dengan Sriatun karena merasa dibutuhkan dan merasa dihargai, apalagi mendapat perhatian yang berlebihan dari janda itu. Akhirnya kau pun diduakan. Untung masih ingat pulang ke rumah dia hahaha,” Aluna selalu menyelingi penjelasannya dengan tawa dan candaannya.
“Apa pun yang sudah terjadi, kau istri yang hebat. Tetap setia walaupun tersakiti. Selamatkan rumah tanggamu, Husna. Dia akan menjadi suami yang hebat, akan menjadi ayah yang hebat selama kau dan anak-anak tetap mencintainya memberikan dia dukungan dan kekuatan untuk bangkit.” Aluna memberikan motivasi kepada Husna.
“Terima kasih, Alun. Semoga Allah akan menjaga keluarga kami,”
“Semangat, raih surgamu sebagai istri yang shalihah!” Alun mengepalkan tangannya didepan dada.
“Just focus on Allah,” Husna menunjukkan jari telunjuknya ke atas.
Sebagai sesama alumni Kelas Privat PPA (Pola Pertolongan Allah), Husna dan Aluna paham tujuan hidup. Mereka ditraining cara menyelesaikan permasalahan hidup melalui pertolongan Allah.
Dari restoran, Husna segera menuju kamar tempat Iskandar dirawat. Dia dapati ada tamu yang sedang bercerita dengan Iskandar. Rahman, teman SMA Iskandar yang bertamu. Rahman adalah seorang aktivis yang sekarang sedang merintis pondok tahfiz.
“Assalamualaikum,” sapa Husna.
“Waalaikumsalam, apa kabar, Bu Husna?”
“Alhamdulillah, kabar baik.”
“Maaf, Bu Husna. Saya tadi meminta bantuan Pak Iskandar untuk mengelola pondok tahfiz yang di seberang kantor kecamatan.”
“Waduh, biasanya kan panggil nama saja, sekarang kenapa pakai embel-embel Pak dan Bu?” protes Husna.
“Kami terbiasa di pondok, itu untuk menghormati orang yang kita ajak bicara. Hati saya rasa bersalah kalau cuma sebut nama.”
“Baik, Pak Ustadz.”
“Waduh, saya bukan Ustadz. Saya cuma menyiapkan fasilitas dan mengurus pondok, Bu Husna. Saya tidak mengajar.”
“Oh, baik Pak Rahman. Apa yang bisa kami bantu?”
“Begini, Bu. Saya ingin mengembangkan pondok dan mendirikan cabangnya di dekat kantor kabupaten. Jadi saya minta bantuan Pak Iskandar untuk mengelola pondok tahfiz yang di seberang kecamatan.”
“Saya cuma tukang bentor, Pak. Yang saya tahu cuma mengendarai bentor.” Tolak Iskandar.
“Jangan merendahkan diri, Pak Kandar. Saya tahu rekam jejak bapak mendirikan Majelis Taklim dan Taman Pengajian Al-Mukhlasin. Saya salah satu alumninya. Walau pun sekarang Taman Pengajian itu sudah jadi Madrasah Diniyah dan diambil alih oleh yayasan yang mengelolanya, tetapi Pak Iskandar yang dulu berjuang mendirikannya.”
“Kalau saya siap jadi donaturnya, Pak.” Husna menawarkan diri untuk memancing Iskandar agar mau menerima permintaan Pak Rahman.”
“Nanti akan saya anggarkan, berapa persen keuntungan toko bangunan untuk pendanaan pondok tahfiz,” Husna melanjutkan penawarannya.
“Masya Allah, terima kasih Bu Husna. Semoga menjadi amal jariah.” Doa Pak Rahman.
“Bu Husna siap membantu dana, saya yakin Pak Iskandar siap membantu tenaga dan pikiran.”
“Kita bisa berjuang bersama, Sayang. Kita akan menghabiskan sisa umur kita untuk kemajuan umat.” Husna meraih tangan Iskandar. Memberinya kekuatan untuk bangkit. Iskandar merasa tersanjung karena bisa mendengar lagi kata sayang dari Husna. Apalagi Husna mengeratkan genggaman tangannya. Sudah lama dia tidak berani menyentuh tangan Husna. Tak terasa air mata menetes di pelupuk mata Iskandar. Dia pun membalas genggaman tangan Husna. Ada energi dari genggaman tangan Husna yang membangkitkan semangat baru dalam diri Iskandar.
“Insyaa Allah, Saya siap, Pak.” Jawab Iskandar antusias. Dengan jiwa yang menggelora Iskandar ingin mengulang masa lalunya, kembali aktif untuk membangun umat.
Setelah sembuh, Iskandar diajak Husna tinggal di rumah yang berada di belakang toko bangunan agar lebih dekat dengan pondok tahfis yang dikelola Iskandar. Keluarga Asrul dan anak-anak Sriatun yang menempati rumah lama, atas izin Husna. Sedangkan Sriatun menjalani hukuman dan pembinaan di penjara.
Kreator : Tri Uswatun Hasanah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bercanda Dengan Poligami (Chapter 13) Tamat
Sorry, comment are closed for this post.