Husna menguatkan hati untuk pulang ke rumah setelah mengunci gerbang toko bangunan. Dia mengendarai mobil CRV merah marun yang dia beli kemarin. Dia menghibur diri dengan mengikuti keinginannya dengan membeli berbagai macam barang yang selama ini tidak terpenuhi karena keterbatasan ekonomi. Sekarang, dia banyak uang, karena Dita menyerahkan sepenuhnya uang penghasilan dari toko bangunan yang dikelola kepadanya.
“Toko bangunan itu dibangun menggunakan uang warisan Papa. Jadi, toko cabang itu adalah bagianmu.” Kata Dita menjelaskan asal muasal modal toko bangunan sambil menyerahkan surat-surat kepemilikan toko tersebut, tiga bulan yang lalu.
Husna berterima kasih kepada Dita, kakak kandungnya, karena sangat perhatian dan menyayanginya, bahkan sampai memberikan toko bangunan kepadanya. Walau Dita mengatakan modalnya berasal dari warisan orang tuanya, tetapi Husna tahu bagaimana perjuangan Dita untuk mewujudkan toko bangunan itu. Husna yakin, pasti ada tambahan uang Dita untuk membangun dan mengisi toko bangunan tersebut.
Husna memarkirkan mobilnya di depan rumah karena belum memiliki garasi. Iskandar heran melihat Husna turun dari mobil.
“Sejak kapan Husna bisa menyetir mobil?” gumamnya.
Husna menguatkan hati untuk masuk ke rumah karena sudah mengetahui Sriatun dan anak-anaknya ada di dalamnya. Iskandar menerka mobil yang dikendarai Husna adalah mobil dinas milik kelurahan atau mobil milik Dita.
Sriatun kaget dengan kecantikan Husna, apalagi dia baru turun dari mobil yang dikendarainya. Dia merasa kalah saing. Dadanya bergemuruh menahan kedengkian.
“Assalamualaikum,” Sapa Husna ketika masuk rumah.
“Waalaikumsalam,” Ragil menyambutnya dengan menampakkan muka cemberut. Husna paham dengan perasaan Ragil yang tidak nyaman dengan keberadaan Sriatun dan anak-anaknya.
Sedangkan, Rio Si Sulung, berdiam di kamar terus karena tidak suka bertemu muka dengan Sriatun dan anak-anaknya.
“Dik, ini Sriatun,” Iskandar memperkenalkan Sriatun kepada Husna. Husna memaksakan diri untuk tersenyum, walaupun ada rasa sakit dalam hatinya.
“Semoga kalian bisa rukun dan damai,” harap Iskandar.
Sriatun memandang Husna dari ujung kepala hingga kaki. Dia bisa menebak pakaian dan sepatu yang Husna pakai harganya mahal. Api cemburu mulai membakar dada Sriatun. Dia mengira Iskandar tidak adil karena membelikan barang mahal untuk Husna, sedangkan untuk dirinya hanya memberikan uang sekadarnya. Dulu, dia tidak perhitungan kepada Iskandar, bahkan sering memberikan uang kepadanya karena Sriatun banyak uang waktu itu dan ingin mengambil hati Iskandar. Sekarang, Sriatun menampakkan sifat aslinya.
Husna berusaha berdamai dengan suasana rumahnya. Dia masih lebih banyak berdiam diri, dan enggan tidur di kamarnya. Dia memilih tidur di kamar anak-anaknya. Dia menyerahkan suaminya untuk diurus dan dilayani oleh istri barunya. Sedangkan Iskandar bersabar dengan sikap Husna. Dia memaklumi walaupun dia merindukan kehangatan dengan Husna yang sekarang semakin cantik. Namun, dia mengerti Husna butuh waktu untuk menerima keadaan.
Husna membuka kulkas untuk mengecek persediaan bahan makanan. Melihat kondisi kulkas yang hampir kosong, Husna menanyakan kepada Bi Asih stok bahan makanan untuk seminggu yang habis dalam waktu tiga hari.
“Maaf, Bu. Saya sering masak atas permintaan Bapak, karena anak-anak Bu Atun juga sering memesan makanan kesukaan mereka.” Bi Asih menjelaskan.
“Jadi, Bi Asih memasak untuk mereka?” Husna merasa kasihan kepada ART-nya. Pasti bertambah beban kerjanya. Bi Asih menganggukkan kepala, kemudian minta izin untuk menjemur pakaian ke belakang. Husna menggelengkan kepalanya. Walaupun kesal karena bahan makanan yang semakin boros, tetapi dia berpikir. jika bahan makan habis bisa dibeli, sedangkan tenaga Bi Asih terlalu mahal untuk melayani Sriatun dan anak-anaknya.
Dia menyusul Bi Asih ke belakang. Dia melihat pakaian asing yang sedang dijemur Bi Asih. Husna bisa memastikan kalau itu adalah pakaian Sriatun dan anak-anaknya.
“Mereka juga menyuruh Bi Asih mencuci pakaian?” Suara Husna yang tiba-tiba muncul membuat Bi Asih terkejut. Husna yang menyadari keterkejutan Bi Asih, kemudian meminta maaf.
“Maaf, Bi. Sudah bikin Bi Asih terkejut,” sesal Husna.
“Eh, iya, Bu,” Bi Asih salah tingkah karena merasa bersalah mencucikan pakaian Sriatun dan anak-anaknya. Dia tahu perasaan majikannya yang diduakan oleh suaminya. Sedangkan majikan yang menggajinya adalah Husna.
“Maaf, Bu. Bapak yang suruh cuci semua pakaian mereka,” Bi Asih menunduk karena takut dimarahi.
“Saya kasihan sama Bi Asih,” Husna mengelus bahu Bi Asih.
“Saya berangkat ke toko dulu, Bi. Jangan bilang Bapak kalau saya ke toko. Bapak tahunya saya masih kerja di kantor Kelurahan.” Bi Asih menganggukkan kepala. Dia heran dengan Iskandar yang menduakan istri secantik dan sebaik Husna.
Husna mencoba menenangkan diri di ruang pribadinya yang berada di toko bangunan. Tiba-tiba, Ada notifikasi pesan masuk, rupanya chat WhatsApp dari Iskandar.
Iskandar
Dik, belum belanja bahan makanan? Isi kulkas habis.
Perlahan air mata Husna mengalir. Dia sabar ketika Iskandar tidak memberinya nafkah, tetapi dia tidak malu berharap Husna menyediakan kebutuhan makan keluarga. Sedangkan, bahan makanan yang seharusnya untuk seminggu sudah mereka habiskan. Cukuplah sakit dengan mengkhianatinya, mengapa harus ditambah lagi untuk menafkahi istri baru dan anak-anaknya? Husna tidak membalas chat dari Iskandar. Luka hatinya semakin dalam. Untuk menenangkan hati Husna berwudhu dan melaksanakan salat sunah dhuha.
Benda pipih milik Husna berdering. Tertera nama suaminya, Iskandar. Walaupun Husna enggan menjawabnya, tetapi hati kecilnya meronta karena seorang istri harus menghormati suami.
“Assalamualaikum,” Husna menguatkan hati untuk mengangkat telepon.
“Waalaikumsalam, Dik. Kenapa tidak balas chat?”
“Maaf, adik belum ada uang untuk belanja,” jawab Husna berbohong. Dalam hatinya bertanya-tanya, apakah dosa membohongi suami pengkhianat yang meminta nafkah dari istri?
“Kalau begitu, mau pinjam mobil yang adik bawa pulang itu, untuk belanja, sekalian ajak Sriatun dan anak-anaknya jalan-jalan.”
Husna terduduk lemas di sofa. Sakit hatinya semakin mendalam. Tanpa memiliki perasaan Iskandar mau pinjam mobilnya untuk membawa istri barunya jalan-jalan.
“Dik, jawab, Dik. Cuma sampai malam mau pinjam.”
“Maaf, mobil itu milik Kak Dita. Sudah Adik pulangkan ke rumah Kak Dita.” Husna berbohong lagi menutupi rasa kecewanya dengan keinginan Iskandar.
“Kalau begitu, Adik tolong bilangin ke Kak Dita ya, bilang aja kita pinjam mobil mau bawa anak-anak jalan.”
Husna tak bisa berkata-kata. Suaminya semakin tidak berperasaan dan tidak punya rasa malu. Inilah saatnya dia harus berterus terang kepada kakaknya tentang masalah rumah tangganya yang dia sembunyikan selama ini. Husna memutuskan sambungan telepon, bergegas mengambil kunci mobil dan pergi menemui kakaknya.
Dita mendengar keluhan Husna, menahan gejolak kemarahannya terhadap Iskandar. Dita merasa bersalah, karena dia yang memperkenalkan Iskandar kepada Husna dan dia adalah sponsor sampai mereka menjadi pasangan suami istri. Dia menyesal membantu Iskandar untuk mendapatkan cinta Husna. Kesedihan seorang kakak akan nasib adiknya, tanpa bisa berkeluh kesah ke orang tua karena mereka telah tiada.
“Kita adukan ke Om Burhan, Beliau pengganti orang tua kita,” usul Dita.
“Om Burhan sering kambuh sakit jantungnya. Husna khawatir akan berpengaruh kepada kesehatannya,” tolak Husna.
“Insyaa Allah, Husna masih sanggup menghadapi semuanya. Husna cuma butuh tempat curhat dan menenangkan diri.”
Dita mencoba memberikan kekuatan hati dengan memeluk Husna. Dia menangis, merasa tak mampu membantu adik kesayangannya. Melihat air mata kakaknya, Husna bertekad untuk tegar, tak ingin menangis lagi.
“Air mata kita terlalu mahal untuk menangisi laki-laki seperti dia. Husna masih kuat untuk menghadapi semuanya.” Husna menghapus air mata Dita.
Dita mengajak Husna untuk umrah. Dia berharap Husna akan lebih tenang setelah berkunjung di baitullah. Rio dan Ragil diajak, untuk memberikan edukasi spiritual kepada mereka berdua sambil wisata religi, healing yang positif.
Ketika Husna dan anak-anaknya berangkat umrah, Sriatun merasa menjadi ratu di rumah. Dia ber-selfie dengan memperlihatkan suasana rumah yang dihiasi furniture berkelas. Kemudian, dia posting di akun Facebook-nya. Kakaknya yang di kampung melihat perubahan pada Sriatun. Dia mengira Sriatun sudah hidup sejahtera karena memperlihatkan interior rumah yang dihiasi barang mahal.
Telepon genggam Sriatun berbunyi.
“Halo, Kak. Apa kabar?” suara Sriatun menyambut panggilan telepon dari kakaknya.
“Wah, sudah hidup enak kamu, Atun. Tinggal di rumah yang bagus,” Kakaknya menanggapi postingan Sriatun.
“Makanya, Kak. Main lah ke kota,”
“Oke, Atun. Besok kakak datang ya,” sambut kakaknya antusias.
“Sip, Kak. Atun tunggu ya.”
Keesokan harinya, kakaknya datang dengan anak dan istrinya. Setelah Sriatun mempersilahkan mereka masuk dan duduk, dia mencari Bi Asih untuk disuruh membuatkan minuman. Ternyata Bi Asih tidak ada.
Ke mana dia? Tanya Sriatun dalam hatinya.
Sriatun mengomel sendiri melihat suasana dapur berantakan dan belum ada makanan. Dia mencari ke belakang, dia melihat tumpukan pakaian kotor yang masih di ember.
Keterlaluan sekali itu pembantu, sudah siang belum datang. Omel Sriatun dalam hati.
Terpaksa Sriatun melayani keluarga kakaknya karena Bi Asih tidak ada. Sebenarnya, Bi Asih diliburkan oleh Husna karena dia kasihan melihat Bi Asih yang sering kelelahan melayani keperluan Sriatun dan anak-anaknya.
Sore harinya Sriatun, Iskandar dan Asrul duduk di teras samping rumah.
“Maaf, Atun. Aku ingin mencari pekerjaan di sini. Di kampung susah cari uang,” kakaknya membuka percakapan.
“Kalau mau seperti saya, mengemudi Bentor, saya bisa bantu carikan pekerjaan,” Iskandar menawarkan bantuan kepada Asrul.
“Kerja apa pun oke, yang penting halal dan bisa kasih makan anak istri.”
“Besok ikut saya ketemu Bos Bentor. Bang Asrul bisa sewa bentornya, dengan memberikan setoran setiap minggu,” Asrul menyetujuinya.
Asrul menjalani profesi barunya sebagai pengemudi bentor. Dia dan istrinya tinggal di rumah Iskandar. Mereka ditempatkan di kamar anak-anaknya Iskandar yang kosong karena ditinggal pergi umrah.
Sriatun merasa bebas dan menguasai rumah karena Husna tidak ada. Dia ingin memperlihatkan kepada kakaknya kalau dia hidup berkecukupan. Dia pakai semua barang-barang yang ada di rumah sesuka hatinya. Tas branded Husna dia pakai ke pasar ketika jualan Motor anak-anak Iskandar pun dipinjamkan ke kakaknya. Laptop anak-anak Iskandar di kamar yang dia amankan karena kamar tersebut ditempati kakaknya sekeluarga, dipakai oleh anak-anaknya untuk main game.
Asrul dan keluarganya merasa senang dengan pelayanan Sriatun. Mereka ditempatkan di kamar yang luas, dan bisa nonton televisi sambil rebahan. Kasurnya empuk, ada AC yang membuat nyaman, berbeda dengan suasana kamar mereka di kampung. Beberapa bulan lalu kamar itu direnovasi oleh Husna, agar anak-anaknya merasa nyaman di kamar.
Kreator : Tri Uswatun Hasanah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bercanda Dengan Poligami (chapter 7)
Sorry, comment are closed for this post.