“Tante takut mati?”
Pertanyaanku ini langsung dijawab dengan lugas, “Tentu saja karena sebagai dokter, Tante melihat bagaimana orang-orang menghadapi sakaratul maut.”
Bukan satu kali ini saja saya dan Tante berbicara tentang kematian. Fenomena kehidupan yang satu ini menjadi hal paling menakutkan baginya karena Tante Ries sudah ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya sejak kecil. Ayahnya wafat ketika ia dalam kandungan dan Ibunya menyusul pergi tiga tahun kemudian.
Saya sendiri mengenalnya sejak usia lima tahun ketika Tante Ries memutuskan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan. Ia tidak pernah menikah. Masa mudanya disibukan untuk mengejar karir menjadi tenaga kesehatan, mengajar di perguruan tinggi, juga beramal dengan membuka klinik gratis.
Tegas, disiplin, kuat, berani, percaya diri dan segala karakteristik yang menunjukan keperkasaan seorang wanita dapat disematkan pada dirinya. Ia hanya tampak lemah ketika kami berbicara mengenai kematian.
Setelah saya menikah dan memiliki dua orang anak, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Dia selalu mewanti-wanti agar saya dan suami hidup sehat, hingga tidak mati muda dan dapat selalu menjaga anak-anak hingga mereka dewasa kelak.
“Anak-anak paling tepat jika dirawat oleh orang tua mereka sendiri. Bayangkan jika dulu kamu tidak ketemu Tante. Bagaimana hidupmu, Lena?”
Saya tertegun. Kata-katanya benar, tapi rasanya kurang tepat. Namun, saya sendiri tidak bisa menemukan di mana ketidaktepatan itu.
Saking takutnya saya dengan momok kematian yang selalu didengungkan Tante Ries, sering saya berdoa agar Allah mengizinkan saya dan suami hidup lebih lama darinya agar Tante tidak menyalahkan kami karena tidak becus menjaga kesehatan jika salah satu dari kami mati muda.
Saat ini, jika kembali mengenang masa itu, saya hanya mengelus dada. Tak seorang pun dari kami paham akan ilmu hidup dan mati, sehingga kesimpulan yang keluar sering kali tidak tepat.
Entah siapa yang memulai, tapi pada suatu fase kehidupan kami, nilai-nilai agama mulai mewarnai kehidupan saya dan Tante Ries. Kami mulai rajin datang ke kajian dan sering saling berkirim video pendek berisi dakwah yang sarat makna hidup.
Obrolan kami tentang kematian pun berlanjut, namun telah sampai pada satu kesimpulan yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Tante Ries tidak lagi merasa harus menghindari kematian tapi ia berusaha mengenali takdir ini agar bisa berdamai dengannya.
Dulu jika saya sakit, ia selalu berkata, “Kalau aku mati aku tak lagi punya tanggungan Lena, tapi kamu punya dua anak kecil. Bagaimana nasib mereka? Ayo minum obat ini!”
Alangkah anehnya ia bisa berpikir melampaui malaikat pencabut nyawa, sementara saya hanya bisa terdiam mendengarkan tanpa bisa memberi jawaban apa-apa dan menelan pahit-pahit pil yang sudah ia sediakan untuk mendongkrak kesembuhan saya.
Tapi, syukurlah kami berdua akhirnya paham bahwa kematian terjadi bukan karena sakit, melainkan karena rezeki yang telah disiapkan Allah sudah selesai atau telah diterima semua oleh yang bersangkutan. Bukankah banyak orang meninggal tanpa sakit?
“Sakit itu karunia karena bisa menghapus dosa-dosamu. Jangan mengeluh, biar kamu dapat pahala dari Allah karena sabar,” katanya sambil dengan telaten menyiapkan obat-obatanku.
Betapa saya sangat bersyukur, kurang lebih dua puluh tahun sebelum wafatnya, Tante Ries semakin mendekatkan diri pada Allah.
Ketika berada di ranjang kematiannya, ia berpesan kepada saya, “Lena jaga kesehatan kamu, ya. Bukan agar kamu hidup selamanya, tapi supaya kamu bisa terus beramal shaleh dengan sempurna. Kalau sudah tua dan sakit-sakitan seperti Tante, sudah tidak bisa maksimal lagi beribadah.”
Saya hanya bisa tersedu di sisinya, sambil menggenggam erat tangannya. Kalimat syahadat perlahan saya bisikKan di telinga kanannya.
Tante Ries pergi pada usia 86 tahun mendatangi kedamaian abadi, meninggalkan aku yang masih terus menggali hakikat akhir hidup manusia ini. Semoga saya pun bisa menutup kehidupan ini dengan sebuah akhir yang baik.
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Berdamai dengan Keabadian
Sorry, comment are closed for this post.