Di tengah malam yang dingin, di sebuah kota kecil yang terhimpit di antara pegunungan, aku duduk di depan jendela kamarku yang menghadap ke jalan sepi. Lampu jalan yang redup berkelap-kelip seperti bintang yang tersesat, sementara angin berbisik pelan, membawa kabar dari tempat yang jauh. Di hadapanku, cangkir teh hijau yang sudah mendingin tergeletak di atas meja, menemani pikiranku yang berkecamuk.
Hidup terkadang seperti labirin yang rumit, penuh dengan jalan buntu dan persimpangan yang membingungkan. Ketika kita terjebak di dalamnya, insting pertama adalah mencari jalan keluar secepat mungkin, berpikir keras, dan bertindak cepat. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa pendekatan ini tidak selalu efektif. Ada saat-saat di mana yang terbaik adalah berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan membiarkan segala sesuatunya mengendap.
“Berhentilah sejenak,” gumamku pada diriku sendiri, mengingat nasihat yang sering kuucapkan kepada teman-teman dekatku. Jalan keluar terbaik ketika menghadapi masalah pelik yang seakan tidak tertanggungkan itu kerap kali bukan bertindak cepat dan berpikir keras, melainkan menunda bereaksi dan mengesampingkannya lebih dulu. Bahkan bila memungkinkan, tidak memikirkannya sementara. Dalam keheningan malam itu, aku merasa seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menuntunku untuk menanti, untuk memberi ruang bagi pikiran dan perasaan agar bisa jernih kembali.
Ini bukan berarti lari dari masalah. Seperti yang selalu kukatakan, menunggu bukanlah tanda kelemahan. Ini seperti menunggu badai reda sebelum memutuskan ke arah mana harus melangkah. Ketika angin bertiup terlalu kencang dan hujan turun terlalu deras, tak ada gunanya mencoba melawan alam. Kadang-kadang, yang paling bijak adalah bersembunyi, mencari perlindungan, dan menunggu badai berlalu. Setelah itu, barulah kita bisa melihat langit dengan lebih jelas, tanpa dihantui oleh gemuruh petir yang menakutkan.
Aku menyebutnya “The Power of Surrender”—kekuatan dari menyerah, tapi bukan dalam arti negatif. Ini adalah penyerahan diri kepada kenyataan bahwa tidak semua hal bisa kita kontrol, bahwa ada kekuatan diluar diri kita yang lebih besar, dan kadang-kadang, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah membiarkan segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendaknya. Sering kali, ketika kita berhenti sejenak, jalan keluar itu seakan sengaja sembunyi dan sedang menanti di balik pintu. Ia tidak tampak ketika kita panik, takut, dan terdesak. Baru kelihatan ketika pikiran jernih dan perasaan lebih tenteram.
Aku ingat malam-malam panjang yang pernah kulewati bersama sahabatku, Yuki. Dia sering datang ke apartemenku ketika hidupnya terasa begitu rumit dan membingungkan. Kami akan duduk di balkon, berbicara tentang segala hal, mulai dari mimpi-mimpi yang tak pernah terwujud hingga ketakutan yang menyelinap di dalam hati. Yuki adalah orang yang cenderung cepat panik, yang merasa bahwa setiap masalah harus segera diselesaikan. Tapi setiap kali dia datang padaku dengan wajah cemas, aku selalu menyarankan hal yang sama: “Berhentilah sejenak, Yuki. Tarik napas, dan tunggu sampai badai di dalam dirimu reda.”
Dia selalu menatapku dengan tatapan bingung, seolah-olah tidak mengerti apa yang kumaksud. Namun, setelah beberapa kali mengalami dan melihat sendiri hasilnya, dia mulai memahami. Ada kekuatan dalam penantian, dalam memberi ruang bagi diri sendiri untuk merenung dan memahami situasi dengan lebih baik. Dan ketika akhirnya dia mulai mempraktikkan “The Power of Surrender,” hidupnya menjadi lebih tenang, lebih terarah.
Kami pernah duduk berdua di sebuah taman kecil di tengah kota, di bawah pohon maple yang daunnya mulai berubah warna menjadi merah. “Aku menyadari sesuatu,” kata Yuki tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan kedalaman. “Ketika aku terlalu terburu-buru mencari solusi, aku sering membuat keputusan yang salah. Tapi ketika aku memberi diriku waktu untuk berpikir dan merasakan, solusi itu seakan datang sendiri, seolah menungguku di balik tikungan.”
Aku mengangguk, merasakan angin musim gugur yang sejuk menyapu wajahku. “Badai pasti berlalu, Yuki,” kataku pelan, mengutip pepatah lama. “Dan setelah gelap, selalu ada terang yang menunggu. Yang perlu kita lakukan hanyalah bersabar dan percaya bahwa jalan keluar itu ada, meskipun kita belum bisa melihatnya sekarang.”
Yuki tersenyum, senyum yang penuh dengan pengertian dan kelegaan. Kami duduk dalam diam, membiarkan kata-kata itu mengalir di antara kami, seperti daun-daun yang jatuh perlahan dari pohon maple, menari-nari di udara sebelum akhirnya mendarat di tanah.
Malam itu, aku duduk di depan jendela, memikirkan semua percakapan itu. Terkadang, ketika hidup terasa terlalu berat, aku kembali pada ingatan-ingatan tersebut, pada nasihat yang sering kuucapkan pada orang lain, dan pada diriku sendiri. Dan sekali lagi, aku berkata pada diriku sendiri, “Berhentilah sejenak.” Biarkan badai itu berlalu, biarkan malam itu menyelimuti kekhawatiranmu. Akan ada saatnya kau melihat langit kembali cerah, dan disanalah kau akan menemukan jawaban yang selama ini kau cari.
Dan ketika pagi tiba, aku tahu aku akan melihat terang di ujung malam, seperti janji yang selalu ditepati oleh alam—bahwa setelah kegelapan, pasti akan ada cahaya yang muncul di ufuk timur. Itu adalah siklus yang tidak pernah salah, dan aku tahu, seberat apapun masalah yang kuhadapi, akan ada jalan keluar yang menunggu di baliknya. Yang perlu kulakukan hanyalah berhenti sejenak, dan percaya pada kekuatan penantian itu.
Kreator : Wista
Comment Closed: Berhenti Sejenak
Sorry, comment are closed for this post.