Walaupun pekarangan rumahku tidak terlalu luas, namun masih ada kebun di depan dan belakang rumah. Salah satu jenis tanaman yang banyak tumbuh di kebunku adalah bayam (Latin: Amaranthus). Selain itu, tanaman sayuran berdaun seukuran telapak tangan dan berwarna hijau tua ini juga kami tanam di pinggir jalan kecil di depan rumah.
Jika sudah berumur beberapa bulan pohon bayam tumbuh melampaui tinggi manusia. Ranting-ranting pohon menjuntai ke segala arah dengan bunga di pucuk ranting menyerupai jambul ayam jago. Namun jika sudah berbunga, kata ibuku, daun bayam berubah jadi kaku dan terasa hambar, tidak segar lagi. Tiap ranting pun kami pangkas. Beberapa hari kemudian bersemi, muncul lembaran-lembaran daun berwarna hijau muda yang menggoda untuk segera dipetik.
Menurut asal usul, tumbuhan berdaun segar ini berasal dari Amerika tropik, yang menyebar ke seluruh dunia. Siapa yang menyebarkannya? Mungkin burung-burung di udara yang mematuk putik-putik bunga bayam, lalu menjatuhkannya di sembarang tempat. Bersemilah di tempat itu. Bertumbuh membesar lalu berbunga. Bunga-bunga yang bermekaran pun lalu bersama angin ke segala arah, jatuh di tanah-tanah yang subur. Termasuk jatuh di kebunku. Dan tahu-tahu tanaman bayam memenuhi kebunku.
Bayam yang tumbuh di kebunku tidak seperti bayam pada umumnya yang dijual tukang-tukang sayur keliling atau di pasar-pasar sekarang ini. Bukan jenis bayam cabut yang dijual satu pohon utuh dari ujung daun hingga akar-akarnya itu. Bayam di kebunku, termasuk jenis bayam petik, yang berdaun lebar. Pohonnya bertumbuh tegak dan besar mencapai tinggi hingga dua meteran. Untuk memetik daun-daun bayam di pucuk pohon, biasanya aku berdiri di atas dingklik (kursi tak bersandar terbuat dari kayu). Tidak mungkin kan memanjat pohon bayam, atau memasang tangga di pohon ini, karena batang pohon bayam tidak setegak pohon kelapa. (Makanya kita tertawa saja saat ada yang berniat gantung diri di pohon bayam)
Lembaran-lembaran daun muda (sengaja aku pakai kata ‘lembaran’ supaya tidak menimbulkan salah pengertian) sangat enak dikonsumsi sebagai lalapan atau kudapan. Banyak jenis jajanan dengan bahan utamanya daun bayam, seperti pecel, lotek, gado-gado, dan urap. Ibu-ibu yang berpikiran out of the box malah menyelimuti daun bayam dengan adonan tepung, lalu digoreng, jadilah peyek bayam yang krispi berasa gurih.
Aku paling doyan jika bayam dimasak jadi sayur bening. Sangat mudah memasaknya. Cukup siapkan air secukupnya, diberi garam dan gula pasir secukupnya, lalu direbus dengan rajangan tipis-tipis bawang merah. Masukkan temu kunci (Latin: boesenbergia rotunda, yaitu tanaman umbi-umbian berbentuk mirip kencur untuk bumbu dapur) supaya terasa lebih segar. Begitu air mendidih daun bayam masukkan. Sekejap saja daun bayam akan melunak. Dan sayur bening daun bayam pun siap dihidangkan panas-panas.
Masyarakat yang tinggal di pedesaan tidak perlu membeli bayam. Mereka bisa memetiknya di kebun sendiri. Jika di kebun tidak ada tanaman bayam, lumrah jika meminta ke tetangga, dan pasti dipersilakan memetik sendiri di kebun.
Meski tanaman bayam tersedia di pekarangan rumah warga desa, toh tetap ada yang berjualan bayam di pasar-pasar tradisional. Disebut pasar tradisional, karena pasar di desaku sudah ada sejak dulu, turun temurun sebagai tempat bertemunya para pedagang dan pembeli berbagai komoditi hasil pertanian. Dan di setiap kecamatan (di DIY disebut kapanewon) biasanya hanya ada satu pasar utama, dan ada beberapa tempat pasar tiban. Kapan pasar-pasar di setiap kapanewon itu buka sudah terjadwal Hari Pasaran yang berjalan sejak zaman kolonial Belanda. Ada lima hari pasaran, yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing. Misalnya hari pasaran Pon yang buka adalah pasar Sribit di Kapanewon Girimulyo, Wage di pasar Kenteng, Legi di Pasar Dekso, dan Pahing di pasar Nanggulan dan Sentolo.
Waktu itu sekitar tahun 1975, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun kakak-kakakku yang semuanya perempuan sudah bersekolah di SMP. Masih kukenang, waktu itu kedua kakakku pada setiap hari pasaran Wage, saat berangkat ke sekolah dengan naik sepeda, mampir di pasar Nanggulan. Mereka menitipkan sekarung bayam ke bakul sayuran di pasar itu. Dalam karung itu ada beberapa puluh ikat bayam. Harga satu ikat bayam, kalau tidak salah sekitar Rp 10 (sepuluh rupiah).
Kami memetik bayam itu pada sore harinya. Saat mentari di ujung langit barat hampir menghilang kami memetik daun-daun bayam muda di kebun dan kanan kiri jalan di depan rumah. Ada dua cara memetik bayam, yaitu langsung memetik daun bayam dengan jemari (dipunthes) seperti memetik dawai gitar, atau memetiknya dengan alat pisau.Memetik dengan memakai pisau hasilnya akan lebih rapi.
Kami bisa mendapatkan satu tenggok penuh pucuk-pucuk bayam. Malam hari, setelah belajar kami berkumpul di dapur. Bukan untuk memasak, namun membereskan sekarung bayam yang kami petik tadi sore. Sesaat sebelum berangkat tidur, bayam di dalam tenggok itu kami bagi menjadi ikatan-ikatan kecil. Biasanya bisa menjadi beberapa puluh ikat. Esuk hari bayam yang sudah diikat kecil-kecil itu dibawa ke pasar.
Dengan berboncengan naik sepeda dua kakakku berangkat sekolah. Ya, bersekolah sambil berjualan bayam. Hingga sekarang aku masih heran, kedua kakakku perempuan itu ga malu berangkat sekolah sambil menenteng sekarung bayam untuk dijual di pasar. Teman-teman sebaya mereka tidak ada yang mau melakukan itu. Mental baja memang kedua kakakku itu.
Jarak rumah ke sekolah cukup jauh, sekitar empat kilometer. Setelah melewati jarak tiga km, sampailah di ibukota kecamatan/kapanewon. Di sinilah berada pasar Nanggulan. Pasar yang termasuk besar di Kapanewon Nanggulan. Satu pasar lagi yang sama besarnya adalah pasar Kenteng. Sebelum pasar Nanggulan ada dua pasar kecil dimana pada pedagang berjualan hanya di pinggir jalan, yaitu pasar Janti dan pasar Temanggal.
Tiba di pasar Nanggulan, kakakku masuk ke pasar menyerahkan sekarung bayam ke pedagang sayur yang sudah jadi langganan. Kakakku pun menerima beberapa ratus rupiah. Hem, lumayan lah. Uang hasil berjualan bayam itu kami gunakan untuk membayar uang sekolah, itung-itung meringankan beban orangtua.
Demikianlah hidup di desa. Anak-anak tidak bisa bermalasan. Mereka bisa mendapatkan uang dari hasil usaha sendiri, tak perlu meminta uang jajan kepada orangtua. Orangtua pun diringankan. Orangtua juga tenang, karena anak-anak tidak merengek-rengek minta uang jajan. Anak-anak dari keluarga-keluarga berjuang termasuk keluargaku, berusaha mencari uang sendiri untuk bisa jajan atau meringankan beban orangtua. Bangga lo, kami bisa mendapatkan duit dari usaha sendiri. Cara-cara seperti ini membuat kami tidak manja.
Kemampuan orangtua yang terbatas tak membuat kami surut langkah. Banyak cara untuk menggapai cita-cita. Berjualan bayam sambil bersekolah pun telah menempa hidup kami untuk mampu menghadapi dunia.
Kreator : Breska
Comment Closed: Bersekolah Sambil Berjualan Bayam
Sorry, comment are closed for this post.