KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Between The Pages Chapter 1

    Between The Pages Chapter 1

    BY 13 Apr 2025 Dilihat: 90 kali
    Between The Pages_alineaku

    CHAPTER 1 [The Doctor’s Tale] 

     

    Aku melepas sarung tangan operasi dan membuangnya ke tempat sampah medis. Enam jam berdiri di ruang operasi membuat tubuhku terasa kaku, tapi ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari sebagai dokter bedah. Namaku Mori, dan ini adalah tahun kelimaku bekerja di Rumah Sakit Metropolitan.

     

    Suasana rumah sakit selalu memiliki karakteristik tersendiri di jam-jam seperti ini. Lorong-lorong yang biasanya ramai kini hening, hanya sesekali terdengar langkah perawat jaga atau suara roda brankar yang didorong. Aroma antiseptik yang khas mengisi setiap sudut, mengingatkanku akan ribuan jam yang telah kuhabiskan di tempat ini.

     

    Aku berjalan perlahan menyusuri lorong, membiarkan kakiku yang lelah melangkah tanpa tujuan pasti. Lampu-lampu fluoresen di atas berkedip lemah, menciptakan bayangan samar di lantai vinyl yang mengkilap. Di tengah keheningan ini, sesuatu menarik perhatianku – sebuah pintu kayu tua di ujung lorong sayap timur yang belum pernah kulihat sebelumnya.

     

    Aneh, pikirku. Sudah lima tahun aku bekerja di sini dan hafal setiap sudut rumah sakit ini. Tapi pintu itu… ada sesuatu yang berbeda. Catnya yang sudah mengelupas kontras dengan dinding putih bersih di sekelilingnya. Dan meski tak ada tanda atau nomor ruangan, pintu itu seolah memanggilku untuk mendekat.

     

    Tanpa pikir panjang, kuraih gagang pintu yang dingin itu. Ada sensasi aneh saat kulitku menyentuh logam tuanya – seperti getaran halus yang merambat ke seluruh tubuh. Dengan satu gerakan pelan, aku mendorong pintu itu terbuka.

     

    Apa yang kulihat di baliknya membuatku terpaku. Alih-alih lorong rumah sakit yang steril, aku melangkah masuk ke sebuah perpustakaan kecil yang tampak tua namun hangat. Cahaya pagi – tunggu, pagi? – menerobos masuk melalui jendela-jendela tinggi, menciptakan pola-pola indah di lantai kayu yang berdebu. Aroma kertas tua dan kayu berpadu di udara, menggantikan bau antiseptik yang familiar.

     

    Ketika aku berbalik, jantungku seakan berhenti berdetak. Pintu yang baru saja ku lewati telah lenyap, digantikan oleh dinding berisi rak-rak buku yang menjulang hingga ke langit-langit. Aku terjebak di sini, entah dimana ini.

     

    Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi terasa sempit karena dipenuhi buku-buku yang tersusun dalam berbagai cara. Sebagian tertata rapi di rak-rak kayu tua, sementara yang lain bertumpuk sembarangan di lantai seperti menara-menara kertas yang siap runtuh. Yang menarik perhatianku adalah kontras kondisi buku-buku tersebut – beberapa tampak sangat tua dan berdebu, sementara yang lain terlihat seolah baru saja keluar dari percetakan.

     

    Kakiku melangkah perlahan menyusuri lorong-lorong sempit di antara rak, hingga akhirnya tiba di area yang lebih terbuka dekat sebuah jendela besar. Di sanalah aku melihatnya – seorang pria yang duduk menghadap jendela, seolah kehadiranku tak berarti apa-apa baginya.

     

    Pria itu duduk di sebuah kursi kayu sederhana, matanya terpaku pada buku di tangannya. Di hadapannya, sebuah meja kayu yang menempel ke dinding dipenuhi berbagai macam kertas dalam kondisi berbeda – ada yang ternoda tinta, ada yang dipenuhi tulisan tangan, dan ada yang masih bersih tanpa noda. Di antara kertas-kertas itu, aku bisa melihat peralatan menulis kuno – botol tinta, pena besi, dan bahkan beberapa helai bulu untuk menulis. Sebuah mesin tik tua duduk di sudut meja, dikelilingi tumpukan buku yang tampaknya telah menunggu untuk dibaca.

     

    Kehadiranku sama sekali tak mengusik konsentrasinya. Dia tetap tenggelam dalam bacaannya, bersikap seolah aku hanyalah bayangan yang melintas tanpa arti.

     

    “Permisi,” sapaku ragu-ragu, suaraku terdengar lebih pelan dari yang kuharapkan.

     

    Tidak ada respons. Pria itu tetap diam, matanya masih terpaku pada halaman-halaman yang terbuka di hadapannya.

     

    “Maaf, saya—”

     

    Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, dia menghela napas panjang dan menutup bukunya dengan gerakan yang lambat dan hati-hati. Tanpa menoleh ke arahku, dia meletakkan buku itu di atas meja.

     

    “Ya?” sahutnya dengan nada malas, seolah kehadiranku adalah gangguan yang sangat tidak diinginkan.

     

    “Saya… saya ingin tahu tempat apa ini,” ujarku berusaha terdengar sopan meski kebingungan jelas terlihat di wajahku.

     

    “Perpustakaan.” jawabnya singkat, akhirnya menoleh sedikit ke arahku. “Dan, aku adalah Sang Penulis. Itu saja yang perlu kau ketahui tentang namaku.”

     

    Aku mengerutkan dahi mendengar perkenalan yang tidak biasa itu. “Sang Penulis? Apa maksud—”

     

    “Jadi,” dia memotong ucapanku. “Kisah macam apa yang ingin kau makan?”

     

    Aku mengerjap. “Maaf… yang ingin saya… makan?”

     

    Pertanyaan itu membuatku semakin bingung. Makan kisah? Apa maksudnya? Apakah ini semacam metafora yang tidak kupahami, atau mungkin aku sedang bermimpi setelah operasi panjang tadi?

     

    Sang Penulis menghela napas, tampak menyadari kebingunganku. Dia memutar kursinya sehingga kini menghadap sepenuhnya ke arahku.

     

    “Ah,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari jendela. “Kau pasti bingung. Tidak semua pengunjung paham tempat ini. Jadi katakan saja – kisah apa yang ingin kau selesaikan?”

     

    “Selesaikan?” tanyaku, masih merasa bingung meski pertanyaan ini terdengar lebih masuk akal dari yang sebelumnya.

     

    “Ya. Setiap orang yang menemukan tempat ini sedang mencari sebuah akhir – entah itu akhir dari sebuah cerita, sebuah masalah, atau bahkan sebuah fase dalam hidupnya. Jadi, katakan padaku, kisah apa yang sedang kau cari akhirnya?”

     

    Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaannya. Rasanya ada begitu banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi tak satupun yang berhasil kuucapkan. Keheningan yang canggung menyelimuti ruangan itu.

     

    Sang Penulis menghela napas panjang, jelas terlihat tidak sabar dengan keraguanku. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia memutar kursinya kembali menghadap jendela dan membuka bukunya. Jari-jarinya yang kurus membalik halaman dengan gerakan yang hampir ritualistik, seolah-olah aku sudah tidak ada di sana.

     

    “Aku ingin tahu jalan keluarnya,” akhirnya aku berkata, suaraku terdengar lebih tegas dari sebelumnya. “Bagaimana cara kembali ke rumah sakit?”

     

    Sang Penulis mendengus pelan, masih tidak mengalihkan pandangannya dari buku. 

    “Jalan keluar?” dia mengulang pertanyaanku dengan nada mengejek. 

    “Tidak ada jalan keluar dari perpustakaan ini selama masih ada kisah yang belum selesai.”

     

    “Kisah yang belum selesai?” tanyaku, frustasi mulai terasa dalam suaraku. “Aku tidak mengerti maksudmu. Aku hanya ingin kembali ke rumah sakit.”

     

    “Tentu saja kau tidak mengerti,” jawabnya datar. “Tapi perpustakaan ini tidak membuat kesalahan. Jika kau ada di sini, berarti ada kisah yang perlu kau selesaikan. Dan sampai kisah itu selesai…” Dia membiarkan kalimatnya menggantung, membuat implikasinya jelas.

     

    Aku merasakan gelombang kecemasan mulai merayap dalam diriku. Terjebak di tempat aneh ini, dengan orang misterius yang berbicara dalam teka-teki – ini seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.

     

    Setelah beberapa saat terdiam, aku menghela napas panjang. Mungkin tidak ada gunanya melawan situasi absurd ini. Jika memang harus ada kisah yang diselesaikan untuk bisa keluar dari sini, mungkin aku memang harus mencoba.

     

    “Sebenarnya…” aku memulai dengan ragu-ragu, “ada satu hal yang selalu menggangguku. Tapi aku tidak yakin apakah ini yang kau maksud dengan kisah yang belum selesai.”

     

    Sang Penulis tidak bergerak dari posisinya, masih memandang ke luar jendela. Namun, aku bisa merasakan ada perubahan dalam sikapnya – seolah dia mulai mendengarkan dengan lebih serius.

     

    “Lima tahun yang lalu, saat pertama kali aku mulai bekerja di rumah sakit itu…” Aku berhenti sejenak, mencoba menyusun kata-kata. “Ada seorang pasien…”

     

    Sang Penulis tetap diam, tidak memotong atau mengomentari. Dia hanya duduk di sana, membiarkan keheningan menjadi undangan bagiku untuk melanjutkan cerita.

     

    “Namanya Yuki,” aku memulai, suaraku sedikit bergetar. “Dia baru berusia lima belas tahun saat pertama kali dibawa ke rumah sakit. Tubuhnya yang kecil menyimpan begitu banyak penyakit – gagal ginjal, kelainan jantung bawaan, dan beberapa komplikasi lain yang membuat kondisinya semakin rumit.”

     

    Aku berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Yang paling menakjubkan dari Yuki adalah senyumnya. Tidak peduli seberapa sakit dia, seberapa banyak prosedur yang harus dia jalani, dia selalu tersenyum. Bahkan saat jarum infus menusuk kulitnya untuk yang kesekian kali, dia akan menatapku dan berkata, ‘Tidak apa-apa, Dokter Mori. Ini tidak sesakit kelihatannya.'”

     

    “Para senior di rumah sakit sudah menyerah. Mereka bilang kondisinya terlalu kompleks, bahwa tubuhnya tidak akan bertahan lama. Tapi aku… aku tidak bisa menerima itu. Aku baru saja menjadi dokter, masih dipenuhi idealisme dan keyakinan bahwa aku bisa menyelamatkan semua orang.”

     

    “Mungkin karena dia adalah pasien pertamaku sebagai dokter yang baru lulus, atau mungkin karena senyumnya yang selalu memberikan harapan… tapi aku merasa memiliki tanggung jawab khusus untuk menyelamatkannya. Aku menghabiskan malam-malamku membaca jurnal medis, mencari prosedur alternatif, berkonsultasi dengan spesialis dari berbagai bidang…”

     

    “Kami melakukan berbagai tes dan pemeriksaan, hingga akhirnya tiba pada satu kesimpulan – Yuki membutuhkan transplantasi organ. Ginjal dan jantungnya sudah terlalu lemah untuk bertahan lebih lama lagi. Aku menghabiskan berhari-hari menghubungi rumah sakit lain, berbicara dengan koordinator donor organ, bahkan terbang ke beberapa kota untuk melihat kemungkinan donor yang cocok.”

     

    “Setiap kali ada kabar tentang donor potensial, aku merasa seperti melihat secercah harapan. Tapi selalu ada masalah – entah golongan darahnya tidak cocok, ukuran organnya tidak sesuai, atau donor tersebut sudah dijanjikan untuk pasien lain yang kondisinya lebih kritis. Waktu terus berjalan, dan kondisi Yuki semakin memburuk setiap harinya.”

     

    “Dan pada akhirnya, semua usaha itu sia-sia,” suaraku terdengar getir. “Kondisinya terus memburuk. Setiap kali kami berhasil mengatasi satu masalah, muncul komplikasi baru yang lebih parah. Tubuhnya yang kecil seolah tidak sanggup lagi bertahan.”

     

    “Malam itu… malam terakhirnya… aku sedang menangani kasus darurat di ruang operasi. Sebuah kecelakaan mobil yang memakan waktu berjam-jam. Ketika akhirnya selesai, aku mendapat kabar bahwa Yuki telah pergi. Pergi tanpa sempat aku mengucapkan selamat tinggal.”

     

    Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan getaran dalam suaraku. “Para perawat memberikanku sebuah surat keesokan harinya. Surat terakhir dari Yuki. Di dalamnya, dia menulis betapa berterima kasihnya dia kepada semua orang – para perawat yang selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang, Hiro – seorang pasien anak laki-laki seusianya yang sering mengajaknya bermain saat dia masih kuat untuk bangun dari tempat tidur, dan… aku.”

     

    “‘Dokter Mori,'” aku mengutip kata-katanya dengan suara bergetar, “‘terima kasih sudah berjuang begitu keras untukku. Maaf aku tidak bisa bertahan lebih lama. Aku tahu Dokter sedang menyelamatkan nyawa orang lain saat ini, dan itu tidak apa-apa. Tapi… aku sedikit sedih tidak bisa mengucapkan selamat tinggal secara langsung. Tolong jangan bersedih, dan teruslah menyelamatkan nyawa orang lain seperti yang selalu Dokter lakukan.'”

     

    Aku menghentikan ceritaku, merasakan kepedihan lama yang kembali menguat. Lima tahun berlalu, tapi rasa bersalah itu masih terasa begitu nyata – rasa bersalah karena tidak ada di sisinya di saat-saat terakhir, karena tidak bisa menepati janjiku untuk menyelamatkannya.

     

    Sang Penulis tiba-tiba menutup bukunya dengan suara keras, membuatku terlonjak. Tanpa menoleh ke arahku, dia mulai bercerita dengan suara yang monoton namun jernih.

     

    “Di sebuah rumah sakit yang tidak jauh berbeda dengan tempatmu bekerja, ada dua jiwa muda yang takdirnya bersinggungan dalam cara yang tak terduga,” dia memulai. “Yang pertama adalah seorang gadis berusia empat belas tahun. Tubuhnya diserang oleh penyakit yang bahkan para dokter pun tak bisa jelaskan – sesuatu yang perlahan menggerogoti organ-organnya satu per satu. Saat cerita ini dimulai, dia telah kehilangan penglihatannya yang berharga dan indera penciumannya.”

     

    “Yang kedua adalah seorang anak laki-laki seusianya. Nasibnya tak kalah tragis – penyakit misterius menggerogoti sistem sarafnya, mencuri kemampuannya untuk berjalan. Kursi roda menjadi teman setianya, membawanya ke setiap sudut rumah sakit yang kini menjadi dunianya.”

     

    “Tapi takdir memiliki cara yang unik untuk menciptakan keindahan di tengah kegelapan. Kedua anak ini bertemu di lorong rumah sakit pada suatu sore yang sepi. Si gadis yang tak bisa melihat, dan si anak laki-laki yang tak bisa berjalan – mereka menemukan dalam diri masing-masing sesuatu yang telah lama hilang: harapan.”

     

    “Setiap hari, mereka menciptakan petualangan kecil mereka sendiri. Si anak laki-laki akan mendorong kursi rodanya, dengan si gadis duduk di pangkuannya. Mereka menjelajahi setiap sudut rumah sakit, membuat para perawat dan dokter tersenyum melihat tawa mereka yang menggema di lorong-lorong yang biasanya sunyi.”

     

    “Si gadis akan mendeskripsikan suara-suara yang dia dengar, menciptakan cerita dari derap langkah para perawat atau dengung mesin-mesin rumah sakit. Sementara si anak laki-laki akan menjadi matanya, menggambarkan pemandangan yang dia lihat dengan detail yang begitu hidup hingga si gadis bisa membayangkannya dengan jelas dalam benaknya.”

     

    Sang Penulis tersenyum pedih, matanya menerawang jauh sebelum melanjutkan ceritanya.

     

    “Tapi takdir memiliki rencana lain untuk mereka. Kondisi si gadis semakin memburuk. Dia tidak lagi bisa duduk di kursi roda, terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Namun, sebuah penemuan mengejutkan memberikan secercah harapan – dan dilema yang tak tertahankan.”

     

    “Para dokter menemukan bahwa dalam darah si anak laki-laki terdapat antibodi yang bisa menyembuhkan si gadis. Sebuah keajaiban medis yang hampir tidak masuk akal. Tapi keajaiban ini datang dengan harga yang terlalu mahal – jika antibodi itu digunakan untuk menyembuhkan si gadis, si anak laki-laki akan kehilangan nyawanya.”

     

    “”Aku akan melakukannya,” si anak laki-laki berkata dengan mantap kepada tim dokter, tanpa sedikitpun keraguan dalam suaranya. “Dan aku ingin mendonorkan organ-organku yang masih bisa digunakan untuk menggantikan organ-organnya yang rusak.””

     

    “Para dokter terkejut dengan keputusannya yang begitu tegas. Mereka mencoba menjelaskan konsekuensi dari keputusan ini, tapi si anak laki-laki hanya tersenyum.”

     

    “Namun, di malam sebelum prosedur akan dilakukan, sebuah keraguan muncul dalam benaknya. Bukan keraguan akan keputusannya – dia sudah yakin dengan hal itu. Yang mengganggunya adalah pemikiran bahwa si gadis mungkin tidak akan menginginkan hal ini. Dia tahu betul bagaimana si gadis selalu mementingkan orang lain di atas dirinya sendiri.”

     

    “”Aku punya satu permintaan,” katanya kepada kepala rumah sakit. “Tolong rahasiakan semua ini darinya. Jangan pernah sebutkan namaku, atau apa yang telah kulakukan. Biarkan dia mengira ini semua adalah keajaiban medis biasa.””

     

    “Para staf rumah sakit setuju untuk menjaga rahasia ini, walau dengan berat hati. Mereka memahami keinginan terakhir si anak laki-laki – untuk memberikan kehidupan tanpa membebani si gadis dengan rasa bersalah atau kehilangan.”

     

    “Operasi dilakukan keesokan harinya,” Sang Penulis melanjutkan, suaranya semakin pelan. “Semuanya berjalan sesuai rencana. Antibodi dalam darah si anak laki-laki bekerja seperti yang diharapkan, dan organ-organ yang didonorkannya memberikan kehidupan baru bagi si gadis.”

     

    “Ketika si gadis akhirnya membuka mata, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia bisa melihat dunia di sekitarnya. Warna-warni yang selama ini hanya bisa dia bayangkan kini terpampang nyata di hadapannya. Tapi ada satu hal yang dia cari, satu wajah yang ingin dia lihat lebih dari apapun.”

     

    “‘Di mana dia?’ tanyanya berulang kali. ‘Di mana sahabatku? Aku ingin dia menjadi orang pertama yang kulihat.’ Tapi tidak ada yang menjawab. Para perawat mengalihkan pandangan, dokter-dokter tergesa-gesa meninggalkan ruangan dengan alasan ada pasien lain yang menunggu.”

     

    “Hingga suatu hari, seorang perawat muda yang baru bekerja di rumah sakit tidak sengaja menyebutkan tentang ‘anak laki-laki pemberani yang mengorbankan nyawanya.’ Si gadis langsung mengerti. Air mata mengalir di pipinya saat dia memaksa para staf rumah sakit untuk memberitahu yang sebenarnya.”

     

    “Akhirnya, kepala rumah sakit membawanya ke sebuah ruangan kecil. Di sana, di atas meja, terdapat sebuah foto berbingkai sederhana – foto seorang anak laki-laki di kursi roda dengan senyum yang begitu cerah. Di bawah foto itu tertulis sebuah nama yang membuat jantung si gadis seakan berhenti berdetak.”

     

    “Kepala rumah sakit mengambil sebuah amplop dari laci mejanya. ‘Dia meninggalkan ini untukmu,’ katanya lembut, menyerahkan amplop putih itu dengan tangan yang sedikit bergetar.”

     

    Sang Penulis berhenti sejenak, seolah memberi waktu untuk meresapi momen itu, sebelum melanjutkan. “Di dalam amplop itu terdapat selembar surat yang ditulis dengan tulisan tangan yang rapi namun sedikit gemetar:”

     

    “‘Hai! Kalau kamu membaca ini, berarti operasinya berhasil! Bagaimana rasanya bisa melihat lagi? Apa warna langit seindah yang selalu kau bayangkan? Apa bunga-bunga di taman rumah sakit secantik yang selalu kuceritakan?'”

     

    “‘Maaf aku tidak memberitahumu tentang ini sebelumnya. Aku tahu kamu pasti akan menolak dan memarahiku habis-habisan. Tapi hey, bukankah ini keputusan yang bagus? Sekarang kamu bisa melihat semua hal indah yang selama ini hanya bisa kuceritakan. Kamu bisa melihat matahari terbenam yang selalu kita tunggu dari atap rumah sakit, atau kupu-kupu yang sering hinggap di jendela kamarmu.'”

     

    “‘Jangan merasa bersalah, oke? Ini murni keputusanku sendiri. Lagipula, bukankah kita selalu berjanji untuk saling membantu? Anggap saja ini hadiah dariku. Hadiah yang sedikit ekstrem, memang, tapi bukankah itu yang membuat persahabatan kita istimewa?'”

     

    “‘Satu hal lagi – kamu harus berjanji untuk hidup dengan baik. Nikmati setiap detik, lihat semua keindahan yang bisa kamu lihat, dan jangan biarkan pengorbananku sia-sia. Berjanjilah untuk bahagia, oke?'”

     

    “‘Sampai jumpa lagi suatu hari nanti. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku.'”

     

    Sang Penulis menghela napas panjang, matanya masih menerawang jauh. “Kisah ini mengajarkan kita bahwa cinta – baik itu cinta romantis, persahabatan, atau pengorbanan – memiliki kekuatan untuk mengubah hidup seseorang secara fundamental. Terkadang, pengorbanan terbesar dilakukan dalam diam, tanpa mengharapkan pengakuan atau balasan.”

     

    Dia berhenti sejenak, memandang ke arah jendela di mana senja mulai turun. “Dan terkadang, keajaiban datang dalam bentuk yang tidak kita duga – seperti seorang anak laki-laki di kursi roda yang memberikan seluruh hidupnya demi seseorang yang bahkan belum pernah melihat wajahnya.”

     

    Ruangan itu hening untuk beberapa saat. Aku merasakan air mata mengalir di pipiku, teringat akan pasien-pasienku sendiri dan pengorbanan-pengorbanan kecil yang kulihat setiap hari di rumah sakit.

     

    “Dokter,” kata Sang Penulis akhirnya, suaranya lembut namun tegas. “Setiap kehilangan yang kita alami, setiap nyawa yang tidak bisa kita selamatkan, mereka semua mengajarkan kita sesuatu. Dan terkadang, pelajaran terpenting datang dari mereka yang pergi terlalu cepat.”

     

    Sang Penulis menjentikkan jarinya dan menunjuk ke belakangku. Aku berbalik, dan di sana, seolah telah ada sejak dulu, berdiri sebuah pintu kayu tua dengan ukiran rumit yang sebelumnya tidak pernah kulihat.

     

    “Kurasa sudah waktunya kau pergi,” katanya dengan senyum misterius.

     

    Aku tertawa kecil, tawa yang terdengar sedikit sedih bahkan di telingaku sendiri. “Aku bahkan belum mengajukan pertanyaanku.”

     

    Dia mengangkat bahu dengan acuh, matanya berkilat jenaka. “Ah, tapi bukankah seharusnya kau sudah mendapatkan jawabannya sekarang?”

     

    Aku mengangguk samar, lalu berjalan menuju pintu itu. Tanganku menyentuh pegangan pintu yang dingin, dan ketika aku membukanya, cahaya putih yang menyilaukan menyambutku.

     

    Ketika aku membuka mata, aku sudah kembali berdiri di lorong rumah sakit. Lampu-lampu fluoresen masih berkedip lemah seperti sebelumnya, dan aroma antiseptik yang familiar mengisi udara. Semuanya terlihat sama, tapi entah mengapa, hatiku terasa lebih ringan.

     

    Aku melirik jam tanganku – waktu seolah tidak bergerak sejak aku pertama kali bertemu Sang Penulis. Mungkin memang begitulah cara dunia bekerja kadang-kadang, pikirku sambil tersenyum. Beberapa pelajaran hidup yang paling berharga datang dari momen-momen yang seolah berada di luar waktu.

     

    Dengan langkah pasti, aku berlari kecil menuju ruangan Dr. Taka. Jantungku berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena keraguan. Untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa benar-benar yakin dengan keputusanku.

     

    “Aku siap.” kataku begitu membuka pintu ruangannya, tanpa basa-basi.

     

    Dr. Taka mengangkat wajahnya dari tumpukan berkas di mejanya, alisnya terangkat karena terkejut. “Mori? Apa maksudmu?”

     

    “Aku siap menjadi pendonor untuk Lara.” jawabku mantap.

     

    Dr. Taka melepas kacamatanya dan menghela napas panjang. “Kau yakin? Kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Aku tahu betapa beratnya keputusan ini bagimu, terutama setelah… setelah apa yang terjadi lima tahun lalu.”

     

    “Ya, saya ingat dengan jelas,” aku menelan ludah, mengingat kembali pasien pertamaku yang meninggal karena tidak menemukan pendonor yang cocok. Saat itu, hanya aku yang cocok sebagai pendonor, tapi aku terlalu takut. Terlalu ragu. “Tapi kali ini berbeda. Saya tidak akan membiarkan ketakutan menghalangi saya untuk menyelamatkan nyawa seseorang.”

     

    “Mori,” Dr. Taka menatapku lekat-lekat, “kau tahu risikonya. Ya, kau memang satu-satunya pendonor yang cocok untuk Lara, tapi prosedur ini bisa membahayakan karirmu sebagai dokter bedah.”

     

    “Saya tahu,” jawabku tenang. “Dan saya siap menerima konsekuensinya.”

     

    Dr. Taka terdiam sejenak, matanya menyiratkan campuran kekhawatiran dan kekaguman. Akhirnya, dia mengangguk perlahan.

     

    “Baiklah,” katanya dengan suara pelan. “Aku akan mengatur jadwal operasinya. Tapi kau harus berjanji satu hal padaku, Mori.”

     

    “Apa itu?”

     

    “Jangan pernah menyesali keputusan ini. Apapun yang terjadi nantinya.”

     

    Aku tersenyum, teringat akan kisah yang baru saja kudengar dari Sang Penulis. “Tidak akan, Tidak akan pernah.”

     

    Ketika aku melangkah keluar dari ruangan Dr. Taka, lorong rumah sakit yang biasanya terasa dingin dan steril kini terasa berbeda. Setiap langkahku terasa ringan, seolah beban yang selama ini kupendam akhirnya terangkat.

     

    Mungkin inilah yang dimaksud Sang Penulis. Terkadang, jawaban yang kita cari tidak datang dalam bentuk kata-kata atau penjelasan logis. Terkadang, jawaban itu datang dalam bentuk sebuah cerita sederhana tentang pengorbanan dan keberanian.

     

    Dan kini, aku siap menulis ceritaku sendiri.

     

     

    Seorang wanita muda melangkah masuk melalui pintu kayu tua yang tampak tidak mencolok di sudut perpustakaan. Dia mengenakan sweater rajut longgar dan rok panjang yang menyapu lantai, rambutnya yang gelap diikat asal dalam sanggul berantakan. Matanya yang tajam langsung menyapu ruangan, dan dia menghela napas panjang.

     

    “Astaga, baru ditinggal beberapa hari saja sudah seperti kapal pecah,” gumamnya, mengamati tumpukan buku-buku yang berserakan di meja-meja dan lantai. Dengan gerakan yang efisien, dia mulai memunguti buku-buku itu, jemarinya yang lentik menyusuri punggung buku dengan kelembutan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang benar-benar mencintai literatur.

     

    Dia berjalan di antara rak-rak tinggi yang seolah menjulang hingga ke langit-langit yang tak terlihat, sesekali berhenti untuk mengembalikan buku ke tempat yang seharusnya. Kakinya melangkah tanpa suara di atas lantai kayu tua, seolah dia sendiri adalah bagian dari kesunyian perpustakaan itu.

     

    Ketika dia tiba di area tengah perpustakaan, langkahnya terhenti. Di sana, di sebuah meja kayu mahogani yang besar, Sang Penulis tertidur dengan kepala bersandar pada tumpukan kertas. Pena bulu masih tergenggam longgar di tangannya, dan cahaya temaram dari lampu meja menciptakan bayangan lembut di wajahnya yang damai.

     

    Wanita itu menggelengkan kepala pelan, senyum samar bermain di sudut bibirnya. Tanpa kata, dia berjalan menuju lemari kayu tua yang berdiri di dekat meja. Tangannya merogoh ke dalam dan menarik keluar sebuah selimut wol tebal berwarna biru tua. Begitu selimut itu keluar, lemari tersebut menghilang perlahan, seperti kabut yang tertiup angin.

     

    Dengan hati-hati, dia menyelimuti sosok yang tertidur itu. “Malam akan panjang dan dingin,” bisiknya lembut. “Seperti lorong-lorong waktu yang tak berujung dan kisah-kisah yang belum selesai ditulis.”

     

    Matanya kemudian tertuju pada lembaran-lembaran kertas di meja. Tinta di atasnya masih tampak basah, tulisan tangan yang rapi mengalir seperti sungai kata-kata di atas kertas putih. Dia membaca beberapa baris, dan senyumnya melebar.

     

    “Ah, sepertinya kita kedatangan pengunjung yang menarik,” gumamnya pada keheningan perpustakaan. “Seseorang yang akhirnya menemukan keberanian dalam kisah-kisahmu, Sang Penulis.”

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Between The Pages Chapter 1

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021