Aku adalah seorang penghibur, penyair jalanan yang menari di antara kata-kata seperti kupu-kupu menari di antara bunga. Hidupku sederhana – aku berkelana dari satu kedai ke kedai lain, dari satu istana ke istana lain, membawa tawa dan cerita untuk siapa saja yang mau mendengar. Tidak ada yang tahu nama asliku, dan aku lebih suka begitu. Bagi mereka, aku hanyalah si penyair pengembara dengan kecapi tua di punggung dan senyum jahil yang tak pernah pudar.
Setiap hari kuhabiskan dengan menghibur orang-orang. Para bangsawan menyukai syair-syair cintaku yang penuh metafora, sementara rakyat jelata lebih menikmati cerita-cerita konyolku tentang petualangan yang mungkin tidak pernah terjadi. Aku tidak peduli siapa pendengarku – bagi seorang penghibur sejati, tawa adalah mata uang yang lebih berharga dari emas.
Hidupku bebas dari masalah – atau setidaknya, begitulah yang kupikirkan. Sampai suatu malam, ketika bulan sedang bersembunyi di balik awan dan angin dingin berbisik tentang pertanda buruk. Aku baru saja menyelesaikan pertunjukan di sebuah kedai anggur, kantongku berat oleh koin tembaga, dan hatiku ringan oleh tawa yang baru saja kubagikan.
Mereka datang seperti bayangan – lima orang berjubah hitam dengan pedang terhunus. Wajah mereka tersembunyi di balik tudung, tapi aku bisa merasakan kebencian yang memancar dari mata mereka yang berkilat dalam kegelapan. “Akhirnya kami menemukanmu, Sang Pembawa Cerita.” kata salah satu dari mereka, suaranya sedingin es.
Aku, tentu saja, melakukan apa yang paling kukuasai – tersenyum lebar dan membungkuk dengan gaya yang berlebihan. “Ah, penggemar rupanya! Sayangnya pertunjukan hari ini sudah selesai, tapi besok—”
“Diam!” desis yang lain. “Kau pikir kami tidak tahu siapa dirimu sebenarnya? Kata-katamu telah menghasut terlalu banyak pikiran, membuat terlalu banyak orang berani bermimpi.”
Dan, di situlah aku menyadari – bahwa terkadang, tawa dan cerita bisa menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang. Bahwa kata-kata yang kuanggap sebagai hiburan semata telah menumbuhkan benih-benih perubahan dalam hati mereka yang mendengar. Para penguasa takut pada kekuatan ini – kekuatan untuk membuat orang biasa berani bermimpi tentang dunia yang lebih baik.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku yang bebas dari masalah, aku harus berlari. Berlari dari orang-orang yang takut pada kekuatan sebuah cerita, pada kemampuan tawa untuk menghancurkan rantai-rantai ketakutan. Tapi bahkan dalam pelarianku, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum – karena bukankah ini akan menjadi cerita yang luar biasa untuk diceritakan kelak?
Aku berlari menyusuri gang-gang sempit kota tua, napas terengah-engah dan lutut mulai goyah. Suara derap langkah para pengejar masih terdengar di kejauhan, berbaur dengan dentang lonceng malam yang berdentum dua belas kali. Sebuah penginapan kecil menarik perhatianku – bangunan tua dengan pintu kayu yang tampak tidak mencolok.
Tanpa pikir panjang, aku mendorong pintu itu. Namun alih-alih disambut oleh aroma bir dan sup hangat yang biasa tercium di penginapan, aku menemukan diriku melangkah ke dalam sebuah perpustakaan yang tampak tak berujung. Rak-rak tinggi menjulang hingga ke langit-langit yang tak terlihat, dipenuhi buku-buku dengan sampul beragam warna.
Di tengah ruangan, seorang pria dengan setelan waistcoat lusuh dan dasi longgar duduk di belakang meja kayu yang dipenuhi tumpukan perkamen dan botol-botol tinta. Pena bulu di tangannya bergerak malas di atas kertas, sesekali berhenti saat dia mencelupkannya ke dalam botol tinta. Dia bahkan tidak mendongak ketika aku masuk, terlalu sibuk menguap dan memainkan pena bulunya dengan tidak peduli.
“Um, maaf.” aku memulai dengan ragu. “Sepertinya, aku salah masuk…”
“Terserah.” gumamnya tidak peduli, masih fokus pada perkamen di hadapannya. “Masuk, keluar, semua orang selalu punya alasan.” Dia menyesap teh dingin dari cangkir porselen retak dengan ekspresi bosan.
“Aku sedang dikejar sebenarnya.” aku mencoba menjelaskan. “Aku seorang pencerita dan…”
“Oh, bagus.” dia memotong dengan nada datar, akhirnya melirikku sekilas dari balik kacamata bulatnya yang berembun. “Pencerita lain. Seperti dunia belum cukup dipenuhi omong kosong saja.” Dia melemparkan pena bulunya ke meja dengan tidak peduli, menciptakan noda tinta baru di atas tumpukan perkamen yang sudah ternoda.
“Mereka mengejarku karena takut pada kekuatan cerita.” aku tetap melanjutkan, entah mengapa merasa perlu menjelaskan meski sikapnya jelas menunjukkan ketidaktertarikan.
“Hmm.” dia bergumam, menuangkan teh yang sudah dingin ke dalam cangkirnya yang retak. “Klasik. Biar kutebak – ceritamu membuat orang berani bermimpi? Membuat mereka berpikir? Membuat mereka berharap?” Dia mendengus. “Duduklah kalau mau. Tapi, jangan harap aku akan terkesan.”
Dan, entah bagaimana, meski sikapnya yang acuh tak acuh itu sedikit menjengkelkan, aku menemukan diriku duduk di kursi kayu berderit di dekat mejanya. Di luar, suara para pengejar telah lenyap sepenuhnya, seolah dunia yang kutinggalkan telah menjadi dimensi yang berbeda.
“Jadi,” Sang Penulis meletakkan penanya. “Cerita seperti apa yang kau bawa? Selain omong kosong tentang menghasut orang untuk bermimpi.”
Aku tersenyum, meraih kecapi tua yang masih setia tergantung di punggungku. “Izinkan aku membagikan beberapa kisah melalui syair…”
Tentang gadis kecil di tepi sungai
Yang menangkap bintang dengan jala perak
Tentang nelayan tua yang tak kenal lelah
Mencari mutiara dalam lautan kata
“Hmph,” Sang Penulis mendengus. “Terlalu romantis.”
Maka kuceritakan tentang raja yang kehilangan mahkota
Bukan dari emas, tapi dari kepercayaan rakyatnya
Tentang prajurit yang memilih pena alih-alih pedang
Dan menulis surat cinta untuk musuh yang tak dikenalnya
“Lebih baik,” dia mengakui dengan enggan. “Tapi masih kurang…”
Lalu ada kisah tentang perpustakaan rahasia
Di mana buku-buku menolak untuk dibaca
Hingga pembaca memahami bahwa cerita
Bukan sekadar kata-kata di atas kertas
Tapi jiwa yang mencari rumah untuk singgah
Sang Penulis terdiam sejenak, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang tak beraturan. “Kau…” dia ragu-ragu. “Kau melihatnya, bukan? Perpustakaan ini… sifatnya yang sebenarnya?”
Di antara rak-rak yang menjulang tinggi
Kusaksikan waktu menari dengan dimensi
Halaman-halaman yang hidup dan bernapas
Cerita-cerita yang mencari pembaca sejati
Dan seorang penulis yang takut mengakui
Bahwa dia sendiri adalah bagian dari misteri
“Cukup.” Sang Penulis mengangkat tangannya. “Kau terlalu banyak bicara untuk ukuran seorang pengembara yang sedang dikejar.”
Tapi aku melihat sesuatu berubah dalam tatapannya – sebuah pengakuan diam-diam bahwa kata-kataku telah menyentuh sesuatu yang dia coba sembunyikan.
Karena terkadang, wahai Sang Penjaga Kata
Kita semua adalah cerita yang belum selesai
Mencari halaman yang tepat untuk berakhir
Atau mungkin… untuk memulai kembali
Ruangan itu seolah bergetar menanggapi syairku yang terakhir, buku-buku di rak bergeser dengan sendirinya, menciptakan melodi aneh yang terdengar seperti bisikan ribuan cerita.
Sang Penulis terdiam cukup lama, matanya terpejam seolah meresapi setiap kata yang baru saja didengarnya. Ketika akhirnya dia membuka mata, ada kilatan berbeda di sana – sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tangannya bergerak perlahan mengambil pena bulu, dan dengan suara yang dalam dia mulai membacakan balasannya:
Di antara rak-rak yang menyimpan waktu
Kutemukan diriku yang dulu hilang
Tersembunyi di balik sampul usang
Menunggu untuk kembali merangkai makna
Kau datang seperti angin musim semi
Membawa cerita-cerita yang tak biasa
Mengusik debu-debu kemalasan
Yang telah lama bersarang di sudut jiwaku
Kau pikir aku tak mengerti?
Tentang kekuatan kata yang kau bawa
Tentang mimpi yang kau sebarkan
Tentang harapan yang kau nyalakan
Aku ini sang penjaga cerita
Yang telah lelah dengan kisah-kisah
Yang muak dengan kata-kata kosong
Yang bosan dengan janji-janji palsu
Tapi syairmu… ah, syairmu
Seperti air di padang gersang
Seperti cahaya di lorong gelap
Mengingatkanku akan alasan
Mengapa aku memilih jalan ini
Maka dengarlah, wahai pengembara
Perpustakaan ini lebih dari sekadar tempat
Ia adalah persimpangan antara dunia
Tempat cerita-cerita mencari suara
Dan suara-suara mencari cerita
Dan, kau… kau lebih dari sekadar pencerita
Kau adalah jembatan antara mimpi dan nyata
Pembawa harapan dalam bait-bait sederhana
Yang membuat mereka ketakutan akan kekuatanmu
Mungkin kau benar tentang diriku
Yang bersembunyi di balik sikap acuh
Yang takut mengakui bahwa setiap kata
Adalah pintu menuju perubahan
Suaranya menggetarkan udara di sekitar kami, membuat buku-buku di rak seolah bernyanyi dalam harmoni yang aneh namun indah. Untuk pertama kalinya, aku melihat senyum tulus di wajahnya yang sebelumnya dihiasi ekspresi bosan.
Aku menatap Sang Penulis, merasakan perubahan halus dalam atmosfer perpustakaan. Tanpa kata-kata, aku mulai memetik senar kecapi-ku:
Dalam cahaya senja yang hangat mengalir
Kulihat kisah-kisah mulai menari
Bersama debu yang berkilau seperti permata
Di antara rak-rak yang menyimpan rahasia
Sang Penulis menegakkan punggungnya, matanya berkilat dengan intensitas baru:
Tapi tahukah kau, wahai pengembara,
Bahwa setiap senja membawa kegelapan?
Bahwa setiap cerita yang kau nyanyikan
Membawa bayangan yang tak terucapkan?
Atmosfer ruangan mulai berubah, cahaya hangat perlahan memudar menjadi kelabu. Aku memetik nada yang lebih dalam:
Di balik setiap kata yang terucap
Tersembunyi luka yang tak terobati
Dalam setiap bait yang tercipta
Ada tangis yang tak terdengar lagi
Sang Penulis bangkit, suaranya kini dipenuhi kesedihan yang tak terbendung:
Kau bicara tentang luka dan tangisan
Tapi tahukah kau tentang kesunyian?
Yang merayap di antara lembar-lembar usang
Yang menggerogoti jiwa dalam keheningan
Suasana semakin mencekam, bayangan-bayangan menari liar di dinding. Tanganku bergetar memetik senar:
Kurasakan ketegangan dalam udara
Seperti petir yang menunggu untuk menyambar
Dalam setiap tarikan napas perpustakaan
Ada ancaman yang siap menghancurkan
Sang Penulis mendekat, matanya kini gelap seperti badai:
Biarkan saja kehancuran datang
Biarkan kata-kata hancur menjadi debu
Karena setiap kisah yang tercipta
Adalah luka baru dalam keabadian
Kemudian, seolah seluruh energi tersedot dari ruangan, kesunyian total menyelimuti kami. Aku memetik satu nada terakhir, begitu pelan hingga nyaris tak terdengar:
Dalam sunyi yang membekukan waktu
Di antara kata-kata yang tak lagi bermakna
Kita berdua terdiam, menyadari
Bahwa kadang cerita terindah
Adalah yang tak pernah terucap
Sang Penulis tidak membalas. Dia hanya duduk kembali di kursinya, matanya terpejam, sementara perpustakaan di sekeliling kami tenggelam dalam keheningan yang sempurna.
Kulihat Sang Penulis mengangkat kepalanya perlahan, matanya tertuju pada jam pasir di atas meja kayu yang sudah mulai usang. Aku mengikuti arah pandangannya, mengamati butiran-butiran pasir yang mengalir dengan ritme konstan, menandakan waktu yang terus bergerak tanpa henti.
Hatiku mencelos ketika memahami makna tatapannya. Kugenggam erat kecapi di punggungku dan berbisik:
Aku melihat dalam matamu, wahai penjaga kata
Bagaimana waktu mengalir tanpa ampun
Memberitahu bahwa waktuku di sini
Telah mencapai batas yang ditentukan
Dia bangkit dari kursinya, dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan singkat kami, kulihat kelembutan dalam sorot matanya saat membalas:
Kau memahami dengan bijak, wahai pengembara
Perpustakaan ini punya aturannya sendiri
Setiap tamu yang datang membawa cerita
Namun tak semua dapat tinggal abadi
Kupejamkan mata sejenak, meresapi setiap detail ruangan yang telah memberiku tempat berlindung. Aroma kertas tua, debu yang menari dalam cahaya senja, dan dengung samar dari ribuan cerita yang tersimpan dalam rak-rak tinggi ini. Kubuka mataku dan kutuangkan perasaanku dalam syair:
Meski singkat waktu yang kita bagi
Setiap detik terukir dalam ingatan
Perpustakaanmu menjadi rumah sementara
Bagi jiwa yang haus akan cerita
Kulihat cahaya mulai merembes masuk dari celah-celah rak buku, semakin terang hingga hampir menyilaukan. Pandanganku mulai mengabur, tapi aku masih sempat memetik senar kecapi-ku untuk terakhir kali:
Selamat tinggal, wahai Sang Penulis
Terima kasih telah membuka pintumu
Untuk pengembara yang membawa syair
Yang kini harus melanjutkan perjalanan
Dalam pandanganku yang semakin kabur oleh cahaya putih yang menyilaukan, kudengar suaranya untuk terakhir kali:
Pergilah dengan damai, Sang Penyair
Bawa kisahmu ke tempat yang baru
Karena dalam setiap bait yang kau tinggalkan
Ada jejak yang tak akan terlupakan
Saat kesadaranku mulai tenggelam dalam lautan cahaya, kusadari bahwa pertemuan singkat ini akan menjadi salah satu cerita terindah yang pernah kualami. Perpustakaan ajaib dan penjaganya yang misterius akan selamanya hidup dalam syair-syairku, meski tubuhku kini tertelan oleh cahaya yang membutakan.
Dan, begitulah kisah ini berakhir. Seperti mimpi yang perlahan memudar saat fajar menyingsing. Setiap kata yang tertukar, setiap syair yang terlantun, dan setiap keheningan yang terbagi – semuanya kini menjadi bagian dari cerita yang lebih besar, yang terus mengalir dalam aliran waktu yang tak terbendung. Karena pada akhirnya, bukankah kita semua hanyalah pengelana yang singgah sejenak dalam perpustakaan kehidupan, meninggalkan jejak-jejak cerita untuk mereka yang akan datang kemudian?
Kreator : Clown Face
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Between The Pages Chapter 10
Sorry, comment are closed for this post.