KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Between The Pages Chapter 12

    Between The Pages Chapter 12

    BY 16 Apr 2025 Dilihat: 42 kali
    Between The Pages_alineaku

    CHAPTER 12 [The Library’s Farewell]

    Perpustakaan itu tampak berbeda hari ini. Entah bagaimana, ruangan yang biasanya sesak oleh tumpukan buku dan kertas-kertas berserakan kini terlihat lebih luas dan tertata. Rak-rak kayu yang dulunya kusam kini berkilau lembut di bawah cahaya lampu gantung antik. Buku-buku tersusun rapi berdasarkan warna sampulnya, menciptakan gradasi yang menenangkan mata.

     

    Sang Penulis duduk di kursi kulitnya yang biasa, kali ini dengan postur yang sedikit berbeda. Meski wajahnya masih menunjukkan kemalasan yang sama, ada sesuatu yang berubah dari caranya memandang ruangan itu. Setumpuk kertas yang telah diketik rapi tergeletak di mejanya.

     

    “Kau tampak… berbeda.” suara itu datang entah dari mana, seolah-olah ruangan itu sendiri yang berbicara.

     

    “Oh, diamlah.” Sang Penulis menguap, meregangkan tubuhnya dengan malas. “Aku hanya baru selesai membereskan naskah terakhir. Bukan berarti aku berubah atau apa.”

     

    “Tapi, perpustakaanmu…”

     

    “Kebetulan saja.” potongnya cepat, mengambil kaleng kopi yang entah keberapa. “Kadang-kadang ruangan ini memang punya pikiran sendiri. Mungkin dia sedang dalam mood yang bagus.”

     

    “Kau sudah menyelesaikan ceritanya?”

     

    Sang Penulis melirik tumpukan kertas di mejanya dengan tatapan bosan. “Ya, ya. Cerita membosankan tentang manusia dan masalah mereka. Tidak ada yang istimewa.”

     

    Namun ada sesuatu dalam caranya merapikan kertas-kertas itu, sebuah kelembutan yang tidak biasa dalam gerakannya, yang bertentangan dengan kata-katanya yang acuh.

     

    “Kau yakin tidak ada yang istimewa?”

     

    “Dengar,” dia menghela napas panjang. “Hanya karena aku menyelesaikan satu naskah dan kebetulan perpustakaan ini memutuskan untuk tidak berantakan hari ini, bukan berarti ada sesuatu yang berubah. Aku tetap penulis tak berguna yang sama.”

     

    Tapi saat dia mengucapkan itu, sebuah buku di rak terdekat bersinar lembut, sampulnya berkilau dengan warna yang tak bisa dijelaskan. Sang Penulis pura-pura tidak melihatnya, meski sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman tipis.

     

    “Baiklah, terserah kau saja.” suara itu terdengar geli. “Tapi, kau tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang berbeda kali ini.”

     

    Sang Penulis hanya mengangkat bahu, kembali menyesap kopinya yang sudah dingin. Di luar jendela perpustakaan, waktu mengalir dengan cara yang aneh, membentuk pola-pola yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang cukup perhatian untuk mengamatinya.

     

    Matahari mulai tenggelam di luar jendela perpustakaan, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di antara rak-rak buku. Sang Penulis menatap halaman terakhir yang masih kosong di mesin tiknya. Hanya tinggal satu bagian lagi – penutup – dan semua akan selesai. Setelah itu, perpustakaan ini akan…

     

    Dia menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. Tapi kenyataannya tak bisa disangkal: setiap perpustakaan ajaib memiliki batas waktunya sendiri. Setiap cerita harus memiliki akhir. Dan, perpustakaan ini telah menyelesaikan tugasnya – menjadi tempat dimana cerita-cerita lahir, hidup, dan akhirnya…

     

    “Kau tidak perlu melakukannya.” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih lembut dari sebelumnya.

     

    “Ini bukan masalah ‘perlu’ atau tidak,” Sang Penulis menjawab, suaranya sedikit serak. “Begitulah cara kerjanya. Setiap perpustakaan ajaib akan menghilang begitu tugasnya selesai. Begitu cerita terakhir ditutup…”

     

    Dia memandang sekeliling ruangan yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun. Setiap sudut menyimpan kenangan – perdebatannya dengan karakter-karakter yang dia ciptakan, momen-momen ketika cerita mengambil arah yang tak terduga, bahkan kehadiran singkat pemuda berhoodie yang kini telah menghilang.

     

    “Kau tahu,” dia berbicara pada ruangan kosong. “Aku selalu berpura-pura tidak peduli. Tapi tempat ini… tempat ini sudah menjadi satu-satunya rumah yang kumiliki.”

     

    Cahaya senja yang menembus jendela mulai meredup, seolah ikut berduka. Buku-buku di rak bergetar pelan, beberapa di antaranya mengeluarkan cahaya lemah, seperti mencoba menghibur Sang Pencipta mereka.

     

    “Aku bahkan belum memberikan judul untuk cerita terakhir ini.” dia tertawa getir, memandangi tumpukan kertas di mejanya. “Mungkin sebaiknya begitu. Biarkan saja tetap tanpa judul, seperti halaman yang belum selesai…”

     

    Tapi dia tahu bahwa cerita ini harus diselesaikan. Perpustakaan ini telah memberikan begitu banyak cerita kepada dunia, dan kini saatnya untuk menutup bukunya sendiri. Dengan tangan sedikit gemetar, Sang Penulis memasukkan kertas terakhir ke dalam mesin tik tuanya.

     

    “Terima kasih,” bisiknya pada ruangan itu, pada buku-buku yang telah menemaninya, pada kenangan-kenangan yang akan segera menjadi debu. “Terima kasih telah menjadi rumah bagiku.”

     

    Dan, di antara bayangan senja yang semakin pekat, Sang Penulis mulai mengetik kata-kata terakhirnya…

     

    Di antara keheningan malam yang bersembunyi

    Kutulis kata-kata yang tak berarti

    Menari di atas kertas yang sunyi

    Mencari makna yang tak ku mengerti

     

    Perpustakaan berdebu memeluk sepi

    Rak-rak tua menyimpan misteri

    Buku-buku usang berbisik sendiri

    Menceritakan kisah yang tak terganti

     

    Waktu mengalir bagai tinta hitam

    Di sudut ruang yang kian suram

    Membekukan detik yang tenggelam

    Meninggalkan jejak yang tak paham

     

    Dalam gelap yang tak bertepi

    Kudengar suara-suara pergi

    Memudar bagai kabut pagi

    Menyisakan sunyi yang abadi

     

    Kini semua tinggal bayangan

    Melayang dalam ruang kehilangan

    Mencari arti kekosongan

    Dalam dimensi yang tak terjangkau tangan

     

    Dan di sini, di ujung kata terakhir

    Kusaksikan duniaku hancur dan lebur

    Menjadi debu yang tak terukur

    Dalam keabadian yang tak teratur

     

    Ketika kata terakhir diketik, keheningan yang aneh mulai menyelimuti perpustakaan. Bukan keheningan yang mencekam atau menyesakkan, melainkan keheningan yang terasa seperti helaan napas panjang setelah perjalanan yang melelahkan.

     

    Sang Penulis bersandar di kursinya, merasakan sensasi aneh di dadanya – sebuah kehampaan yang entah mengapa terasa melegakan. Seperti beban yang selama ini tak disadarinya ada, kini terangkat dengan lembut. Dia memandang ke sekeliling ruangan, mengamati bagaimana cahaya senja perlahan memudar, menciptakan gradasi warna yang belum pernah dilihatnya seindah ini.

     

    Buku-buku di rak mulai memancarkan cahaya lemah, bukan cahaya yang menyilaukan, tapi seperti kunang-kunang yang menari di senja hari. Satu demi satu, halaman-halaman mereka mulai berubah menjadi serpihan cahaya yang melayang ke udara. Tapi, kali ini Sang Penulis tidak merasakan kesedihan. Yang ada hanyalah kedamaian yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

     

    “Ah,” dia bergumam pada dirinya sendiri, sebuah senyum tipis terukir di wajahnya yang lelah. “Jadi seperti ini rasanya mengakhiri sebuah cerita dengan benar.”

     

    Seiring serpihan-serpihan cahaya yang semakin banyak memenuhi ruangan, lantai perpustakaan mulai kehilangan substansinya. Rak-rak buku yang kokoh perlahan memudar seperti lukisan tua yang terkena hujan. Sang Penulis merasakan tubuhnya sendiri mulai menjadi ringan, seolah-olah dia terbuat dari kertas yang sangat tipis.

     

    Tepat saat itu, pintu perpustakaan menjeblak terbuka dengan keras. Asistennya berdiri di ambang pintu, terengah-engah, dengan ekspresi horor di wajahnya.

     

    “TIDAK!!!!” 

    Asisten itu berteriak, lalu berlari masuk meski lantai di bawah kakinya mulai menghilang seperti pasir yang tersapu angin.

     

    “Kau tidak bisa melakukan ini! Kau tidak boleh mengakhirinya seperti ini!!!!”

     

    Sang Penulis tersenyum lemah, setengah tubuhnya sudah menjadi serpihan cahaya yang melayang. “Kau tidak seharusnya ada di sini. Ini berbahaya.”

     

    “Persetan dengan bahaya!!!” Asisten itu mencoba meraih tangan Sang Penulis yang semakin transparan. “Kau tidak bisa… tidak setelah semua yang kita lalui… tidak setelah semua cerita yang kau ciptakan!!!”

     

    “Setiap cerita harus berakhir.” bisik Sang Penulis, suaranya seperti gemerisik halaman buku yang dibalik. “Bahkan, cerita tentang penulis yang menciptakan cerita.”

     

    “Tapi, bagaimana dengan cerita-cerita yang belum kau tulis?! Bagaimana dengan karakter-karakter yang belum lahir?! Mereka membutuhkanmu!! Aku membutuhkanmu!!!”

     

    Ruangan itu kini hampir sepenuhnya transparan, batas antara ada dan tiada menjadi kabur. Sang Penulis mengulurkan tangannya yang hampir tak terlihat, seolah ingin menghapus air mata yang mengalir di pipi Asisten-nya.

     

    “Kau akan baik-baik saja.” katanya lembut. “Cerita akan terus ada. Mungkin tidak di perpustakaan ini, tapi di tempat lain, dalam bentuk yang berbeda. Dan, kau… kau akan menemukan ceritamu sendiri.”

     

    “Tidak… tidak… TIDAK!!!”

     

    Teriakan itu menggema dalam kekosongan yang semakin meluas. Asisten itu mencoba menggenggam serpihan-serpihan cahaya yang beterbangan, seolah dengan begitu dia bisa menahan perpustakaan dan Sang Penulis tetap ada. Tapi seperti mencoba menangkap asap, semuanya lolos dari genggamannya.

     

    Dalam sekejap mata yang terasa seperti keabadian, perpustakaan itu – dengan semua misteri dan keajaibannya – lenyap sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah kekosongan absolut yang bahkan tidak bisa dijelaskan sebagai gelap atau terang.

     

    Dan, kemudian…

     

    Asisten itu terbangun di tempat tidurnya, terengah-engah dan basah oleh keringat. Kamarnya yang familiar terlihat normal – terlalu normal. Di meja kerjanya, setumpuk kertas kosong menunggu untuk ditulis. Di rak bukunya, novel-novel tersusun rapi, tapi entah mengapa terlihat lebih… biasa.

     

    Dia bangkit dan berjalan ke jendela. Fajar baru saja menyingsing, menciptakan gradasi warna di langit yang entah mengapa mengingatkannya pada cara buku-buku itu bersinar sebelum menghilang. Di tangannya yang gemetar, selembar kertas kusut – entah nyata atau hanya bagian dari mimpi – perlahan memudar menjadi serpihan cahaya terakhir, terbang ke langit pagi yang tak terjangkau.

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Between The Pages Chapter 12

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021