Aku duduk di singgasana, memandang ke arah jendela tinggi yang menampilkan kerajaan yang telah kubangun selama bertahun-tahun. Semuanya sempurna, teratur, dan berjalan sebagaimana mestinya. Para bangsawan dengan gaun-gaun mewah mereka berjalan anggun di taman istana, sementara di kejauhan, asap dari cerobong-cerobong rumah penduduk menandakan kehidupan yang terus berjalan dalam keteraturan yang telah kutetapkan.
Namun kesempurnaan ini terasa begitu rapuh. Seperti sebuah lukisan indah yang terancam ternoda oleh setetes tinta yang jatuh di tempat yang salah. Dan tinta itu adalah putraku sendiri, Pangeran Leon.
Hari ini, untuk kesekian kalinya, aku menerima laporan tentang tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan protokol kerajaan. Dia terlihat bermain dengan anak-anak dari distrik kumuh, berbagi makanan dengan mereka, dan bahkan mengajarkan mereka membaca. Ini bukan pertama kalinya, dan aku yakin bukan yang terakhir.
“Yang Mulia,” suara penasihat kerajaanku memecah lamunan. “Pangeran Leon kembali menghilang dari pelajaran etika kerajaannya.”
Aku menghela napas panjang. Tentu saja dia menghilang. Dia selalu menghilang ketika ada pelajaran tentang bagaimana seharusnya seorang pangeran bertingkah laku. “Di mana dia kali ini?”
“Menurut pengawal, dia terlihat di distrik timur, Yang Mulia. Di area… pemukiman pemulung.”
Tanganku menggenggam erat pegangan singgasana. Pemukiman pemulung. Tempat yang seharusnya tidak pernah diinjak oleh kaki seorang pangeran.
“Bawa dia menghadapku segera setelah dia kembali.”
Aku tidak pernah memahami mengapa dia begitu tertarik dengan kehidupan di luar tembok istana. Sejak kecil, aku telah mengajarkannya tentang hierarki sosial yang telah ada selama berabad-abad. Tentang bagaimana setiap orang memiliki tempat dan perannya masing-masing dalam tatanan masyarakat. Para bangsawan dengan kemewahan mereka, pedagang dengan bisnis mereka, petani dengan sawah mereka, dan… ya, bahkan pemulung dengan sampah mereka.
Tapi, Leon… dia seperti burung yang menolak untuk dikurung dalam sangkar emas. Dia selalu bertanya “mengapa?” Mengapa bangsawan harus hidup mewah sementara yang lain kelaparan? Mengapa anak-anak di distrik kumuh tidak bisa bersekolah? Mengapa tembok istana harus begitu tinggi?
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan oleh seorang pangeran. Pertanyaan-pertanyaan yang mengancam kestabilan sistem yang telah kubangun dengan hati-hati.
“Yang Mulia,” suara pengawal membuyarkan lamunanku lagi. “Pangeran Leon telah kembali.”
Aku menegakkan punggung, memasang wajah tegas yang telah aku pelajari selama bertahun-tahun sebagai raja. Pintu ruang singgasana terbuka, dan putraku melangkah masuk. Pakaiannya kotor, wajahnya berseri-seri, dan di tangannya… sebuah buku usang.
“Ayah!” serunya dengan antusias yang tidak sepantasnya ditunjukkan seorang pangeran. “Aku menemukan sesuatu yang luar biasa hari ini! Ada seorang anak di distrik timur yang sangat pandai menggambar. Dia membuat sketsa-sketsa indah meskipun hanya menggunakan arang dan kertas bekas. Bayangkan apa yang bisa dia lakukan jika dia memiliki peralatan yang tepat!”
Aku memijat pelipis perlahan. “Leon, berapa kali harus kukatakan? Seorang pangeran tidak seharusnya bergaul dengan…”
“Dengan rakyat jelata?” dia memotong ucapanku, sesuatu yang tidak pernah berani dilakukan oleh siapapun di kerajaan ini. “Tapi bukankah mereka juga bagian dari kerajaan kita, Ayah? Bukankah seharusnya kita mengenal mereka yang akan kita pimpin suatu hari nanti?”
Dan di sinilah aku sekarang, duduk di singgasana yang megah, merasa lebih lelah dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya bahwa dunia tidak sesederhana itu? Bahwa ada alasan mengapa tembok-tembok ini dibangun, mengapa hierarki ini ada, mengapa keteraturan harus dijaga?
Tapi, ketika aku melihat ke dalam matanya yang berbinar penuh semangat dan idealisme, aku melihat sesuatu yang telah lama hilang dari diriku sendiri. Sesuatu yang mungkin telah ku kubur terlalu dalam di bawah mahkota dan tanggung jawab sebagai raja.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku sebagai raja, aku bertanya-tanya, mungkinkah putraku yang tidak tahu aturan ini justru melihat sesuatu yang telah luput dari penglihatanku selama ini?
Aku menggelengkan kepala dengan cepat, mengusir pikiran-pikiran yang mengganggu. Tidak. Sistem ini telah berjalan selama berabad-abad. Siapa aku untuk mempertanyakannya sekarang?
“Cukup, Leon,” ujarku dengan suara dingin yang bahkan mengejutkan diriku sendiri. “Kembali ke kamarmu dan bersihkan dirimu. Kita akan membicarakan hukumanmu besok pagi.”
Tanpa menunggu jawabannya, aku bangkit dari singgasana dan berjalan keluar ruangan dengan langkah-langkah cepat. Aku bisa merasakan tatapannya di punggungku, tapi aku tidak berani berbalik. Tidak ketika keyakinanku mulai goyah seperti ini.
Suara pintu berat yang tertutup di belakangku terdengar seperti denting lonceng penanda kematian sesuatu yang bahkan tidak bisa kujelaskan.
Aku baru saja melangkah beberapa meter dari ruang singgasana ketika dunia di sekitarku mulai berputar. Pandanganku mengabur, dan dinding-dinding koridor yang familiar terlihat seperti cat yang luntur, meleleh dan berubah bentuk di hadapanku. Aku mengulurkan tangan, mencoba meraih dinding untuk menopang tubuh, tapi tanganku hanya menembus udara kosong.
Sensasi pusing yang menyerangku semakin intens. Cahaya obor-obor di koridor istana berputar seperti kunang-kunang liar, membentuk spiral yang membuatku semakin kehilangan orientasi. Aku memejamkan mata, berharap sensasi ini akan segera berlalu.
Ketika akhirnya aku memberanikan diri membuka mata, aku tidak lagi berada di koridor istana yang megah. Sebagai gantinya, aku berdiri di sebuah ruangan yang jauh lebih kecil dan… intim. Sebuah perpustakaan, kalau melihat dari rak-rak buku yang mengelilingi ruangan ini dari lantai hingga langit-langit.
Ruangan ini terasa sedikit sempit, dengan lorong-lorong kecil di antara rak-rak yang dipenuhi buku-buku tua. Udara disini terasa hangat dan sedikit pengap, dengan aroma kertas tua dan tinta yang begitu kuat. Cahaya temaram dari beberapa lampu minyak yang tergantung di dinding menciptakan suasana yang hampir mistis.
Aku menyentuh salah satu rak kayu terdekat, merasakan tekstur kayunya yang kasar di bawah jemariku. Ini nyata. Terlalu nyata untuk sebuah halusinasi. Mataku menelusuri judul-judul buku yang tersusun rapi – beberapa dalam bahasa yang kukenal, yang lain dalam tulisan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Di mana ini?” bisikku pada keheningan. Suaraku terdengar teredam di antara tumpukan buku, seolah ruangan ini sendiri menelan suara. Tidak ada yang menjawab pertanyaanku selain detak jarum jam tua yang entah berada di mana.
Mahkotaku terasa berat di kepala, seperti beban tanggung jawab yang selama ini kupikul. Tapi di tempat asing ini, gelar rajaku terasa tidak berarti. Di sini, aku hanyalah satu pengunjung lain di perpustakaan misterius ini, dikelilingi oleh ribuan kisah yang menunggu untuk dibaca.
Sesuatu tentang tempat ini terasa… magis. Bukan dalam artian sihir dan mantra seperti dalam dongeng-dongeng yang dulu kubacakan untuk Leon, tapi sesuatu yang lebih dalam. Seolah setiap buku di sini menyimpan rahasia, setiap sudut ruangan menyembunyikan misteri.
Aku melangkah perlahan menyusuri lorong-lorong sempit di antara rak buku. Suara langkah kakiku teredam oleh karpet tua yang menutupi lantai kayu. Tiba-tiba, di antara keheningan, aku mendengar suara-suara samar. Percakapan antara seorang pria dan wanita, terdengar dari balik salah satu rak di ujung ruangan.
“…kita tidak bisa membiarkannya begitu saja.” suara wanita itu terdengar tegas namun lembut. “Cerita ini perlu diubah.”
“Biarkan saja mengalir seperti air,” suara pria menjawab dengan nada malas. “Toh, pada akhirnya semua akan menemukan jalannya sendiri.”
Didorong rasa penasaran, aku mengikuti arah suara itu. Setelah berbelok di beberapa rak, aku menemukan sebuah area terbuka dengan meja kayu besar di tengahnya. Di sana, duduk seorang pria dengan rambut abu-abu berantakan yang mengenakan sweater usang. Di sampingnya, berdiri seorang wanita muda dengan pakaian rapi dan kacamata berbingkai tipis.
“Ah, Sang Raja akhirnya datang.” ujar pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari buku di hadapannya. Nada suaranya terdengar acuh, seolah kedatangan seorang raja adalah hal yang sama biasanya dengan kedatangan kucing liar.
“Maafkan ketidaksopanan Sang Penulis, Yang Mulia.” wanita itu membungkuk sopan. “Saya adalah asistennya. Kami sudah menunggu kedatangan Anda.”
“Menunggu kedatanganku?” aku bertanya, kebingungan. “Apa maksudmu? Dan siapa sebenarnya kalian?”
Pria berambut abu-abu itu akhirnya mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang terlihat bosan namun somehow mengandung kebijaksanaan yang tak terbatas. “Aku? Aku hanya seorang penulis yang kebetulan menulis kisahmu. Atau mungkin kau yang kebetulan menjadi karakter dalam kisahku. Siapa yang tahu?” Dia mengangkat bahu dengan sikap apatis.
“Yang Mulia,” asisten itu angkat bicara, “mungkin Anda bertanya-tanya mengapa Anda bisa berada di sini. Perpustakaan ini adalah tempat di mana semua cerita bertemu, tempat di mana karakter dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu mereka.”
Sang Penulis menguap lebar, mengabaikan tatapan mencela dari asistennya. “Ya, ya, tempat yang sangat istimewa. Tapi sejujurnya, aku lebih tertarik dengan teh yang sudah dingin di cangkirku daripada menjelaskan semua ini.”
Tiba-tiba, asisten itu menghela napas panjang dan melepas kacamatanya dengan gerakan kasar. “Demi Tuhan, bisakah kau berhenti bersikap seperti anak kecil yang malas?” Nada suaranya berubah drastis, tidak lagi lembut dan sopan seperti sebelumnya. “Kita punya raja di sini yang membutuhkan penjelasan, dan kau malah mengkhawatirkan teh dinginmu?”
Sang Penulis hanya mengangkat alisnya sedikit, masih dengan ekspresi malas yang sama. “Teh adalah hal yang serius, kau tahu. Lagipula, bukankah lebih menarik membiarkan dia mencari tahu sendiri? Pengembangan karakter dan semacamnya?”
“Aku masih berada di sini,” aku berdeham, mencoba mengembalikan wibawa yang biasanya kumiliki di istana. “Dan aku menuntut penjelasan yang layak tentang tempat ini dan mengapa aku dibawa ke sini.”
Sang Penulis mendengus pelan, bahkan tidak repot-repot menyembunyikan tawanya. “Menuntut? Oh, Yang Mulia, mungkin itu berhasil di istanamu, tapi di sini?” Dia mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan. “Di sini kau hanya karakter dalam cerita. Sama seperti pedagang roti yang lewat di chapter tiga atau kucing liar yang tidur di taman istana. Tidak lebih, tidak kurang.”
Aku merasakan wajahku memanas. Tidak pernah seumur hidupku diperlakukan dengan penghinaan seperti ini. “Berani-beraninya kau—”
“Ya, ya, berani-beraninya aku tidak menghormati Yang Mulia Raja yang Agung,” Sang Penulis memotong ucapanku dengan nada bosan. “Tapi coba pikirkan: siapa yang menciptakan gelarmu itu? Siapa yang memberikanmu mahkota? Siapa yang menulis setiap detail kehidupanmu, dari caramu berjalan hingga bagaimana kau memarahi putramu tadi?”
Kata-katanya menghantamku seperti tamparan. Aku membuka mulut untuk membalas, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Di sampingnya, sang asisten hanya menggelengkan kepala, tampak sudah terbiasa dengan tingkah laku atasannya yang tidak sopan ini.
“Oh, sekarang dia mengerti,” Sang Penulis tersenyum tipis, untuk pertama kalinya menunjukkan ekspresi selain kebosanan. “Menarik bagaimana sebuah mahkota bisa membuat seseorang lupa bahwa dia hanyalah tinta di atas kertas, bukan?”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. “Jika aku hanya tinta di atas kertas, lalu apa arti semua penderitaan dan keputusan yang kubuat? Apa arti tangisan Leon saat aku memarahinya? Apa arti…” suaraku tercekat, “…kematian ratuku?”
Sang Penulis hanya mengaduk tehnya dengan gerakan malas. “Mungkin semuanya berarti sesuatu, mungkin juga tidak. Siapa yang tahu? Bahkan aku sebagai penulisnya terkadang tidak yakin.”
“Yang Mulia,” asisten itu bergegas menengahi, “mungkin kita bisa membicarakan hal lain. Perpustakaan ini memiliki koleksi yang sangat menarik tentang—”
“Tidak,” potong Sang Penulis, tiba-tiba duduk tegak. “Dia perlu tahu. Atau setidaknya, dia berpikir dia perlu tahu. Bukankah begitu, Yang Mulia? Kau datang ke sini mencari jawaban, bukan?”
“Tuan!” asisten itu memperingatkan dengan nada tajam. “Kita sudah membicarakan ini. Kita tidak bisa—”
Sang Penulis berdehem kecil, untuk pertama kalinya terlihat sedikit tidak nyaman. Dia meletakkan cangkir tehnya dan menatapku dengan tatapan yang berbeda – lebih serius, lebih… manusiawi. “Baiklah, mari kita mulai dengan yang sederhana: apa yang mengganggumu, Yang Mulia?”
Aku menghela napas berat, mencoba menjelaskan situasi yang membuatku frustrasi. “Leon… dia menghabiskan terlalu banyak waktu dengan rakyat jelata. Setiap minggu, dia menyelinap keluar istana untuk mengunjungi pasar-pasar, berbincang dengan pedagang kaki lima, bahkan makan di kedai-kedai pinggir jalan.”
“Dia berpikir bahwa semua orang setara, bahwa tidak seharusnya ada perbedaan antara bangsawan dan rakyat biasa. Kemarin, dia bahkan mengundang anak-anak petani untuk bermain di taman istana! Seorang pewaris tahta, bergaul dengan… dengan rakyat jelata!”
“Setiap kali ada pertemuan dewan, dia selalu mempertanyakan kebijakan-kebijakan tradisional kita. Kenapa bangsawan harus mendapat prioritas? Kenapa pajak tidak sama rata? Kenapa anak-anak pedagang tidak bisa masuk sekolah istana? Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik tatanan yang sudah ada sejak berabad-abad!”
“Dan yang lebih mengkhawatirkan, dia mulai mendapat dukungan dari beberapa penasihat muda di istana. Mereka menyebut ide-idenya sebagai ‘pembaruan’ dan ‘kemajuan’. Tapi bagaimana mungkin mengabaikan hierarki sosial yang sudah menjadi fondasi kerajaan ini bisa disebut kemajuan?”
“Seorang raja harus memahami bahwa masyarakat memiliki tingkatan-tingkatannya sendiri. Itulah yang membuat sistem kita stabil selama berabad-abad. Tapi Leon… dia ingin menghancurkan semua itu dengan ide-ide naifnya tentang kesetaraan.”
Aku terdiam sejenak, menatap Sang Penulis yang masih mendengarkan dengan ekspresi tak terbaca. Di matanya, aku melihat sesuatu yang membuatku tidak nyaman – seolah dia bisa melihat menembus topeng kerajaan yang selama ini kukenakan.
Sang Penulis tidak menanggapi keluh kesahku. Dia hanya mengangkat alisnya sedikit, lalu dengan gerakan malas meraih sebuah buku dari tumpukan yang ada di atas mejanya. Buku itu tampak tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas di beberapa bagian.
Namun sebelum dia sempat membukanya, asistennya dengan cepat merebut buku tersebut dari tangannya. “Biar saya saja yang membacakan untuk Yang Mulia,” ujarnya dengan nada profesional yang dipaksakan.
Ketika asisten itu membuka buku tersebut, dahinya berkerut dalam kebingungan. Dia membalik beberapa halaman dengan cepat, lalu menatap Sang Penulis dengan tatapan bingung. “Tuan… buku ini kosong. Tidak ada tulisan sama sekali di dalamnya.”
Sang Penulis menghela napas panjang, seolah-olah dia baru saja diminta menjelaskan sesuatu yang sangat sederhana kepada anak kecil. Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya setengah tertutup dengan ekspresi bosan yang sudah familiar. “Tentu saja kosong,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
“Biar kuceritakan sebuah kisah,” Sang Penulis akhirnya berkata, menutup buku kosong itu dan meletakkannya di meja. “Tentang seorang raja yang hidup tanpa beban, yang menginginkan dunia dan segalanya. Dia memerintah dengan tangan besi, sementara rakyatnya kelaparan, memohon di balik penjaga istananya. Setiap hari, deretan panjang rakyat jelata menunggu di luar gerbang istana, berharap bisa mendapatkan remah-remah dari meja sang raja.”
Dia berhenti sejenak, matanya menerawang. “Raja ini memiliki segalanya – berlian, mutiara, zamrud, dan emas. Setiap pagi, dia bangun di atas ranjang sutra terbaik, makan dari piring emas dengan sendok berlian. Pelayan-pelayan menunduk ketakutan saat melayaninya, karena satu kesalahan kecil bisa berarti hukuman mati. Dia memandikan dirinya dalam kekayaan yang hanya dia yang bisa nikmati, mengadakan pesta-pesta mewah sementara di luar tembok istana, rakyatnya mati kelaparan. Tapi waktu tak kenal ampun; usianya semakin tua, kesehatannya menurun. Takdir kerajaannya terancam.”
“Dalam keputusasaan, dia mendatangi ratunya, menuntut seorang pewaris. Dia mengancam akan menceraikan sang ratu jika tidak bisa memberikan keturunan dalam waktu satu tahun. Setelah memastikan ratunya mengandung, dia mengabaikannya begitu saja, kembali tenggelam dalam pesta-pesta mewahnya. Beberapa bulan kemudian, ratu melahirkan seorang putra… dengan bayaran nyawanya sendiri. Bahkan di saat-saat terakhirnya, sang raja tidak ada di sisinya.”
“Putra itu tumbuh seperti rumput liar, diabaikan oleh ayahnya yang lebih mementingkan kekuasaan dan kemewahan. Pengasuh-pengasuhnya diam-diam menceritakan kisah tentang ibunya, tentang kebaikan hatinya dan cintanya pada rakyat. Di usia delapan belas, didorong oleh rasa penasaran dan pemberontakan, dia memberanikan diri keluar istana. Yang dia temukan adalah wajah-wajah pucat kelaparan, mayat-mayat di jalanan, tangisan meminta tolong yang tak pernah didengar. Anak-anak kurus dengan perut membengkak, orang tua yang memohon sedekah, dan penyakit yang mewabah tanpa pengobatan.”
“Sesuatu bergejolak dalam dirinya. Dia tertawa getir melihat kehancuran yang ayahnya ciptakan, mengingat kemewahan yang dinikmati, sementara rakyatnya menderita. Dengan api dalam darahnya, dia menghadap sang raja, menatapnya dengan kemarahan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Dia menuntut perubahan, memohon agar ayahnya membuka mata terhadap penderitaan rakyatnya.”
“Sang raja, dalam ketakutannya melihat api pemberontakan dalam mata putranya, mengeluarkan dekrit: putranya harus dibuang ke luar tembok istana. Dia menuduh putranya telah tercemar oleh pemikiran-pemikiran berbahaya dari rakyat jelata. Tapi sang putra punya rencana lain. Dalam hatinya, dia yakin tak akan ada tempat untuk raja dan pangeran sekaligus. Salah satu harus pergi.”
“Selama berbulan-bulan, dia diam-diam membangun jaringan di antara rakyat. Dia berbicara dengan para pedagang, petani, bahkan pengemis. Dia mempelajari strategi perang dari mantan prajurit yang dibuang, dan seni diplomasi dari cendekiawan yang jatuh miskin. Dia mengumpulkan rakyat dan menyerbu gerbang istana. Dengan perisai di satu tangan dan pedang di tangan lain, dalam satu gerakan dia menggulingkan ayahnya sendiri. Para penjaga istana, yang sudah lama muak dengan kekejaman sang raja, berpihak padanya. Dia duduk di singgasana, mengenakan mahkota barunya.”
“Sang putra merasa menang. Kerajaan menjadi miliknya – berlian, zamrud, dan kemewahan berlapis emas. Dia mengumumkan era baru, era perubahan dan keadilan. Tapi kekuasaan memiliki caranya sendiri untuk merusak jiwa. Perlahan tapi pasti, dia mulai menikmati kemewahan yang dulu dia benci. Janjinya pada rakyat mulai terlupakan. Tapi rakyat? Legenda tak pernah menceritakan nasib mereka. Seperti kenangan yang memudar, mereka menghilang begitu saja, tenggelam dalam pusaran sejarah yang terus berulang.”
Sang Penulis menatapku tajam. “Dan begitulah, ada seorang raja, hidup tanpa beban, yang menginginkan dunia dan segalanya…” Dia membiarkan kata-katanya menggantung di udara.
“Apa maksudmu dengan cerita ini?” tanyaku, meski dalam hatiku aku sudah tahu jawabannya.
“Bukankah menarik,” Sang Penulis tersenyum tipis, “bagaimana sejarah selalu berulang? Bagaimana putra yang membenci tirani ayahnya bisa menjadi tiran yang baru? Dan bagaimana seorang ayah bisa begitu takut melihat bayangan dirinya dalam diri putranya sendiri?”
“Tidak, tidak, kau salah!” aku berdiri dengan tiba-tiba, membuat kursi di belakangku berderit keras. “Aku tidak seperti itu. Aku hanya ingin melindungi tradisi kerajaan, menjaga stabilitas yang sudah ada sejak berabad-abad. Aku bukan tiran!”
Sang Penulis menyesap tehnya dengan tenang, seolah ledakan emosiku tak lebih dari angin lalu. “Menarik bagaimana kau menggunakan kata ‘tradisi’ dan ‘stabilitas’ untuk membenarkan ketakutanmu. Tapi katakan padaku, Yang Mulia, apa yang sebenarnya kau takutkan? Perubahan? Atau kenyataan bahwa putramu mungkin benar?”
“Kau tidak mengerti!” suaraku bergetar. “Leon masih muda, naif. Dia tidak memahami kompleksitas memimpin sebuah kerajaan. Kesetaraan yang dia impikan itu… itu hanya akan membawa kekacauan!”
“Ah,” Sang Penulis mengetuk-ngetuk jarinya di meja, “jadi menurutmu lebih baik mempertahankan sistem yang membuat sebagian rakyatmu menderita, daripada mengambil risiko untuk perubahan yang lebih baik? Sungguh menarik bagaimana ketakutan bisa membutakan seseorang dari kebenaran yang paling sederhana.”
“Kebenaran apa?” tantangku. “Bahwa aku seperti ayahku? Aku berbeda! Aku peduli pada rakyatku!”
“Tentu saja kau peduli,” Sang Penulis tersenyum sinis. “Kau peduli selama mereka tetap di tempat yang kau anggap pantas untuk mereka. Kau peduli selama hierarki sosialmu yang berharga tidak terganggu. Tapi begitu seseorang – bahkan putramu sendiri – mencoba mengubah status quo, kau bereaksi dengan ketakutan dan kemarahan. Bukankah itu definisi sempurna dari seorang tiran?”
Kata-katanya menusuk tepat ke jantung ketakutanku. Aku kembali duduk perlahan, merasa seluruh energiku tersedot habis. “Lalu apa yang harus kulakukan? Membiarkan Leon menghancurkan sistem yang sudah berjalan selama berabad-abad?”
“Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah: apakah sistem yang bertahan selama berabad-abad selalu berarti sistem yang baik?” Sang Penulis meletakkan cangkir tehnya. “Atau mungkin kau perlu bertanya pada dirimu sendiri: mengapa kau begitu takut pada perubahan yang mungkin justru akan membuat kerajaanmu lebih baik?”
Aku terdiam, merasakan beban mahkota yang tiba-tiba terasa sangat berat di kepalaku.
“Tapi bagaimana jika justru perubahan itulah yang akan menghancurkan segalanya?” aku akhirnya bersuara, mengangkat wajahku untuk menatap Sang Penulis. “Kau berbicara tentang sistem yang tidak sempurna, tapi setidaknya sistem ini menjaga stabilitas. Bagaimana jika perubahan yang Leon inginkan justru membawa kekacauan yang lebih besar? Bagaimana jika kesetaraan yang dia impikan hanya akan menciptakan perebutan kekuasaan yang berdarah?”
Sang Penulis menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit penuh pertimbangan. “Ah, akhirnya kita sampai pada pertanyaan yang sesungguhnya,” dia berkata pelan. “Kau mengkhawatirkan chaos yang mungkin timbul dari perubahan. Tapi tidakkah kau lihat bahwa dunia ini tidak pernah hitam dan putih?”
“Kebenaran selalu berada di area abu-abu, Yang Mulia. Tidak ada jaminan bahwa perubahan akan membawa kebaikan, sama seperti tidak ada jaminan bahwa mempertahankan tradisi akan mencegah kehancuran. Yang ada hanyalah pilihan – dan keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan tersebut.”
“Lalu apa gunanya semua ini?” aku bertanya dengan nada frustrasi. “Jika tidak ada jawaban pasti, jika semuanya abu-abu seperti katamu, bagaimana aku bisa membuat keputusan yang benar?”
Sang Penulis tersenyum, tapi kali ini senyumnya berbeda – ada kelembutan di sana, seolah dia akhirnya melihat ketulusan di balik kekhawatiranku. “Mungkin itu pertanyaan yang salah,” dia menjawab. “Mungkin bukan tentang membuat keputusan yang benar, tapi tentang bagaimana kita menghadapi ketidakpastian dengan kebijaksanaan.”
“Perubahan memang menakutkan, tapi stagnasi bisa sama berbahayanya. Mungkin jawabannya bukan pada ekstrem yang Leon inginkan, atau pada keras kepalanya tradisi yang kau pertahankan. Mungkin jawabannya ada pada dialog – antara ayah dan anak, antara raja dan pewaris, antara masa lalu dan masa depan.”
Aku merasakan sesuatu bergerak dalam dadaku – sebuah pemahaman baru yang perlahan mengambil bentuk. “Kau ingin mengatakan bahwa ketakutanku dan idealisme Leon… keduanya sama-sama memiliki nilai?”
“Tepat sekali,” Sang Penulis mengangguk. “Ketakutanmu berasal dari pengalaman dan kebijaksanaan, sementara idealisme Leon lahir dari kepedulian dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Keduanya valid, keduanya berharga. Pertanyaannya adalah: bagaimana menggabungkan keduanya menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar benar atau salah?”
Keheningan yang menyusul terasa berbeda dari sebelumnya – bukan lagi keheningan yang menekan, tapi keheningan yang penuh kontemplasi. Di luar jendela, aku bisa melihat matahari mulai tenggelam, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding ruangan.
“Tapi—” aku hendak membantah, namun Sang Penulis mengangkat tangannya, menghentikan kata-kataku.
Dengan gerakan ringan, dia menjentikkan jarinya. Seketika, aku merasakan kehadiran sesuatu di belakangku—semacam energi yang membuat bulu kudukku meremang. Suara derit pintu yang berat memecah keheningan ruangan.
Aku menoleh, dan di sana berdiri seorang wanita muda dengan senyum lembut. Pakaiannya sederhana namun elegan, dengan sulaman rumit di bagian lengan yang tampak berkilau dalam cahaya senja.
“Maafkan saya, Yang Mulia,” ujarnya dengan suara yang hampir seperti bisikan. Sebelum aku sempat bereaksi, tangannya yang ramping mendorong bahuku dengan kekuatan yang mengejutkan.
Dalam sekejap mata, aku terhuyung melewati ambang pintu misterius itu. Sensasi aneh menjalar di seluruh tubuhku, dan tiba-tiba saja aku sudah berdiri di lorong istana yang familiar—lorong yang menuju ke ruang tahta. Aku berkedip sekali, dan ketika membuka mata, pintu itu telah lenyap tanpa bekas, menyisakan dinding batu yang solid.
Aku berdiri di sana, termenung. Percakapan dengan Sang Penulis berputar dalam benakku seperti daun-daun yang diterbangkan angin musim gugur. Kata-katanya tentang perubahan dan tradisi, tentang ketakutan dan keberanian, tentang area abu-abu dalam setiap keputusan—semuanya mulai mengkristal menjadi sebuah pemahaman baru.
Mungkin sudah waktunya untuk berbicara dengan Leon, bukan sebagai raja kepada calon penerusnya, tapi sebagai ayah kepada anak. Mungkin di antara ketakutanku dan idealismenya, kami bisa menemukan jalan tengah yang akan membawa kerajaan ini menuju masa depan yang lebih baik.
—
Asisten itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja dengan gelisah, matanya berulang kali melirik ke arah pintu yang baru saja menghilang. “Menurutku ini sia-sia saja,” gumamnya, lebih kepada diri sendiri daripada kepada Sang Penulis yang masih duduk dengan tenang di kursinya.
“Dia tidak akan berubah. Raja-raja seperti dia… mereka terlalu tenggelam dalam ketakutan mereka sendiri. Terlalu nyaman dengan kekuasaan yang mereka miliki.” Dia berhenti sejenak, menghela napas panjang. “Bukankah lebih baik kita fokus pada yang lain saja?”
Sang Penulis hanya mengangkat bahunya sedikit, tangannya sudah sibuk menulis sesuatu di atas kertas di hadapannya. Tinta hitam mengalir dengan lancar dari ujung penanya, membentuk huruf-huruf yang rapi dan teratur.
“Kau bahkan tidak mendengarkanku, kan?” Asisten itu mendengus kesal. “Aku serius. Raja itu… dia akan menghancurkan segalanya. Putranya mungkin satu-satunya harapan untuk perubahan, dan dia akan menghancurkan itu juga.”
Tanpa mengangkat pandangan dari kertasnya, Sang Penulis akhirnya berbicara, suaranya terdengar bosan dan sedikit mengantuk. “Mmm… mungkin. Atau mungkin tidak. Siapa yang tahu?” Dia berhenti menulis sejenak, mencelupkan penanya ke dalam botol tinta. “Tapi bukan itu yang penting, kan?”
Asisten itu mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”
“Maksudku,” Sang Penulis melanjutkan tulisannya, “kita hanya perlu menulis ceritanya. Apa yang terjadi setelahnya… itu urusan mereka.” Dia mengangkat bahunya lagi. “Lagipula, bukankah lebih menarik membiarkan mereka menemukan jalannya sendiri?”
Melihat sikap acuh tak acuh Sang Penulis, sang asisten hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan frustasi. Dia tahu percuma saja berdebat lebih lanjut. Sang Penulis sudah tenggelam dalam dunianya sendiri, jari-jarinya terus bergerak di atas kertas, menulis entah apa.
Di luar jendela, matahari telah sepenuhnya tenggelam, menyisakan langit yang gelap tanpa bintang. Sang asisten menatap kegelapan itu dengan perasaan berat, bertanya-tanya apakah kerajaan itu juga akan segera tenggelam dalam kegelapan yang sama.
Tapi sebelum asisten itu sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya yang gelap, suara ketukan pena yang tiba-tiba berhenti menarik perhatiannya. Dia menoleh, dan mendapati Sang Penulis sedang menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Kau tahu,” Sang Penulis memulai dengan nada yang tidak biasa – lebih serius dari biasanya, “ada alasan mengapa aku membiarkan mereka mencari jalannya sendiri.” Dia meletakkan penanya dan melipat tangannya di atas meja.
“Karena kau tidak peduli?” sang asisten menjawab dengan nada sarkastik.
Sang Penulis tertawa kecil, tapi tawanya tidak mencapai matanya. “Justru sebaliknya. Aku sangat peduli. Terlalu peduli, mungkin.” Dia berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Tapi aku juga tahu bahwa setiap cerita memiliki kehidupannya sendiri. Setiap karakter memiliki jiwanya sendiri. Dan terkadang… terkadang kita harus membiarkan mereka berkembang dengan cara mereka sendiri.”
Sang asisten hendak membantah, tapi Sang Penulis mengangkat tangannya. “Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Kau ingin aku menuliskan ending yang menurutmu benar. Kau ingin aku memastikan bahwa keadilan menang, bahwa perubahan terjadi, bahwa segalanya berakhir sesuai dengan apa yang kau anggap ideal.”
“Bukankah itu tugasmu? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan seorang penulis?” sang asisten akhirnya meledak. “Kau memiliki kekuatan untuk membentuk dunia ini! Kau bisa membuat segalanya lebih baik dengan satu goresan penamu!”
Keheningan yang menyusul terasa menekan. Di luar, angin malam bertiup kencang, membuat jendela-jendela berderit pelan. Sang Penulis menatap asistennya dengan tatapan yang hampir… sedih?
“Dan itulah masalahnya,” dia akhirnya berkata dengan suara lembut. “Kekuatan untuk membentuk dunia… itu bukan hadiah. Itu tanggung jawab. Dan terkadang, tanggung jawab terbesar adalah menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan itu.”
Sang asisten membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ada sesuatu dalam kata-kata Sang Penulis yang membuatnya terdiam – sebuah kebijaksanaan yang tidak dia pahami sepenuhnya, tapi entah bagaimana terasa benar.
“Tapi…” dia mencoba sekali lagi, suaranya kini lebih pelan, “bagaimana jika mereka membuat kesalahan? Bagaimana jika mereka menghancurkan segalanya?”
Sang Penulis tersenyum, kali ini dengan kelembutan yang tulus. “Maka itu adalah bagian dari cerita mereka. Dan mungkin… mungkin dari kehancuran itu akan lahir sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang tidak bisa kita bayangkan sebelumnya.”
Dia mengambil penanya kembali, mencelupkannya ke dalam tinta. “Karena pada akhirnya, setiap cerita yang benar-benar hidup harus menemukan jalannya sendiri. Dan tugas kita… tugas kita hanyalah menjadi saksi, dan menuliskan apa yang kita lihat dengan sejujur mungkin.”
Sang asisten tidak menjawab. Dia hanya duduk di sana, menatap Sang Penulis yang kembali tenggelam dalam tulisannya, dan untuk pertama kalinya, dia mulai memahami bahwa mungkin ada kebijaksanaan dalam membiarkan sebuah cerita mengalir dengan sendirinya – bahkan jika itu berarti membiarkan karakternya berjuang, membuat kesalahan, dan menemukan jalan mereka sendiri dalam kegelapan.
Kreator : Clown Face
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Between The Pages Chapter 2
Sorry, comment are closed for this post.