KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Between The Pages Chapter 3

    Between The Pages Chapter 3

    BY 13 Apr 2025 Dilihat: 67 kali
    Between The Pages_alineaku

    CHAPTER 3 [The Last Survivor]

    Setiap pagi, aku terbangun dalam keheningan yang menyesakkan. Sudah dua tahun sejak wabah mematikan itu merenggut nyawa kedua orang tuaku, meninggalkanku sendirian di apartemen yang terlalu besar untuk seorang anak berusia dua belas tahun. Rutinitas harianku selalu sama: mengecek filter udara, memeriksa segel jendela, dan memastikan masker penyaringku masih berfungsi dengan baik. Semua hal yang dulu ayah ajarkan sebelum dia pergi selamanya.

     

    Apartemen tua di lantai tujuh ini adalah satu-satunya warisan yang tersisa. Aku beruntung masih memiliki tempat berlindung yang aman dari kabut beracun di luar sana. Setiap sudut ruangan telah ku segel dengan plastik tebal dan selotip industri, persis seperti yang diajarkan ayah dulu. Sekarang, ruangan-ruangan ini menjadi saksi bisu kesendirianku.

     

    Persediaan makanan yang tersisa harus diatur dengan sangat hati-hati. Setiap kaleng, setiap botol air, harus bisa bertahan selama mungkin. Kadang aku terpaksa harus keluar mencari persediaan baru, mengendap-endap di antara gedung-gedung hancur dengan masker gas yang kebesaran di wajahku. Setiap ekspedisi seperti itu adalah pertaruhan nyawa, tapi aku tidak punya pilihan lain.

     

    Buku-buku usang yang aku kumpulkan dari perpustakaan yang hancur menjadi satu-satunya temanku. Melalui halaman-halaman yang menguning ini, aku bisa sejenak melupakan realitas pahit duniaku. Aku bisa membayangkan diriku berada di tempat lain, di waktu yang berbeda, di dunia yang masih utuh dan penuh kehidupan.

     

    Dari jendela apartemenku yang tertutup rapat, aku mengamati kabut kekuningan yang tak pernah beranjak dari kota. Gedung-gedung tinggi berdiri seperti nisan raksasa, menandai kuburan massal peradaban yang telah runtuh. Terkadang aku melihat kilatan cahaya dari gedung-gedung lain—tanda kehidupan yang membuatku bertanya-tanya apakah ada anak lain sepertiku di luar sana, sendirian dan ketakutan.

     

    Suara-suara dari luar selalu membuatku waspada. Pengalaman mengajariku bahwa suara sekecil apapun bisa berarti bahaya. Kelompok-kelompok pencari yang berkeliaran tidak akan ragu untuk mengambil apapun—atau siapapun—yang mereka temukan. Dalam momen-momen seperti itu, aku akan meringkuk di lemari pakaian ayah yang masih menyimpan aroma samarnya, menahan napas, dan menunggu bahaya berlalu.

     

    Hari ini, aku mendengar suara yang tidak biasa—suara tawa anak-anak. Dengan hati-hati, aku mengintip melalui celah kecil di penutup jendela. Di gedung seberang, sekelompok anak seusiaku bermain bersama, dilindungi oleh orang-orang dewasa yang berjaga di sekitar mereka. Pemandangan yang membuatku iri sekaligus sedih.

     

    Aku ingin bergabung dengan mereka, merasakan kehangatan interaksi manusia lagi. Tapi ayah selalu mengingatkan bahwa kepercayaan adalah kemewahan yang tidak bisa kami beli di dunia seperti ini. Jadi aku tetap di sini, mengamati dalam diam, membiarkan kesepian memelukku seperti selimut yang sudah terlalu familiar.

     

    Tiba-tiba, sebuah bisikan lembut menyapu telingaku. “Siapa namamu, anak kecil?” Suara itu terdengar seperti desiran angin, namun jelas mengandung kata-kata. Aku tersentak, menoleh ke segala arah, tapi tidak ada siapapun di ruangan ini. Jantungku mulai berdetak lebih cepat.

     

    “Apa ada orang di sana?” tanyaku dengan suara bergetar. Hanya keheningan yang menjawab. Perasaan tidak nyaman mulai merayap di tengkukku. Aku berdiri, mengecek setiap sudut ruangan dengan langkah gemetar. Setiap bayangan seolah bisa menyembunyikan sesuatu, setiap sudut gelap seperti mengandung ancaman.

     

    Bisikan itu datang lagi, kali ini lebih dekat. “Mengapa kau sendirian di sini?” Suara itu terdengar penasaran, hampir seperti suara anak-anak, tapi ada sesuatu yang tidak natural di dalamnya. Tanganku mulai berkeringat, dan napasku menjadi pendek-pendek. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya halusinasi akibat terlalu lama sendirian.

     

    Namun sebelum ketakutanku sempat berkembang lebih jauh, sebuah jeritan memecah keheningan dari gedung seberang. Aku bergegas ke jendela, melupakan sejenak ketakutanku sendiri. Pemandangan yang kulihat membuat darahku membeku.

     

    Makhluk itu muncul dari kabut beracun seperti bayangan mimpi buruk. Tubuhnya setinggi dua orang dewasa, dengan kulit yang tampak seperti logam berkarat. Lengannya yang terlalu panjang berakhir dengan cakar-cakar tajam, dan kepalanya… kepalanya seperti kombinasi mengerikan antara serangga dan reptil. Para anak dan orang dewasa yang tadi kulihat bermain kini berlarian dalam kepanikan.

     

    Dengan gerakan yang terlalu cepat untuk ukuran tubuhnya, makhluk itu menerjang ke arah kerumunan. Teriakan-teriakan ketakutan bergema di udara yang beracun. Aku ingin membantu, ingin berteriak memperingatkan mereka, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Yang bisa kulakukan hanya menatap dengan horor saat makhluk itu mulai mengejar mangsanya.

     

    “Menakutkan, bukan?” Bisikan itu kembali muncul, kali ini lebih jelas dari sebelumnya. “Dunia ini sudah berubah menjadi tempat yang sangat berbahaya.”

     

    “Siapa kau sebenarnya?” tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap tenang meskipun ketakutan mulai menguasai.

     

    “Seseorang yang bisa membantumu keluar dari kesepian ini,” jawab suara itu lembut. “Ikutlah denganku. Aku tahu tempat yang aman, tempat di mana kau tidak perlu hidup dalam ketakutan lagi.”

     

    “Tidak,” jawabku tegas, mengingat pesan ayah. “Aku tidak bisa mempercayai siapapun.”

     

    Belum sempat suara misterius itu menjawab, sebuah dentuman keras mengguncang gedung. Makhluk mutan yang sama telah mencium keberadaanku dan kini sedang berusaha membobol masuk. Dinding apartemen bergetar hebat seiring dengan setiap hantaman yang dilakukan monster itu.

     

    Dalam kepanikan, aku berlari ke sudut ruangan mencari tempat bersembunyi. Namun sebelum aku sempat mencapai lemari, udara di hadapanku berpendar aneh. Cahaya kebiruan membentuk sosok tinggi seorang pria berpakaian formal hitam rapi. Wajahnya tersembunyi di balik topeng putih polos tanpa ekspresi.

     

    “Sepertinya kita kehabisan waktu untuk basa-basi.” kata pria bertopeng itu, suaranya sama dengan bisikan yang kudengar sebelumnya.

     

    Tepat saat itu, dinding apartemen jebol. Makhluk mutan itu menerobos masuk dengan cakar terangkat, siap menyerang. Namun sebelum monster itu bisa bergerak lebih jauh, pria bertopeng itu hanya mengangkat tangannya dengan santai dan mengibaskannya seolah mengusir debu.

     

    Seketika, makhluk mutan itu terpental ke belakang seperti dipukul oleh kekuatan tak terlihat. Tubuhnya yang besar menghantam dinding seberang dengan keras, menciptakan retakan besar sebelum jatuh tak bergerak. Dalam sekejap mata, ancaman yang mengerikan itu telah dilenyapkan semudah membalikkan telapak tangan.

     

    “Aku bisa melindungimu,” kata pria bertopeng itu, suaranya kini terdengar lebih dalam dan mengancam. “Atau aku bisa meninggalkanmu di sini, sendirian menghadapi lebih banyak makhluk seperti itu. Pilihanmu.”

     

    Jantungku berdebar kencang. Pesan ayah untuk tidak mempercayai siapapun masih terngiang di telingaku, tapi pemandangan makhluk mutan yang tergeletak tak berdaya itu adalah bukti nyata kekuatan pria misterius ini. Mungkin inilah kesempatanku untuk keluar dari kesendirian yang mencekik ini.

     

    “Baiklah,” kataku akhirnya, suaraku bergetar. “Aku akan ikut denganmu.”

     

    Pria bertopeng itu mengulurkan tangannya yang terbalut sarung tangan hitam. Dengan ragu-ragu, aku menyambut uluran tangan itu. Seketika, sensasi aneh menjalar ke seluruh tubuhku. Pandanganku mulai kabur, seolah dunia di sekelilingku mencair seperti cat yang luntur terkena air. Aku mencoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.

     

    Ketika penglihatanku akhirnya kembali fokus, aku mendapati diriku berdiri di sebuah ruangan yang sama sekali berbeda. Sebuah perpustakaan kecil yang terasa hangat namun agak sesak, dengan rak-rak buku yang menjulang dari lantai hingga langit-langit. Buku-buku dalam berbagai ukuran dan warna memenuhi setiap inci rak yang tersedia, bahkan ada tumpukan buku di lantai dan di atas meja-meja kecil yang tersebar di ruangan.

     

    Aku menoleh ke samping, mencari pria bertopeng yang membawaku ke sini, tapi dia telah menghilang tanpa jejak. Yang tersisa hanyalah keheningan yang familiar namun berbeda – bukan keheningan mencekam seperti di apartemenku, melainkan keheningan yang menenangkan, seperti pelukan hangat dari ribuan halaman buku yang mengelilingiku.

     

    Suara langkah kaki yang mendekat membuatku waspada. Aku segera bersembunyi di balik salah satu rak buku, berusaha menahan napas. Langkah kaki itu semakin dekat, hingga akhirnya seorang wanita muda muncul dari balik rak. Dia mungkin baru berusia awal dua puluhan, mengenakan sweater rajut abu-abu dan rok pensil hitam, dengan rambut hitam yang dibiarkan tergerai.

     

    “Oh!” Dia tersentak kaget saat melihatku. “Siapa… bagaimana kau bisa masuk ke sini?”

     

    “Aku… aku tidak yakin,” jawabku jujur. “Seseorang membawaku ke sini. Seorang pria bertopeng putih.”

     

    Wanita itu mengerutkan dahi. “Pria bertopeng? Tapi itu tidak mungkin. Ruangan ini selalu terkunci, dan hanya aku dan Sang Penulis yang memiliki kuncinya.”

     

    “Sungguh! Dia menyelamatkanku dari monster mutan, lalu membawaku ke sini dengan… semacam sihir,” aku mencoba menjelaskan, meski tahu betapa tidak masuk akalnya ceritaku terdengar.

     

    Wanita itu tampak semakin bingung. “Monster mutan? Sihir?” Dia menggelengkan kepala. “Maaf, tapi aku benar-benar tidak mengerti. Aku asisten penulis yang memiliki perpustakaan ini. Dan kau?”

     

    “Namaku…” aku terdiam sejenak. Entah mengapa, nama asliku terasa asing di lidahku. “Aku tidak ingat. Maksudku, aku tahu namaku, tapi… rasanya aneh.”

     

    Sang asisten mendekati sebuah meja kecil dan menarik kursi. “Duduklah. Sepertinya kita perlu bicara.” Dia tersenyum ramah, tapi aku bisa melihat kekhawatiran di matanya. “Ceritakan padaku apa yang terakhir kali kau ingat sebelum tiba di sini.”

     

    “Aku tinggal sendirian di apartemen, kota sudah hancur, ada kabut beracun di mana-mana…” Aku berhenti sejenak, menyadari betapa berbedanya dunia yang kutinggalkan dengan ruangan hangat ini. “Tapi sekarang aku tidak yakin apakah itu nyata atau hanya mimpi buruk.”

     

    Sang asisten mendengarkan dengan seksama, jemarinya yang lentik memainkan ujung rambutnya dengan gelisah. “Ini sangat aneh,” gumamnya. “Aku harus memberitahu Sang Penulis tentang ini. Tapi untuk sementara, kau aman di sini. Tidak ada monster atau kabut beracun yang bisa masuk ke perpustakaan ini.”

     

    Kata-katanya menenangkan, tapi pertanyaan-pertanyaan besar masih berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya pria bertopeng itu? Mengapa dia membawaku ke sini? Dan yang paling membingungkan: dunia mana yang nyata – dunia apocalyptic yang kutinggalkan, atau dunia normal yang tampaknya ada di luar perpustakaan ini?

     

    Sang asisten berdiri dan tersenyum kecil. “Tunggu sebentar, aku akan memberitahu Sang Penulis tentang kehadiranmu.” Dia berjalan menuju pintu di ujung perpustakaan, menghilang di baliknya untuk beberapa saat.

     

    Tak lama kemudian, dia kembali dengan langkah yang sedikit terburu-buru. “Maaf, sepertinya Sang Penulis sedang tidak ada di tempatnya.” Dia berhenti sejenak, menghela napas panjang yang terdengar seperti campuran kelelahan dan frustrasi.

     

    Namun ekspresinya berubah dengan cepat. Senyum ramah kembali menghiasi wajahnya, kali ini terasa lebih tulus dan hangat. Dia menarik kursi dan duduk di hadapanku.

     

    “Sambil menunggu Sang Penulis kembali, bagaimana kalau kau menceritakan kisahmu padaku?” tanyanya dengan nada lembut. “Cerita apa yang ingin kau bagikan? Aku yakin ada banyak hal menarik yang bisa kau ceritakan.”

     

    Ada sesuatu dalam caranya bertanya yang membuatku merasa aman, seolah dia benar-benar ingin mendengar apa yang akan kukatakan. Mungkin ini pertama kalinya sejak berbulan-bulan aku merasa bisa berbicara dengan bebas kepada seseorang.

     

    “Aku seorang dokter bedah,” aku memulai, suaraku pelan tapi mantap. “Atau setidaknya, aku yakin itu adalah diriku sebelum semua kekacauan ini terjadi. Aku bekerja di Rumah Sakit Metropolitan selama lima tahun. Setiap hari kuhabiskan waktuku di ruang operasi, menyelamatkan nyawa orang-orang. Itu adalah kehidupan yang normal, kehidupan yang kupikir akan terus kujalani selamanya.”

     

    “Hidup sendirian di kota mati ini sudah menjadi rutinitas,” aku melanjutkan, memainkan ujung sweaterku yang sudah lusuh. “Setiap pagi, aku bangun saat matahari terbit. Bukan karena alarm—listrik sudah lama mati—tapi karena suara burung-burung gagak yang selalu berkumpul di atap gedung seberang.”

     

    “Ada seorang pria tua yang tinggal di lantai bawah, Pak Chen namanya. Dia mantan tukang kebun yang sekarang mengurus kebun sayur kecil di halaman belakang gedung. Kami tidak pernah berbicara banyak, tapi setiap minggu dia akan meninggalkan sebagian hasil panennya di depan pintuku—wortel, kubis, atau apa pun yang berhasil dia tanam.”

     

    “Untuk air, aku mengumpulkan air hujan dengan ember-ember yang kutaruh di balkon. Kadang aku harus mendidihkannya dua kali sebelum bisa diminum. Di hari-hari tanpa hujan, aku dan Sarah—gadis kecil dari lantai tiga—akan pergi ke sungai kecil di pinggir kota untuk mengambil air.”

     

    “Sarah kehilangan orangtuanya saat wabah pertama menyerang. Dia yang mengajariku cara memancing dengan tombak buatan sendiri dari pipa bekas dan pisau dapur. Kami sering menghabiskan sore hari di atap gedung, membakar ikan hasil tangkapan sambil menonton matahari terbenam di balik gedung-gedung kosong.”

     

    “Bahaya terbesar adalah para pengembara—kelompok-kelompok orang yang berkeliaran mencari makanan dan supplies. Kebanyakan dari mereka tidak berbahaya, tapi ada beberapa yang… well, kelaparan bisa mengubah orang menjadi monster bahkan tanpa virus. Kami punya sistem peringatan sederhana dengan kaleng-kaleng yang diikat dengan tali, dipasang di sekeliling gedung.”

     

    “Di malam hari, kami berkumpul di apartemen Pak Chen. Dia punya banyak lilin dan selalu punya cerita untuk dibagikan. Sarah suka mendengarkan dongeng-dongeng dari masa kecil Pak Chen di desa, sementara aku lebih tertarik dengan kisah-kisah tentang cara bertahan hidup di alam liar.”

     

    “Tapi semua berubah ketika kabut beracun itu datang. Pak Chen adalah yang pertama menyadarinya—tanaman-tanamannya mulai layu tanpa sebab. Dalam hitungan hari, kami terpaksa mengungsi ke lantai-lantai atas dan menutup rapat semua ventilasi. Sarah… dia yang terakhir kali melihat Pak Chen, berjalan masuk ke dalam kabut dengan sekop kesayangannya, bergumam tentang menyelamatkan kebun sayurnya.”

     

    Aku berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Sang asisten masih mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi aku bisa melihat ketegangan di wajahnya.

     

    “Sarah…” Suaraku tercekat. Tiba-tiba kepalaku terasa berputar, dan pandanganku mulai mengabur. Aku mencengkeram pinggiran kursi, berusaha mempertahankan kesadaranku.

     

    Sang asisten bergegas mendekat, meletakkan tangannya yang hangat di pundakku. “Tenanglah,” ujarnya lembut. “Ini normal. Kau adalah irregular—seseorang yang tidak seharusnya berada di perpustakaan ini. Tubuhmu sedang berusaha menyesuaikan diri dengan realitas yang sebenarnya.”

     

    “Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara lemah, tapi kepalaku terlalu pusing untuk benar-benar memahami jawabannya.

     

    “Sebentar lagi kau akan kembali ke duniamu,” jelasnya dengan nada menenangkan. “Jangan melawan. Biarkan saja mengalir.”

     

    Aku memejamkan mata, mencoba mengurangi rasa pusing yang semakin menjadi. Dalam kegelapan di balik kelopak mataku, aku merasakan tubuhku seolah melayang. Tidak ada atas atau bawah, tidak ada ruang atau waktu. Hanya kekosongan yang tak berujung.

     

    Entah berapa lama aku mengambang dalam kehampaan itu. Detik, menit, jam, atau mungkin hari—waktu terasa tidak relevan. Hingga akhirnya, sebuah sentuhan hangat di tanganku menarikku kembali ke kesadaran.

     

    Ketika aku membuka mata, aku berdiri di kamarku, mengintip dari balik tirai jendela ke arah gedung di seberang. Gedung itu masih utuh, tidak ada tanda-tanda kehancuran atau monster mutan. Jalanan di bawah dipenuhi mobil yang berlalu-lalang, orang-orang berjalan dengan terburu-buru seperti hari-hari normal lainnya.

     

    Semuanya terlihat persis seperti saat sebelum kekacauan dimulai.

     

     

    Sang asisten berdiri di sudut perpustakaan, jemarinya meremas ujung roknya dengan gelisah. Matanya yang berwarna cokelat madu menatap ke arah pintu tempat ‘pasien’ terakhirnya menghilang. Keraguan menggerogoti pikirannya—apakah yang dia lakukan benar? Mengirim orang-orang kembali ke dunia mereka, mengubah ingatan mereka, membuat mereka percaya bahwa semua yang mereka alami hanyalah mimpi buruk…

     

    “Oh, kau masih di sini rupanya,” sebuah suara malas memecah keheningan. Sang Penulis bersandar di ambang pintu pribadinya, rambut abu-abunya yang sedikit panjang jatuh menutupi sebagian wajahnya yang masih muda. Sweater hitam longgar dan celana jeans lusuh yang dia kenakan tampak kontras dengan suasana perpustakaan yang elegan.

     

    “Mereka… mereka nyata. Mereka punya kehidupan, ingatan, perasaan…” sang asisten memulai, suaranya bergetar. “Kita mengubah semua itu. Kita membuat mereka percaya bahwa—”

     

    “Mmm,” Sang Penulis hanya bergumam, menggaruk kepalanya dengan malas sambil berjalan menuju sofa terdekat. Dia menghempaskan diri ke sofa dan menguap. “Bukankah kita sudah membahas ini berkali-kali? Lakukan saja apa yang perlu dilakukan.”

     

    “Tapi bukankah itu sama saja dengan kebohongan?” sang asisten bersikeras, frustasi dengan sikap apatis atasannya. “Kita memberi mereka harapan palsu, membangun dunia yang tidak nyata—”

     

    “Dengar,” Sang Penulis memotong dengan nada bosan, matanya setengah terpejam. “Realitas, kebohongan, harapan palsu… terlalu merepotkan untuk memikirkan semua itu. Yang penting pekerjaan selesai, kan?” Dia mengangkat bahu dengan sikap tak acuh.

     

    Tanpa menunggu jawaban, dia bangkit dengan enggan dan berjalan ke mejanya yang berantakan. Di atasnya, beberapa lembar kertas yang menguning tergeletak tak beraturan. Beberapa bagian kertas itu tampak menghitam, seolah terbakar dari dalam. Dengan gerakan malas, dia mengambil kertas-kertas itu dan meremasnya dalam genggaman. Ketika dia membuka tangannya, abu hitam berjatuhan ke lantai, menari-nari di udara sebelum lenyap sepenuhnya. Dia bahkan tidak repot-repot membersihkan abu yang jatuh ke sepatunya.

     

    “Sebentar lagi…” gumam Sang Penulis sambil menatap kosong ke arah jendela. “Sebentar lagi semua akan selesai. Cerita-cerita ini, karakter-karakter ini, dunia-dunia yang tumpang tindih… semuanya akan menemukan akhir yang tepat.” Suaranya terdengar jauh, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Between The Pages Chapter 3

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021