Aku mengerjapkan mata, berusaha memahami apa yang terjadi. Seingatku, aku baru saja hendak tidur di apartemenku, tapi kini aku berdiri di tengah sebuah perpustakaan yang tidak kukenal. Ruangan itu dipenuhi rak-rak tinggi yang menjulang hingga ke langit-langit, dengan buku-buku yang ditumpuk tidak beraturan hingga nyaris menutupi jalan.
“Halo?” panggilku ragu. Suaraku bergema di antara dinding-dinding yang dipenuhi buku. “Ada orang di sini?”
Tidak ada jawaban. Yang ada hanya keheningan yang terasa mencekam, ditemani cahaya lembut dari bola-bola yang melayang di udara—tunggu, bola-bola yang melayang? Aku mengucek mata, memastikan penglihatanku tidak salah. Benar saja, ada puluhan bola cahaya yang berpendar kekuningan, melayang perlahan seperti kunang-kunang raksasa.
Dengan hati-hati, aku melangkah menyusuri lorong sempit di antara rak-rak. Aroma kertas tua dan debu yang khas memenuhi udara. Beberapa buku tampak sangat kuno, dengan sampul kulit yang retak dimakan usia. Yang lain terlihat lebih baru, tapi ada sesuatu yang aneh tentang mereka—beberapa halaman tampak menghitam seolah terbakar dari dalam.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku menemukan sebuah area terbuka. Di tengahnya berdiri sebuah meja kayu tua yang tampak tidak sesuai dengan suasana perpustakaan yang mistis ini. Di atas meja, sebuah lampu belajar model lama menyala redup, menerangi sesuatu yang membuatku menahan napas—sebuah mesin tik.
Aku menatap mesin tik itu untuk waktu yang cukup lama. Ada sesuatu yang menarikku ke arahnya, seolah mesin tik tua itu memanggilku untuk menyentuhnya. Dengan ragu, aku mendekati meja dan duduk di kursi kayu yang ada di depannya.
Jemariku menyentuh tuts mesin tik dengan lembut. Masih terasa kokoh dan responsif, seolah baru saja digunakan. Selembar kertas kosong sudah terpasang, menunggu untuk diisi dengan kata-kata. Tanpa pikir panjang, aku mulai mengetik.
“Hidup ini seperti sebuah buku yang terus kutulis setiap harinya. Setiap pagi, aku membuka mata dengan rasa syukur, disambut oleh senyuman hangat istriku yang selalu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi. Kami tinggal di sebuah apartemen sederhana di pinggiran kota, cukup dekat dengan hiruk pikuk metropolitan namun cukup jauh untuk menikmati ketenangan.”
“Pekerjaan sebagai editor memberiku kesempatan untuk menjelajahi ribuan dunia melalui naskah-naskah yang kubaca. Setiap hari adalah petualangan baru, bertemu dengan karakter-karakter baru, dan membantu para penulis mewujudkan mimpi mereka. Kantor tempatku bekerja mungkin tidak mewah, tapi di sanalah aku menemukan keluarga kedua yang selalu mendukung satu sama lain.”
“Di rumah, tawa kedua anakku adalah musik terindah yang pernah kudengar. Si sulung, dengan kreativitasnya yang mengalir bebas melalui lukisan dan musik. Si bungsu, dengan rasa ingin tahunya yang tak pernah padam dan pertanyaan-pertanyaan polos yang sering membuatku berpikir ulang tentang hal-hal sederhana dalam hidup.”
“Akhir pekan adalah waktu favoritku. Kami sering menghabiskan waktu bersama di taman, berpiknik dengan bekal sederhana sambil mengamati awan yang berarak di langit. Atau kadang-kadang, kami hanya bermalas-malasan di rumah, membaca buku bersama, atau membuat kue yang mungkin tidak sempurna bentuknya tapi selalu penuh cinta.”
“Istriku adalah seorang guru yang mencintai pekerjaannya. Dia mengajarkanku bahwa kesederhanaan adalah bentuk kebahagiaan yang paling murni. Setiap malam, kami berbagi cerita tentang hari yang telah kami lalui, tentang murid-muridnya yang lucu, atau tentang naskah baru yang sedang aku edit.”
“Mungkin hidup kami tidak sempurna. Ada kalanya kami bertengkar tentang hal-hal sepele, atau menghadapi kesulitan finansial. Tapi kami selalu menemukan cara untuk kembali ke pelukan satu sama lain, karena pada akhirnya, cinta dan kebersamaan adalah harta kami yang paling berharga.”
“Aku tidak takut pada kematian. Yang kutakutkan hanyalah meninggalkan luka di hati orang-orang yang kucintai. Tapi aku percaya bahwa setiap momen yang kuhabiskan bersama mereka adalah hadiah yang tak ternilai, dan kenangan-kenangan itu akan terus hidup bahkan setelah aku pergi.”
“Hmm… kisah yang terlalu sempurna, bukan?” sebuah suara malas memecah konsentrasiku. “Keluarga bahagia, pekerjaan yang menyenangkan, akhir pekan yang indah… benar-benar tipikal.”
Aku terlonjak dari kursiku, hampir menjatuhkan mesin tik tua itu. Di belakangku, seorang pria muda bersandar pada rak buku dengan sikap santai. Rambut abu-abunya yang berantakan jatuh menutupi sebagian wajahnya, dan dia mengenakan sweater hitam yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya.
“Maaf, aku tidak bermaksud—” aku mulai berbicara, tapi dia mengangkat tangannya dengan gerakan malas.
“Tidak perlu minta maaf. Semua orang yang datang ke sini selalu menulis hal yang sama,” dia menguap lebar. “Kehidupan yang sempurna, keluarga yang bahagia, pekerjaan yang memuaskan… seolah-olah itulah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.”
Dia berjalan mendekat dengan langkah gontai, matanya yang setengah terpejam menatap kertas di mesin tik. “Kau tahu apa yang lebih menarik? Kisah tentang seorang pria yang bangun setiap pagi dengan rasa hampa, yang tersenyum palsu pada rekan kerjanya, yang pulang ke apartemen kosong dan berbicara pada bayangan di cermin…”
“Aku… aku hanya menulis apa yang kuinginkan,” jawabku pelan, entah mengapa merasa perlu membela diri.
“Tepat sekali,” dia tersenyum tipis, masih dengan ekspresi mengantuknya. “Kau menulis apa yang kau inginkan, bukan apa yang kau miliki. Bukankah itu menarik? Bagaimana kita selalu mencoba menciptakan realitas alternatif untuk melarikan diri dari kenyataan?”
Kata-katanya menusuk tepat ke dalam hatiku. Aku menatap kembali tulisanku, dan tiba-tiba semuanya terasa palsu—setiap kata, setiap kalimat, setiap paragraf yang kutulis dengan penuh harapan.
“Tapi tidak apa-apa.” dia menambahkan sambil berbalik, bersiap untuk pergi. “Teruslah menulis. Mungkin suatu hari nanti, salah satu dari realitas alternatif itu akan menjadi nyata. Atau mungkin tidak. Siapa yang tahu?” Dia mengangkat bahu dengan sikap tak acuh.
Sang Penulis berjalan dengan langkah malas menuju salah satu rak buku. Jari-jarinya yang panjang menyusuri punggung buku-buku tua, berhenti sesekali untuk menarik keluar sebuah buku, hanya untuk mendorongnya kembali ke tempat semula. Aku hanya bisa memperhatikan dalam diam, masih terpaku di kursi di depan mesin tik.
“Kau tahu,” dia tiba-tiba berbicara tanpa menoleh, masih fokus pada deretan buku di hadapannya, “ada kisah yang jauh lebih nyata dari apa yang kamu tulis tadi. Tentang seorang pria yang setiap pagi terbangun dengan keringat dingin, menghabiskan lima belas menit hanya untuk memaksakan diri keluar dari tempat tidur.”
“Dia bekerja di sebuah perusahaan penerbitan, seperti yang kau impikan. Tapi alih-alih menjadi editor yang membantu mewujudkan mimpi para penulis, dia hanya seorang staff biasa yang menghabiskan waktunya mengetik ulang naskah-naskah lama untuk digitalisasi. Setiap hari, dia duduk di kubikel sempit yang sama, mendengarkan suara ketikan yang monoton, dan bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik.”
“Apartemennya bukan tempat yang nyaman untuk pulang. Dindingnya yang tipis membiarkan suara pertengkaran tetangga merembes masuk setiap malam. Pipa air yang bocor menciptakan bercak lembab di sudut-sudut ruangan. Tapi setidaknya, di sana ada kucing liar yang kadang mengunjunginya lewat jendela, satu-satunya teman yang dia miliki.”
“Akhir pekan? Ah, itu hanya waktu tambahan untuk menatap langit-langit, menghitung retakan di dinding, dan mencoba mengabaikan suara tawa keluarga bahagia dari apartemen sebelah. Kadang dia pergi ke taman, seperti yang kau tulis tadi. Tapi alih-alih piknik bahagia, dia hanya duduk sendirian di bangku taman, mengamati keluarga-keluarga yang lewat, dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi bagian dari mereka.”
“Dia pernah jatuh cinta, tentu saja. Pada seorang guru, seperti yang kau impikan. Tapi cinta itu berakhir bahkan sebelum dimulai. Dia terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya, terlalu yakin bahwa dia tidak cukup baik, tidak cukup sukses, tidak cukup… apa pun.”
“Dan tentang kematian…” Sang Penulis akhirnya berbalik, matanya yang lelah menatap langsung ke arahku. “Dia tidak takut pada kematian karena kadang-kadang, di malam-malam yang terlalu sunyi, dia bahkan menantikannya. Bukan karena dia ingin mati, tapi karena dia lelah hidup dalam kehampaan.”
Aku merasakan sesuatu yang basah di pipiku. Air mata. Entah sejak kapan aku mulai menangis. Kisah yang dia ceritakan terasa terlalu nyata, terlalu dekat dengan kenyataan yang selama ini kucoba sembunyikan di balik kata-kata indah yang kuketik.
“Tapi kau tahu apa yang paling menarik?” Sang Penulis melanjutkan, kembali dengan nada malasnya yang biasa. “Dia masih terus menulis. Setiap hari, dia menciptakan dunia-dunia baru di atas kertas. Dunia-dunia di mana dia bisa menjadi siapa saja, memiliki apa saja. Karena terkadang, menulis adalah satu-satunya cara untuk tetap bertahan.”
Dari sudut mataku, aku melihat sosoknya yang samar bergerak di antara bayangan rak-rak buku. Tawanya begitu lirih, nyaris tak terdengar—seperti desah angin yang lewat. “Ah…” Suaranya mengambang di udara, begitu halus hingga aku tak yakin apakah itu nyata atau hanya imajinasiku.
Di antara deretan buku-buku tua, aku menangkap gerakan samarnya memainkan ujung sweater—atau mungkin itu hanya permainan cahaya remang? Bibirnya bergerak membentuk kata-kata yang tak sepenuhnya bisa kutangkap, seolah berbicara pada bayangan dirinya sendiri.
Kehadirannya semakin tipis, berbaur dengan keremangan ruangan. Suaranya kini tak lebih dari bisikan yang memudar, “Mimpi… akhir yang bahagia…” Kata-kata itu menggantung di udara seperti kabut tipis, sebelum lenyap bersama sosoknya yang perlahan melebur dalam kegelapan di antara rak-rak buku.
Tiba-tiba, seolah tersadar dari lamunan, Sang Penulis menguap lebar dan menggaruk kepalanya dengan gerakan malas. Sikap melankolis yang tadi menyelimutinya lenyap seketika, digantikan oleh ekspresi mengantuk yang familiar.
“Jadi,” dia berkata sambil menyandarkan tubuhnya ke rak buku terdekat, “apa kau akan menyelesaikan tulisan itu atau tidak? Maksudku, kau sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk menulis tentang kehidupan sempurna yang tidak kau miliki.”
Aku menatap kertas yang masih terpasang di mesin tik, jemariku mengambang ragu di atas tuts-tuts yang sudah usang. Haruskah aku melanjutkan kisah bahagia yang kupaksakan? Atau menulis ulang semuanya dengan kejujuran yang lebih pahit?
Sang Penulis mengamati keraguanku dengan mata setengah terpejam. Dia menghela napas kecil, lalu dengan gerakan santai, menarik sebuah kursi kayu tua yang entah muncul dari mana dalam kegelapan. Dia duduk dengan posisi terbalik, menopang dagunya di sandaran kursi.
“Baiklah,” katanya dengan nada malas yang familiar, “mungkin kita bisa mulai dari pertanyaan yang lebih sederhana. Sebenarnya, kisah apa yang ingin kau sampaikan? Bukan kisah yang kau pikir orang lain ingin baca, tapi kisah yang benar-benar ingin kau ceritakan.”
Aku terdiam, menatap kosong pada kertas di hadapanku. Jemariku masih mengambang di atas tuts mesin tik, tapi tak ada satu kata pun yang terketik. Sang Penulis, yang tampaknya tidak nyaman dengan keheningan ini, mulai berbicara dengan nada mengantuknya yang khas.
“Maksudku, setiap orang pasti punya sesuatu yang ingin diceritakan, bukan? Mungkin tentang cinta pertama yang gagal, atau mungkin tentang mimpi yang belum tercapai, atau bahkan tentang—”
“Tidak ada,” potongku tiba-tiba.
Sang Penulis mengerjap, untuk pertama kalinya terlihat kebingungan. “Apa?”
“Aku tidak punya kisah yang ingin kuceritakan,” jawabku pelan, tapi tegas. “Tidak ada kisah cinta yang patah, tidak ada mimpi yang hancur, tidak ada tragedi yang membekas. Yang ada hanya… kehampaan. Kekosongan yang begitu biasa hingga bahkan tidak layak untuk diceritakan.”
Sang Penulis hanya memberikan “Oh” singkat, seolah jawaban itu adalah hal paling wajar yang pernah dia dengar. Tidak ada keterkejutan di wajahnya yang mengantuk, tidak ada simpati yang dibuat-buat. Dia bangkit dari kursinya dengan gerakan malas dan berjalan mendekatiku.
“Kurasa sudah waktunya,” ujarnya sambil menatapku dengan mata setengah terpejam. “Kau sudah tidak punya urusan lagi dengan perpustakaan ini.”
Sebelum aku sempat bertanya apa maksudnya, dia menjentikkan jarinya. Seketika, dunia di sekelilingku mulai berputar. Pandanganku mengabur, dan sensasi aneh menjalar di seluruh tubuhku—seperti kabut yang perlahan menelan kesadaranku. Suara-suara di sekitar memudar menjadi dengung samar, dan aku merasakan diriku seolah melayang dalam kekosongan.
Ketika kesadaranku perlahan kembali, aku mendapati diriku duduk di kursi yang familiar—di apartemenku. Mesin tik tua itu tidak ada di hadapanku, digantikan oleh meja kerja yang biasa. Dari jendela, aku bisa mendengar suara hujan rintik-rintik dan deru kendaraan yang lewat di jalan raya.
Aku mengerjapkan mata, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Apakah semua itu hanya mimpi? Tapi mengapa terasa begitu nyata? Dan mengapa ada rasa kehilangan yang aneh ketika aku tidak lagi melihat sosok mengantuk Sang Penulis di hadapanku?
—
Di perpustakaan yang remang, Sang Penulis bergerak dengan gerakan malasnya yang khas. Tangannya yang kurus meraih lembaran-lembaran kertas yang masih hangat dari mesin tik. Ada sesuatu yang familiar dari aroma kertas dan tinta yang baru tercetak—sebuah jejak dari jiwa yang baru saja mencurahkan kisahnya.
Dengan teliti namun tetap terkesan ogah-ogahan, dia merapikan tumpukan kertas itu, mengetuk-ketukkan pinggirannya ke permukaan meja untuk menyamakan posisinya. Laci meja kayu tua berderit pelan ketika dia membukanya, mengungkapkan tumpukan-tumpukan kertas serupa yang telah menguning dimakan waktu.
Sambil meletakkan kertas-kertas baru di atas tumpukan lama, dia bergumam pelan, “Selalu sama… selalu tentang kehidupan sempurna.” Dia menggaruk kepalanya dengan gerakan malas. “Mesin tik tua ini seperti magnet untuk jiwa-jiwa yang mencari kesempurnaan. Mereka datang, menulis tentang kisah-kisah bahagia yang klise—cinta yang sempurna, karir yang cemerlang, keluarga yang harmonis—lalu pergi, meninggalkan jejak ilusi mereka di sini.”
Gerutuannya berlanjut sementara dia mendorong laci menutup, “Dan lucunya, tak satupun dari mereka menyadari bahwa justru obsesi mereka akan kesempurnaan itulah yang membuat kisah mereka begitu… palsu.” Suara ‘klik’ pelan terdengar ketika laci terkunci, menyegel ratusan kisah ilusi dalam kegelapan kayunya yang hangat
Kreator : Clown Face
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Between The Pages Chapter 4
Sorry, comment are closed for this post.