KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Between The Pages Chapter 5

    Between The Pages Chapter 5

    BY 13 Apr 2025 Dilihat: 144 kali
    Between The Pages_alineaku

    CHAPTER 5 [The Knight’s Purpose] 

    Aku adalah seorang ksatria biasa, dan setiap malam aku menatap bayanganku di cermin retak kamarku, bertanya-tanya apakah dunia akan mengingat jejak-jejak kecil yang kutinggalkan. Di antara ratusan ksatria dengan nama-nama agung dan kisah-kisah heroik, aku hanyalah bayangan samar yang melintas – sosok berjubah usang yang lebih sering terlihat membantu para petani daripada menghunus pedang dalam pertarungan agung.

     

    Pedangku menceritakan kisah yang berbeda dari rekan-rekan ksatriaku. Bilahnya tergores bukan oleh pertarungan melawan naga atau monster legendaris, melainkan dari memotong kayu untuk para janda tua di musim dingin. Gagangnya yang aus bukan karena duel-duel kehormatan, tapi karena terlalu sering digunakan untuk menggali sumur dan memperbaiki pagar desa. Sungguh, bahkan senjataku telah memilih jalan yang lebih sederhana.

     

    Di malam hari, ketika aula istana dipenuhi gelak tawa dan kisah-kisah kepahlawanan, aku lebih memilih untuk duduk di sudut tavern desa yang remang. Di sana, di antara aroma roti hangat dan bir murah, aku mendengarkan cerita-cerita yang tak akan pernah masuk dalam buku sejarah – tentang seorang ibu yang berjuang membesarkan anaknya sendirian, atau seorang petani tua yang masih bermimpi tentang panen yang melimpah di tengah kemarau panjang.

     

    Ada yang bilang ini adalah bentuk kelemahan – bagaimana seorang ksatria bisa lebih memilih untuk menghabiskan waktunya mendengarkan keluhan sepele penduduk desa? Tapi setelah bertahun-tahun menghunus pedang, aku mulai memahami bahwa keberanian memiliki banyak wajah. Terkadang dibutuhkan hati yang lebih kuat untuk duduk dan mendengarkan tangisan seorang anak yang kehilangan ayahnya, dibanding menghadapi sepuluh musuh bersenjata.

     

    Setiap pagi, ketika aku mengenakan baju zirah yang semakin berat ini, aku merasakan beban yang jauh lebih dalam – beban pengetahuan bahwa hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, aku akan kembali mengecewakan ekspektasi tentang bagaimana seharusnya seorang ksatria bertindak. Alih-alih berlatih teknik pedang atau berburu monster, aku akan menghabiskan hariku membantu seorang nenek memperbaiki atap rumahnya yang bocor, atau mengajar anak-anak desa membaca tulisan kuno.

     

    Namun di tengah semua keraguan dan kelelahan jiwa ini, aku menemukan jenis kedamaian yang aneh. Mungkin ini adalah bentuk penerimaan yang menyedihkan, atau mungkin ini adalah kebijaksanaan yang datang terlambat. Ketika aku melihat senyum tulus di wajah mereka yang kubantu – bukan senyum kagum atau pemujaan seperti yang diterima ksatria-ksatria agung, tapi senyum hangat penuh rasa terima kasih – aku menemukan jenis kemuliaan yang berbeda.

     

    Tapi di malam-malam yang paling gelap, ketika kesunyian menelan kamarku dan bayangan di cermin terlihat semakin kabur, aku masih bertanya-tanya… Apakah semua ini memiliki arti? Apakah jejak-jejak kecil kebaikan yang kutinggalkan ini akan bertahan lebih lama dari batu nisan yang akan mengukir namaku? Atau akankah aku hanya menjadi salah satu dari ribuan ksatria tanpa nama yang tenggelam dalam ketidakberartian sejarah, yang kebaikannya terlalu biasa untuk dikenang?

     

    Dan mungkin, pertanyaan yang lebih menakutkan adalah… apakah aku masih peduli dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu? Karena setiap kali aku melihat seorang anak kecil berlari dengan riang setelah aku membantunya menemukan kucing peliharaannya yang hilang, atau ketika seorang petani tua menepuk pundakku dengan bangga setelah kami berhasil memperbaiki gerobaknya yang rusak, aku merasakan jenis kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan semua kemuliaan dan ketenaran di dunia.

     

    Suatu pagi, ketika aku sedang membantu seorang petani muda memperbaiki pagar kandang domba, seorang utusan kerajaan datang mencariku. Dengan gulungan surat resmi berornamen emas di tangannya, dia menyampaikan berita yang mengejutkan: aku ditunjuk sebagai pengawal pribadi sang putri.

     

    Awalnya kukira ini adalah semacam lelucon. Bagaimana mungkin seorang ksatria sepertiku—yang lebih sering terlihat bermain dengan anak-anak desa daripada berlatih pedang—dipilih untuk tugas sepenting ini? Namun ketika kubaca surat itu, dengan stempel kerajaan yang tak mungkin dipalsukan, kenyataan mulai menghantamku.

     

    Hari pertama bertugas, aku menemukan diriku berhadapan dengan sosok yang sangat berbeda dari bayangan tentang putri kerajaan dalam dongeng-dongeng. Dia adalah tornado energi yang dibungkus gaun sutra, dengan tawa yang bisa menggema di seluruh koridor istana dan rasa ingin tahu yang tak pernah padam.

     

    “Kenapa kau selalu terlihat tegang?” tanyanya suatu hari, kepalanya miring ke samping dengan cara yang mengingatkanku pada burung kecil yang penasaran. “Bukankah lebih menyenangkan kalau kita bisa berteman?”

     

    Aku hanya bisa membungkuk sopan dan menjawab dengan formal, “Maaf, Yang Mulia. Saya di sini untuk melindungi Anda, bukan untuk berteman.” Tapi bahkan saat mengucapkannya, aku bisa merasakan topeng profesionalku mulai retak.

     

    Setiap hari adalah pergulatan batin. Di satu sisi, ada protokol dan etika yang harus kupatuhi—jarak yang harus kujaga, formalitas yang harus kupertahankan. Tapi di sisi lain, bagaimana mungkin aku tetap kaku ketika dia terus-menerus mencairkan pertahananku dengan ketulusan dan kehangatan yang tak dibuat-buat?

     

    Dia akan menceritakan mimpi-mimpinya dengan mata berbinar, tentang ingin melihat dunia di luar tembok istana, tentang keinginannya untuk memahami kehidupan rakyat biasa. Dan aku, yang telah menghabiskan tahun-tahun hidupku di antara orang-orang sederhana itu, harus menahan diri untuk tidak larut dalam percakapan panjang tentang kehidupan desa yang kurindukan.

     

    “Kudengar kau sering membantu penduduk desa,” katanya suatu sore, saat kami berjalan di taman istana. “Ceritakan padaku tentang mereka.” Dan sebelum aku sadar, aku sudah bercerita tentang nenek tua yang membuat roti terenak di desa, tentang anak-anak yang ku ajari membaca, tentang petani-petani tangguh yang tak pernah menyerah meski musim kemarau berkepanjangan.

     

    Semakin hari, aku menemukan diriku semakin sulit mempertahankan tembok profesional yang seharusnya berdiri kokoh. Sang putri, dengan cara yang hampir ajaib, memiliki kemampuan untuk melihat menembus topeng ksatriaku dan menemukan jiwa lembut yang selama ini kusembunyikan di balik baju zirah.

     

    Dan mungkin itulah yang paling menakutkan—bukan ancaman fisik yang mungkin membahayakan sang putri, tapi bagaimana kehadirannya perlahan-lahan mengikis pertahanan yang telah kubangun selama bertahun-tahun. Karena bagaimana aku bisa menjadi pengawal yang efektif jika aku membiarkan diriku terlalu dekat, terlalu peduli?

     

    Namun setiap kali aku mencoba menjauh, setiap kali aku berusaha membangun kembali tembok profesional yang ku miliki, dia akan melakukan sesuatu yang membuatku teringat mengapa aku memilih jalan ksatria yang berbeda ini—karena pada dasarnya, aku percaya bahwa kebaikan hati dan kelembutan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan tersendiri.

     

    “Kau tahu,” Sang Putri berkata suatu sore, saat kami duduk di balkon istana menghadap matahari terbenam. “Ada sebuah perpustakaan ajaib yang kadang muncul di tempat-tempat tak terduga.”

     

    Aku menoleh, tertarik dengan nada misterius dalam suaranya. “Perpustakaan ajaib?”

     

    “Mmm,” dia mengangguk, matanya menerawang jauh. “Aku pertama kali menemukannya saat aku masih kecil, tersembunyi di balik pintu gudang tua istana. Tapi ketika aku kembali keesokan harinya, yang kutemukan hanya gudang biasa penuh debu.”

     

    “Mungkin itu hanya… imajinasi masa kecil?” tanyaku hati-hati.

     

    Dia menggeleng keras. “Tidak, tidak. Aku melihatnya lagi beberapa kali. Di lorong tersembunyi taman istana, di balik lemari bukuku, bahkan pernah di dapur istana! Tapi tak pernah di tempat yang sama dua kali.”

     

    “Seperti apa perpustakaan itu?” Aku mulai tertarik dengan ceritanya.

     

    “Oh, itu tempat yang menakjubkan!” Matanya berbinar. “Rak-rak buku setinggi langit, lampu-lampu antik yang memancarkan cahaya hangat, dan aroma… aroma yang tak bisa dijelaskan. Seperti campuran kertas tua, tinta segar, dan sesuatu yang… magis.”

     

    “Dan kau yakin ini bukan mimpi?”

     

    Dia merogoh saku gaunnya dan mengeluarkan secarik kertas usang. “Ini buktinya. Aku menemukannya terjatuh dari salah satu buku di sana.”

     

    Aku mengambil kertas itu dengan hati-hati. Di atasnya tertulis kata-kata dalam tulisan tangan yang elegan: “Setiap cerita memiliki kehidupannya sendiri. Beberapa hanya menunggu untuk ditemukan.”

     

    “Dan yang paling aneh,” lanjutnya dengan suara pelan, “ada seseorang di sana. Seorang pria yang selalu duduk di antara tumpukan buku, membaca seolah waktu tak berarti apa-apa. Aku menyebutnya Sang Penulis.”

     

    “Apakah dia berbicara denganmu?”

     

    “Tidak pernah langsung. Dia hanya tersenyum dan terus membaca. Tapi kadang… kadang aku merasa dia tahu sesuatu. Sesuatu yang penting.”

     

    Keheningan menyelimuti kami sejenak. Matahari hampir sepenuhnya tenggelam sekarang, menyisakan jejak-jejak merah di langit.

     

    “Maukah kau menemaniku mencarinya?” tanyanya tiba-tiba. “Perpustakaan itu. Aku… aku selalu ingin memiliki seseorang yang bisa membuktikan bahwa aku tidak gila, bahwa tempat itu nyata.”

     

    Aku menatap matanya yang penuh harap. Sebagai pengawal, seharusnya aku menolak ide untuk berkeliaran mencari perpustakaan misterius. Tapi ada sesuatu dalam caranya bercerita yang membuatku percaya.

     

    “Tentu,” jawabku akhirnya. “Aku akan menemanimu.”

     

    Senyumnya merekah seperti fajar. “Berjanji?”

     

    “Aku berjanji,” kataku, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa janjiku sebagai ksatria bukan hanya tentang melindungi, tapi juga tentang berbagi petualangan.

     

    “Bagus!” Dia berdiri dengan semangat. “Karena aku punya firasat perpustakaan itu akan muncul lagi malam ini. Ada pintu tua di menara timur yang belum pernah kuperiksa…”

     

    Aku mengikutinya berdiri, tersenyum melihat semangatnya. Mungkin ini bukan jenis tugas yang biasa dilakukan seorang ksatria pengawal, tapi sejak kapan aku menjadi ksatria yang biasa?

     

    Malam itu, kami baru saja meninggalkan sebuah desa kecil di perbatasan ketika bulan purnama mulai mengintip dari balik awan gelap. Suara derap kaki kuda kami bergema pelan di antara pepohonan hutan yang rapat. Sang Putri berkuda di tengah rombongan, dikelilingi oleh empat pengawal terbaikku.

     

    Keheningan yang tidak wajar tiba-tiba menyelimuti hutan. Bahkan jangkrik pun berhenti berderik. Tanganku secara naluriah menggenggam gagang pedang lebih erat. Sesuatu sedang mengintai kami.

     

    Mereka menyerang tanpa peringatan. Belasan sosok berbaju hitam melesat dari balik bayangan pohon, bergerak dengan kecepatan dan presisi yang hanya dimiliki oleh pembunuh terlatih. Pedang-pedang mereka berkilat dalam cahaya bulan yang redup.

     

    “FORMASI PERTAHANAN!” teriakku lantang, menarik pedang dari sarungnya. Para pengawal bergerak cepat membentuk lingkaran di sekeliling Sang Putri. Udara dipenuhi suara denting logam bertemu logam saat pertempuran dimulai.

     

    Dua pembunuh menyerangku secara bersamaan. Yang pertama menyabetkan pedangnya ke arah leherku sementara yang kedua mengincar kakiku. Aku melompat ke samping, membiarkan pedang mereka beradu satu sama lain, sebelum melancarkan serangan balik yang membuat salah satu dari mereka terhuyung mundur dengan luka dalam di bahunya.

     

    Tapi mereka bukan pembunuh bayaran biasa. Gerakan mereka terkoordinasi dengan sempurna, seolah telah melatih skenario ini ratusan kali. Satu per satu pengawalku mulai kewalahan. Darah mengalir di tanah hutan yang lembab.

     

    “Di belakangmu!” Suara Sang Putri membelah kegelapan. Aku berbalik tepat waktu untuk melihat seorang pembunuh melompat dari dahan pohon, belati teracung ke arahnya. Tanpa pikir panjang, aku melemparkan diriku ke depan, pedangku bertemu dengan belatinya dalam dentuman keras yang menggema.

     

    Pertarungan semakin sengit. Keringat mengucur di wajahku, bercampur dengan darah dari luka gores di pelipisku. Para pembunuh ini seperti tidak ada habisnya – untuk setiap orang yang kami jatuhkan, dua yang lain muncul dari kegelapan.

     

    “Mereka mengincar Yang Mulia!” teriakku pada sisa pengawal yang masih berdiri. “Perketat formasi! Jangan biarkan mereka mendekati tengah!”

     

    Di tengah kekacauan itu, aku mendengar ringkikan kuda yang ketakutan dan suara tubuh berat terjatuh. Dua pengawalku telah tumbang. Yang tersisa hanya aku dan seorang pengawal muda. Kami berdua berdiri membelakangi kuda Sang Putri, pedang terangkat dalam posisi siaga.

     

    Para pembunuh membentuk lingkaran di sekeliling kami, bergerak perlahan seperti serigala mengepung mangsa. Dalam cahaya bulan yang temaram, aku bisa melihat kilatan dingin di mata mereka. Mereka tahu kami mulai kelelahan.

     

    “Serahkan putri itu,” salah satu dari mereka berkata dengan suara serak, “dan kalian bisa pergi dengan nyawa kalian.”

     

    Aku menggenggam pedangku lebih erat, merasakan darah mengalir turun dari luka di lengan kiriku. “Selama aku masih bernapas,” jawabku dengan suara rendah dan berbahaya, “tak seorang pun akan menyentuhnya.”

     

    Mereka menyerang secara serentak dari segala arah. Pedangku bergerak dalam tarian mematikan, menangkis dan menyerang dalam gerakan yang telah kulatih ribuan kali. Di sampingku, pengawal muda itu bertarung dengan keberanian yang membuatku bangga.

     

    Tiba-tiba, tiga pembunuh menyerang secara bersamaan. Aku berputar menghindari yang pertama, pedangku menangkis serangan yang kedua, tapi yang ketiga berhasil mendaratkan sayatan di punggungku. Rasa perih menyengat, tapi adrenalin membuatku tetap fokus.

     

    Sang Putri tiba-tiba berteriak peringatan. Aku menoleh untuk melihat seorang pembunuh telah berhasil memanjat pohon di atas kami, bersiap melompat ke arah kudanya. Dengan gerakan kilat, aku melemparkan belati cadanganku. Pembunuh itu terjatuh dengan belati tertancap di dadanya.

     

    Namun kemenangan kecil ini dibayar mahal. Saat perhatianku teralih, dua pembunuh berhasil melukai pengawal muda di sampingku. Dia terjatuh berlutut, darah mengucur dari luka di pahanya. “Pergi…” dia tersengal. “Bawa Yang Mulia pergi…”

     

    Aku menggeleng keras, menangkis serangan bertubi-tubi yang datang dari segala arah. “Bertahanlah!” teriakku, sambil terus bergerak dalam formasi defensif yang semakin menyempit.

     

    Para pembunuh mulai mengubah taktik. Mereka bergerak dalam pola yang lebih kompleks, berusaha memecah konsentrasiku. Satu serangan nyaris mengenai leherku, hanya meleset beberapa mili. Balasanku mengenai bahunya, tapi serangannya membuka celah bagi yang lain untuk menyerang.

     

    Sang Putri tidak tinggal diam. Dengan keberanian yang mengagumkan, dia menggunakan busur kecil yang selalu dibawanya, melepaskan anak panah ke arah para penyerang. Dua pembunuh tumbang, tapi yang lain semakin gencar menyerang.

     

    “Mundur ke arah sungai!” perintahku, mengambil keputusan cepat. Pengawal muda itu masih bertahan, meski wajahnya semakin pucat. Kami bergerak perlahan, mempertahankan formasi sambil mundur.

     

    Pertarungan semakin brutal. Tanganku mulai gemetar karena kelelahan, tapi aku tidak bisa menyerah. Setiap serangan yang kutangkis terasa semakin berat. Darah dari luka-lukaku mulai mempengaruhi pegangan pada pedang.

     

    Tiba-tiba, suara terompet berburu terdengar dari kejauhan. Para pembunuh terlihat ragu sejenak. Itu sinyal dari pasukan kerajaan! Bantuan sedang dalam perjalanan.

     

    Namun sebelum bantuan tiba, kami harus bertahan. Lima orang menyerang sekaligus dari berbagai arah. Aku berputar, menebas, dan menangkis dalam gerakan yang hampir tidak kusadari. Pedangku menari dalam putaran maut, memotong udara dan daging tanpa pandang bulu.

     

    Ketika derap kaki kuda pasukan kerajaan terdengar semakin dekat, para pembunuh akhirnya mundur, menghilang ke dalam kegelapan hutan secepat kemunculan mereka. Mereka meninggalkan enam rekan mereka tewas dan beberapa lainnya terluka parah.

     

    Aku jatuh berlutut, napas tersengal. Darah mengalir dari setidaknya lima luka di tubuhku. Pengawal muda itu masih hidup, meski kesadarannya mulai menghilang. Sang Putri segera turun dari kudanya, bergegas menghampiri kami dengan wajah cemas.

     

    “Kalian berdua…” bisiknya, air mata menggenang di matanya. “Kalian menyelamatkan nyawaku.”

     

    Aku mencoba tersenyum, meski rasanya seperti seluruh tubuhku terbakar. “Ini… sudah menjadi tugas kami, Yang Mulia.” Suaraku serak dan lemah.

     

    Pasukan kerajaan tiba beberapa saat kemudian, membawa tabib dan bantuan medis. Malam itu, kami semua selamat berkat kerja sama dan pengorbanan setiap orang. Sang Putri aman, dan itu adalah hal yang terpenting.

     

     

    Upacara penghargaan berlangsung dengan megah di aula utama istana. Raja memberikan medali kehormatan kepadaku dan pengawal muda yang selamat, memuji keberanian dan pengabdian kami. Tapi di balik kemegahan itu, aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

     

    Beberapa hari kemudian, aku dipanggil ke ruang pribadi Raja. Dengan nada yang dibuat-buat formal, dia memberitahuku bahwa tugasku sebagai pengawal pribadi Putri telah selesai. “Kau telah melakukan tugasmu dengan baik,” katanya, “tapi kami merasa Putri membutuhkan… pengaturan keamanan yang berbeda.”

     

    Aku tahu ini bukan tentang kemampuanku. Ada politik istana yang bermain di balik keputusan ini. Mungkin karena aku terlalu dekat dengan Sang Putri, atau mungkin karena kesetiaanku yang lebih condong kepadanya daripada kepada Raja. Apapun alasannya, aku harus menerima keputusan itu.

     

    Selama berminggu-minggu setelahnya, aku mencoba mencari cara untuk bertemu dengan Sang Putri. Ada hal-hal yang perlu kusampaikan, informasi tentang serangan itu yang kudapatkan dari penyelidikanku sendiri. Tapi setiap kali aku mencoba mendekati sayap istana tempat dia tinggal, selalu ada pengawal baru yang menghalangi.

     

    Ketika akhirnya aku berhasil melihatnya di taman istana, dia berpaling dan berjalan ke arah lain. Sikapnya yang dingin membuatku bingung. Apakah dia marah karena aku tidak lagi menjadi pengawalnya? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang tidak kutahu?

     

    Semakin hari, jarak di antara kami semakin lebar. Sang Putri yang dulu begitu bersemangat berbagi cerita denganku kini seperti orang asing. Setiap kali mata kami bertemu di koridor istana, dia akan segera mengalihkan pandangan, seolah kehadiranku menyakitinya.

     

    Suatu malam, aku berhasil menyelipkan surat di bawah pintu kamarnya. Surat yang berisi semua yang ingin kusampaikan – tentang konspirasi yang kutemukan, tentang bahaya yang mungkin masih mengancamnya. Tapi keesokan harinya, surat itu kembali ke tanganku dalam keadaan masih tersegel.

     

    Hatiku hancur, tapi aku masih tidak menyerah. Sebagai ksatria, kesetiaanku bukan pada medali atau gelar, tapi pada sumpah yang telah kuucapkan untuk melindunginya. Meski kini aku hanya bisa mengawasinya dari jauh, aku tetap akan menjaga sumpah itu – bahkan jika dia tidak menginginkannya.

     

     

    Hari-hari berlalu dengan lambat di istana. Setiap pagi, aku masih menjalankan tugasku sebagai ksatria kerajaan, berlatih dengan prajurit lain dan mengawasi keamanan istana. Tapi mataku selalu mencari sosoknya, meski dari kejauhan.

     

    Suatu sore yang cerah, langkahku membawaku ke menara barat istana. Dari sini, aku bisa melihat taman mawar yang menjadi tempat favorit Sang Putri. Saat itulah aku melihatnya – dia tidak sendirian.

     

    Seorang pria muda dengan pakaian mewah berjalan di sampingnya. Dari lambang di jubahnya, aku mengenalinya sebagai Pangeran dari Kerajaan Utara. Mereka berjalan berdampingan di antara mawar-mawar yang bermekaran, dan untuk pertama kalinya sejak berminggu-minggu, aku melihat Sang Putri tersenyum.

     

    Tawanya mengalun di udara sore, jernih dan bahagia, saat Sang Pangeran membisikkan sesuatu di telinganya. Tangannya yang mungil berada dalam genggaman sang pangeran, dan wajahnya berseri-seri dengan cara yang sudah lama tidak kulihat.

     

    Hatiku terasa berat, tapi anehnya ada kedamaian yang menyusup masuk. Mungkin inilah alasan di balik semua yang terjadi. Mungkin keputusan Raja untuk menjauhkanku bukan hanya tentang politik – tapi juga tentang masa depan putrinya.

     

    Aku mengamati mereka untuk beberapa saat lagi, menyaksikan bagaimana Sang Putri tampak begitu hidup dan bebas. Tidak ada beban di bahunya, tidak ada ketakutan di matanya. Hanya ada kebahagiaan murni yang terpancar dari setiap gerak-geriknya.

     

    Perlahan, aku melangkah mundur dari jendela. Sumpahku untuk melindunginya akan tetap kujaga, tapi mungkin cara terbaik untuk melakukannya sekarang adalah dengan membiarkannya bahagia – meski kebahagiaannya bukan bersamaku.

     

    Malam itu, aku memutuskan untuk meninggalkan istana. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sini, dan setiap hari yang kuhabiskan hanya menambah luka di hatiku. Aku mengemas barang-barangku – beberapa helai pakaian, pedang kesayanganku, dan medali kehormatan yang kuterima – lalu berjalan menuju pintu gerbang timur istana.

     

    Namun saat aku membuka pintu yang seharusnya mengarah ke halaman istana, pemandangan yang menyambutku sangat berbeda. Alih-alih udara malam yang dingin, aku disambut oleh kehangatan cahaya temaram dan aroma kertas tua. Aku mengerjapkan mata, tidak yakin dengan apa yang kulihat.

     

    Di hadapanku terbentang sebuah perpustakaan kecil namun menawan. Rak-rak buku tinggi menjulang hingga ke langit-langit, dipenuhi dengan buku-buku dalam berbagai ukuran dan warna. Lampu-lampu antik menggantung di sela-sela rak, menciptakan suasana hangat dan misterius.

     

    Aku melangkah masuk dengan ragu, pedangku siap di tangan. Tapi tempat ini tidak terasa mengancam – justru sebaliknya, ada sesuatu yang mengundang, seolah perpustakaan ini telah menungguku sejak lama.

     

    Jemariku menyusuri punggung buku-buku tua saat aku berjalan di antara rak. Judul-judul yang asing dalam berbagai bahasa terukir dalam tinta emas dan perak. Hingga akhirnya, mataku tertuju pada sebuah buku tebal bersampul kulit berwarna merah tua.

     

    Tanpa sadar, tanganku terulur dan menarik buku itu. Saat kubuka, halaman pertamanya membuatku tertegun. Di sana, dengan tulisan tangan yang rapi, tertulis sebuah kisah yang sangat kukenal – kisahku sendiri.

     

    “Hari itu, seorang ksatria muda berdiri di hadapan Raja, mengucapkan sumpah untuk melindungi Sang Putri dengan nyawanya…”

     

    “Aku tidak akan melanjutkan membaca jika aku jadi kau. Kecuali kau ingin mati, tentu saja.”

     

    Aku tersentak, hampir menjatuhkan buku itu ketika sebuah suara malas memecah keheningan.

     

    Aku menoleh ke arah suara itu. Di sana, bersandar pada salah satu rak buku dengan sikap acuh tak acuh, berdiri seorang pria berusia sekitar tiga puluhan. Rambut abu-abunya berantakan, dan kantung mata hitam di bawah matanya menunjukkan seseorang yang jarang tidur—atau mungkin memang tidak peduli untuk tidur. Dia menguap lebar, seolah kehadiranku di sana adalah hal yang paling membosankan yang pernah dia temui.

     

    “Siapa—”

     

    “Sang Penulis,” potongnya dengan nada malas, bahkan sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku. “Dan sebelum kau memperkenalkan diri, biar kuberitahu bahwa aku sudah tahu siapa kau, dan sejujurnya, aku tidak terlalu peduli.”

     

    Dia mengambil sebuah buku dari rak terdekat dan mulai membalik-balik halamannya dengan gerakan acuh. “Yang perlu kau tahu hanyalah bahwa membaca kisahmu sendiri secara lengkap bisa berakibat fatal. Sesuatu tentang paradoks eksistensial atau semacamnya. Aku tidak ingat detailnya, terlalu merepotkan untuk dijelaskan.”

     

    “Katakan padaku,” ujar Sang Penulis sambil menutup bukunya dengan suara pelan, “apa yang membuatmu sampai di perpustakaanku ini?”

     

    Aku masih berdiri di tempatku, mencoba mencerna situasi yang terjadi. “Aku… aku seharusnya sedang meninggalkan istana.”

     

    “Ah, kisah klasik tentang ksatria dan putri,” dia menguap lebar. “Selalu ada cinta yang tak tersampaikan, pengkhianatan, dan politik istana. Tapi kurasa ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin kau ceritakan.”

     

    “Apa maksudmu?”

     

    “Setiap orang yang sampai ke perpustakaanku memiliki kisah yang belum selesai. Cerita yang masih menggantung. Kebenaran yang ingin diungkapkan.” Dia mengambil buku lain dari tumpukan di sampingnya. “Jadi, apa kisahmu?”

     

    Aku terdiam sejenak, merasakan beban dari semua yang telah terjadi. “Aku… aku tidak yakin harus mulai dari mana.”

     

    “Mulailah dari apa yang mengganggumu. Dari lubuk hatimu yang paling dalam.”

     

    Kata-katanya seolah membuka pintu yang selama ini kukunci rapat. “Aku merasa ada yang tidak beres dengan serangan itu. Dengan cara aku disingkirkan. Dengan sikap Sang Putri yang tiba-tiba berubah.” Suaraku mulai bergetar. “Seolah ada tangan-tangan tersembunyi yang mengatur semuanya.”

     

    “Dan kau ingin tahu kebenarannya?”

     

    “Ya… tidak… entahlah.” Aku menggeleng frustasi. “Mungkin yang kuinginkan hanya kesempatan untuk berbicara dengannya sekali lagi. Untuk memahami mengapa semua berubah begitu drastis.”

     

    Sang Penulis mengangguk pelan. “Kau tahu, setiap kisah memiliki banyak sudut pandang. Mungkin yang kau lihat sebagai pengkhianatan, bagi orang lain adalah pengorbanan. Yang kau anggap sebagai kedinginan, mungkin sebenarnya adalah bentuk perlindungan.”

     

    “Maksudmu… Sang Putri mungkin memiliki alasannya sendiri?”

     

    “Aku tidak bisa memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi,” dia mengangkat bahu. “Tapi aku bisa membantumu melihat kisahmu dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin dengan begitu, kau bisa menemukan kedamaian dengan ending yang tidak kau harapkan.”

     

    Aku duduk di salah satu kursi kayu, merasakan beban di bahuku sedikit terangkat. “Bagaimana caranya?”

     

    “Ceritakan padaku lebih detail. Tentang hari-hari sebelum serangan itu. Tentang interaksimu dengan Sang Putri. Tentang tanda-tanda yang mungkin kau lewatkan karena terlalu fokus pada tugasmu sebagai pengawal.”

     

    Dan begitulah, di perpustakaan yang hangat itu, aku mulai membuka lembar demi lembar kenangan yang selama ini kusimpan. Tentang bagaimana Sang Putri sering terlihat murung setelah pertemuan dengan para penasihat kerajaan. Tentang bisikan-bisikan yang sempat kudengar tentang ancaman perang dari Kerajaan Utara. Tentang surat-surat rahasia yang sering diantarkan di tengah malam.

     

    Sang Penulis mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk atau mengajukan pertanyaan yang membuatku melihat kejadian-kejadian itu dari perspektif baru. Perlahan, seperti puzzle yang mulai tersusun, aku mulai memahami gambaran yang lebih besar.

     

    “Jadi menurutmu… pernikahannya dengan Pangeran dari Kerajaan Utara…”

     

    “Adalah jalan yang dipilih untuk mencegah perang,” Sang Penulis melengkapi kalimatku. “Dan sikapnya yang dingin padamu…”

     

    “Untuk melindungiku,” bisikku, akhirnya memahami. “Karena kedekatanku dengannya bisa membahayakan perjanjian damai itu.”

     

    Sang Penulis tersenyum tipis. “Terkadang, kisah cinta terbesar adalah ketika kita cukup mencintai untuk melepaskan.”

     

    Air mata yang selama ini kutahan akhirnya jatuh. Bukan air mata kesedihan atau kemarahan, tapi air mata pemahaman dan penerimaan. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”

     

    “Itu tergantung padamu,” jawab Sang Penulis, bangkit dari duduknya. “Kau bisa memilih untuk tetap terjebak dalam kisah yang sama, atau kau bisa memulai babak baru. Menulis halaman baru dalam hidupmu.”

     

    “Tapi bagaimana caranya?”

     

    “Ah, itu adalah pertanyaan yang harus kau jawab sendiri.”

     

    Sang Penulis menjentikkan jarinya dengan gerakan malas, dan tiba-tiba sebuah pintu kayu tua muncul di antara dua rak buku. Pintunya sederhana namun elegan, dengan ukiran-ukiran halus yang tampak bergerak-gerak di bawah cahaya temaram perpustakaan.

     

    “Pintu ini akan membawamu kembali,” ujar Sang Penulis, suaranya kini lebih dalam dan penuh makna. “Kembali ke tempat di mana kau harus menghadapi segalanya. Bukan sebagai pelarian, bukan sebagai pengamat, tapi sebagai seseorang yang akhirnya berani melihat kebenaran dalam segala bentuknya.”

     

    Aku melangkah perlahan mendekati pintu itu, merasakan setiap detak jantungku yang semakin cepat. Tanganku terulur ke arah gagang pintu yang terbuat dari kuningan, permukaannya dingin di bawah sentuhanku. Ukiran-ukiran halus di permukaannya seolah bergerak, membentuk pola-pola yang mengingatkanku akan hari-hari yang telah berlalu di istana.

     

    “Tunggu,” Sang Penulis bangkit dari posisinya, suaranya mengandung urgensi yang belum pernah kudengar sebelumnya. “Ada yang perlu kau pahami sepenuhnya. Begitu pintu itu terbuka, tidak ada lagi keajaiban yang bisa kau harapkan. Tidak ada perpustakaan ajaib yang bisa kau kunjungi, tidak ada penulis misterius yang bisa memberimu pencerahan. Yang ada hanyalah realitas—keras, dingin, dan tak kenal kompromi.”

     

    Dia melangkah mendekat, matanya menatap langsung ke mataku. “Kau harus menghadapi segalanya—setiap konsekuensi dari pilihanmu, setiap rasa sakit yang kau hindari, setiap kebenaran yang kau sangkal. Dan yang terpenting, kau tidak bisa lagi menyimpan semuanya sendirian dalam hatimu yang terluka itu.”

     

    Kata-katanya menggema dalam pikiranku, membangkitkan ribuan kenangan dan emosi yang selama ini kucoba kubur dalam-dalam. Tanganku yang masih menyentuh gagang pintu bergetar pelan, tapi kali ini bukan karena ragu. Ada tekad baru yang tumbuh dalam diriku—tekad untuk akhirnya menghadapi segala yang telah kuhindari.

     

    “Aku mengerti,” jawabku, suaraku lebih mantap dari yang kuduga. “Aku siap menghadapi apapun yang menanti di balik pintu ini. Bahkan jika itu berarti kehancuran diriku sendiri.”

     

    Sang Penulis mengangguk perlahan, sebuah senyum samar terlihat di wajahnya. “Kalau begitu, bukalah pintunya. Dan ingat, terkadang kehancuran adalah awal dari pemahaman yang sejati.”

     

    Dengan satu tarikan napas dalam, aku memutar gagang pintu itu. Suara derit kayu tua memenuhi perpustakaan saat pintu terbuka, dan cahaya menyilaukan menyeruak masuk—begitu terang hingga aku harus memejamkan mata.

     

    Ketika sensasi silau itu mulai memudar, aku mencoba membuka mata. Namun sebelum bisa melihat dengan jelas, rasa sakit yang tajam dan dingin menusuk tubuhku. Aku mencoba bergerak, tapi tubuhku seolah membeku di tempat. Perlahan, dengan rasa ngeri yang merayap, aku menunduk dan melihatnya—ujung pedang yang berkilau menembus dadaku, darah merah pekat mengalir turun membasahi seragam ksatriaku.

     

    Aku mengenali pedang itu—ornamen khasnya, kilaunya yang dingin—pedang kebanggaan Pangeran dari Kerajaan Utara. Aku bisa merasakan kehadirannya di belakangku, napasnya yang tenang kontras dengan napasku yang mulai tersengal.

     

    Pandanganku mulai mengabur, tapi di tengah kabut yang semakin pekat itu, aku melihatnya dengan jelas—Sang Putri, berdiri beberapa langkah dariku. Wajahnya yang cantik kini tanpa ekspresi, matanya yang dulu selalu penuh kehangatan kini dingin menyaksikan detik-detik terakhirku.

     

    Anehnya, saat kesadaranku mulai menghilang, sebuah senyum lebar justru terukir di wajahku. Mungkin karena akhirnya aku memahami segalanya—pengkhianatan ini, politik istana, dan pengorbanan yang harus dilakukan demi kedamaian dua kerajaan. Atau mungkin karena akhirnya aku bisa melihat wajahnya untuk terakhir kali, meski tanpa kehangatan yang dulu selalu kurindukan.

     

    Dalam momen terakhir sebelum kegelapan menelanku sepenuhnya, aku berbisik pelan, “Setidaknya… aku mati… dengan pemahaman yang utuh.” Dan, senyum itu tetap di wajahku bahkan saat tubuhku ambruk ke lantai dingin istana.

     

     

    Di perpustakaan yang remang-remang, Sang Penulis duduk di belakang mesin tik antik, jari-jarinya menari di atas tuts dengan ritme yang konstan. Suara ketikan yang tajam bergema di antara rak-rak buku tinggi, bercampur dengan desah napas halus yang sesekali terdengar dari sosoknya yang terselubung bayangan.

     

    Di sudut ruangan, sebuah cahaya kemerahan berkedip-kedip samar—api kecil yang entah bagaimana muncul dari antara celah-celah buku. Aroma kertas terbakar mulai merayap di udara, tipis namun tak terbantahkan, seperti jejak kenangan yang berusaha dihapus.

     

    “Membosankan,” gumam Sang Penulis, menarik kertas dari mesin tik dengan gerakan kasar. “Terlalu… konvensional. Pengawal setia, putri yang terpaksa mengkhianati, politik kerajaan…” Dia mendengus pelan, mengamati tulisan di kertas itu dengan mata setengah terpejam. “Kisah seperti ini sudah terlalu sering ditulis. Terlalu mudah ditebak. Terlalu… aman.”

     

    Dengan gerakan santai namun penuh kepastian, dia melemparkan kertas itu ke arah cahaya kemerahan di sudut ruangan. Lembaran itu melayang sejenak di udara sebelum api menyambutnya dengan riang, melahap kata demi kata yang tercetak di sana. Kisah sang ksatria perlahan menghilang, berubah menjadi abu dan asap yang menari-nari di udara perpustakaan.

     

    “Mari kita lihat apa yang bisa kita tulis selanjutnya,” bisiknya pada diri sendiri, memasukkan kertas baru ke dalam mesin tik. “Sesuatu yang lebih… menarik.”

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Between The Pages Chapter 5

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021