KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Between The Pages Chapter 8

    Between The Pages Chapter 8

    BY 16 Apr 2025 Dilihat: 38 kali
    Between The Pages_alineaku

    CHAPTER 8 [The Writer’s Assistant]

    Aku menguap lebar sambil meraba-raba mencari kacamataku di atas meja. Sinar matahari yang menembus tirai tipis kamarku menandakan hari sudah cukup tinggi, tapi mataku masih terasa berat. Semalam, seperti biasa, aku terjaga hingga larut untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda.

     

    Dengan gerakan setengah sadar, aku menyeret kakiku ke kamar mandi. Air dingin yang membasuh wajahku perlahan membawa kesadaran, meski kantuk masih enggan sepenuhnya pergi. Rambut hitamku yang berantakan kubiarkan tergerai, terlalu malas untuk mengikatnya pagi ini.

     

    Sepanjang jalan menuju kantor percetakan, aku menyapa para warga yang kutemui. Seorang wanita tua yang sedang menyapu halaman rumahnya melambai ramah, sementara pemilik toko roti memberiku sebuah roti hangat dengan senyum yang hangat.

     

    “Selamat pagi!” sapa beberapa anak yang berpapasan denganku. Aku tersenyum dan mengangguk, meski dalam hati masih menggerutu tentang betapa tidak cerahnya pagi ini bagiku yang masih mengantuk.

     

    Begitu tiba di kantor percetakan, aku langsung disambut oleh tatapan tajam dari bos. “Kau salah memasukkan tanggal terbit di katalog kemarin,” ujarnya ketus, bahkan sebelum aku sempat mengucapkan selamat pagi.

     

    “Maaf, akan saya perbaiki segera.” jawabku pelan, berusaha tetap tersenyum meski hatiku mencelos. Kesalahan kecil seperti ini biasanya tidak akan jadi masalah, tapi sepertinya hari ini bukan hari keberuntunganku.

     

    Dari sudut mataku, aku bisa melihat dua rekan kerjaku berbisik-bisik di balik tumpukan kertas. “Kasihan ya, padahal cuma salah tanggal…” bisik yang satu. “Sepertinya mood bos sedang tidak bagus. Tadi pagi dia juga marah-marah soal kopi yang terlalu panas,” balas yang lain dengan suara pelan.

     

    Aku menghela napas panjang sambil duduk di kursiku. Pekerjaan di percetakan ini mungkin bukan yang paling menyenangkan, tapi setidaknya memberiku cukup waktu luang untuk membantu Sang Penulis di perpustakaannya. Memikirkan perpustakaan itu membuatku tersenyum kecil. Kadang aku bertanya-tanya apakah dia baik-baik saja di sana, sendirian dengan tumpukan buku-bukunya yang tak terhitung.

     

    “Ehem!”

     

    Suara keras di samping telingaku membuatku terlonjak kaget. Aku menoleh dan mendapati Rina, rekan kerjaku yang paling usil, sedang menyeringai lebar.

     

    “Siapa yang sedang kamu pikirkan sampai senyum-senyum sendiri begitu?” godanya sambil mencolek bahuku. “Pacar baru ya?”

     

    “Ah, bukan… bukan siapa-siapa,” elakku cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugup. “Hanya… mengingat sesuatu yang lucu.”

     

    “Masa, sih?” Rina mengangkat alisnya, jelas tidak percaya. “Aku perhatikan belakangan ini kamu sering melamun. Pasti ada apa-apanya.”

     

    Aku menggeleng, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Kamu sendiri sedang apa di sini? Bukannya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan?”

     

    “Nah, soal itu…” Rina tersenyum malu-malu, dan seketika aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. “Sebenarnya… aku mau minta tolong. Sepupuku datang hari ini, dan aku sudah janji akan menjemputnya di stasiun…”

     

    Aku menghela napas panjang. Sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. “Dan?”

     

    “Dan… mungkin kamu bisa membantuku menyelesaikan laporan katalog yang harus dikumpulkan sore ini?” Rina mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memasang ekspresi memohon yang sudah kupelajari untuk tidak dipercaya. “Kumohon? Aku janji akan mentraktirmu makan siang besok!”

     

    Aku menatap tumpukan kertas di mejaku sendiri yang sudah menggunung, lalu ke arah Rina yang masih memasang wajah memelas. Seharusnya aku menolak. Seharusnya aku bilang bahwa aku juga punya banyak pekerjaan. Tapi…

     

    “Baiklah,” aku menyerah, mengabaikan sorak kemenangan Rina. “Tapi kamu benar-benar harus mentraktirku besok.”

     

    “Kamu yang terbaik!” Rina memelukku sekilas sebelum bergegas mengambil tasnya. “Aku pergi dulu ya! Jangan lupa, deadline-nya jam empat sore!”

     

    Aku menggelengkan kepala melihat sosoknya yang menghilang di balik pintu. Entah bagaimana, aku selalu berakhir mengerjakan tugas orang lain. Mungkin aku memang terlalu baik… atau mungkin hanya tidak pandai menolak.

     

    “Haah… yasudahlah, mau bagaimana lagi?” Gerutuku pada diri sendiri

     

     

    Waktu berlalu dengan cepat sementara aku tenggelam dalam pekerjaan. Jari-jariku menari di atas keyboard, mengetik dan mengedit tanpa henti. Tumpukan dokumen di mejaku perlahan berkurang, tapi masih jauh dari selesai.

     

    “Hey, sudah jam pulang lho.”

     

    Suara itu membuatku tersentak. Aku mendongak dan melihat Pak Yanto, petugas kebersihan yang ramah, berdiri di samping mejaku dengan sapu di tangannya.

     

    “Ah, masih ada yang harus saya selesaikan…” jawabku sambil mengusap mata yang lelah.

     

    “Tidak ada lembur hari ini,” dia mengingatkan dengan senyum kebapakan. “Pulang dan istirahatlah. Besok masih ada waktu.”

     

    Sebelum aku sempat menjawab, Pak Yanto sudah berlalu, meninggalkanku sendirian di ruangan yang kini terasa terlalu sunyi. Dia benar, aku menyadari. Tubuhku sudah protes minta istirahat.

     

    Dengan helaan napas panjang, aku mulai membereskan meja kerjaku. Memasukkan berkas-berkas ke dalam laci, mematikan komputer, dan mengambil tas. Langkahku terasa berat ketika berjalan menuju pintu keluar.

     

    Namun begitu aku memutar kenop pintu dan mendorongnya terbuka, pemandangan yang menyambutku bukan lorong kantor yang familiar. Melainkan rak-rak buku tinggi yang sudah kukenal dengan baik, dan aroma kayu dan kertas tua yang khas.

     

    Di sana, duduk di kursi kayunya yang biasa, Sang Penulis mengangkat sebuah cangkir ke bibirnya. Uap kopi masih mengepul dari permukaan minuman itu ketika dia menghentikan gerakannya di tengah jalan, memberiku tatapan yang menyiratkan kebingungan serta keterkejutan yang samar.

     

    “Kupikir kau yang biasanya menggunakan pintu depan,” ujar Sang Penulis dengan nada malas, meletakkan cangkir kopinya. “Atau setidaknya, pintu manapun yang normal.”

     

    “Eh? Tapi… bukankah Anda yang membukakan pintu untukku?” tanyaku bingung, masih berdiri di ambang pintu yang kini menghubungkan kantor percetakan dengan perpustakaan.

     

    Sang Penulis mengangkat alisnya sedikit. “Bagaimana bisa aku membukakan pintu untukmu kalau aku bahkan tidak tahu di mana kau berada?” Dia mengambil sebuah buku dari tumpukan di sampingnya. “Aku bahkan tidak tahu apa yang kau lakukan di luar perpustakaan ini.”

     

    “Tapi… tapi…” Aku tergagap, berusaha mencerna situasi ini. “Aku hanya membuka pintu kantor seperti biasa…”

     

    “Hmm,” gumamnya, membalik halaman buku dengan gerakan santai. “Menarik. Sepertinya perpustakaan ini mulai mengambil inisiatif sendiri.” Dia berhenti sejenak, menatapku dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Yah, karena kau sudah di sini… Cerita apa yang ingin kau sampaikan hari ini?”

     

    Pertanyaan yang familiar itu membuatku tersadar. Ini adalah pertanyaan yang sama yang selalu dia ajukan kepada setiap ‘pengunjung’ perpustakaan. Hanya saja, kali ini nadanya sedikit berbeda—masih terdengar malas dan setengah acuh, tapi ada kelembutan samar yang tidak biasa.

     

    Aku menghela napas panjang, menggelengkan kepala. “Maaf, hari ini saya sedang tidak ingin bercerita. Ngomong-ngomong, apakah ada pengunjung hari ini? Rak mana saja yang perlu dirapikan?”

     

    Sang Penulis terdiam sejenak, matanya menatapku dengan cara yang membuatku tidak nyaman. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya berbicara, “Rak B3 perlu disusun ulang berdasarkan warna sampul. Oh, dan pindahkan semua buku dengan judul yang mengandung kata ‘malam’ di rak A7. Kecuali yang penulisnya lahir di bulan Agustus. Yang itu taruh di rak D1.”

     

    “Tapi…” aku tergagap. “Minggu lalu Anda meminta saya memindahkan semua buku dengan kata ‘malam’ di rak E5…”

     

    “Memang. Sekarang pindahkan lagi.” Dia menyesap kopinya dengan tenang. “Dan tolong catat semua buku yang memiliki halaman kelipatan tujuh. Tapi hanya yang diterbitkan antara tahun 1982 sampai 1997.”

     

    Sesuatu dalam diriku akhirnya patah.

     

    “Saya tidak bisa!” seruku tiba-tiba, mengejutkan kami berdua. “Saya lelah dengan semua ini! Di kantor, saya selalu berakhir mengerjakan tugas orang lain karena tidak bisa menolak. Rina selalu meminta bantuan dengan alasan yang sama, dan saya tahu itu hanya alasan! Bos selalu memarahi kesalahan kecil, tapi tidak pernah menghargai kerja keras saya!”

     

    “Di desa, semua orang mengharapkan saya membantu ini-itu. Nenek Yuni selalu meminta saya membantunya menyiram kebun, Pak Ranto selalu minta tolong mengajari anaknya matematika, bahkan tetangga baru yang baru pindah minggu lalu sudah meminta bantuan untuk renovasi rumah! Dan, saya… saya tidak bisa menolak! Saya tidak tega!”

     

    Air mata mulai menggenang di sudut mataku. “Dan, sekarang di sini… saya tahu perpustakaan ini penting, saya tahu pekerjaan ini berarti… tapi kadang-kadang instruksi Anda begitu… begitu membingungkan dan tidak masuk akal! Saya mencoba yang terbaik untuk memahami, tapi…”

     

    Suaraku pecah, dan aku menutupi wajah dengan kedua tangan. “Saya hanya ingin… sekali saja… bisa mengatakan ‘tidak’ tanpa merasa bersalah…”

     

    Keheningan yang menyusul terasa mencekik. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, keras dan tidak teratur, bercampur dengan isakan tertahan yang tidak bisa kukendalikan.

     

    “Maaf, saya…” Aku mulai berbicara, tapi kata-kataku terhenti ketika aku menurunkan tangan dari wajahku. Sang Penulis sudah berdiri tepat di hadapanku—sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebelum aku sempat bereaksi, dia menarikku ke dalam pelukannya.

     

    Aku membeku. Sang Penulis yang selalu terlihat acuh dan malas itu kini memelukku erat, meskipun tingginya hanya mencapai bahuku. Tangannya yang kecil mengelus kepalaku dengan lembut, sebuah gestur yang begitu kontras dengan sikapnya yang biasa.

     

    “Dasar bodoh!” gumamnya dengan nada yang masih terdengar malas dan setengah acuh, tapi ada kehangatan samar di dalamnya. “Kau tahu, kadang-kadang mengatakan ‘tidak’ itu perlu. Bukan untuk menyakiti orang lain, tapi untuk melindungi dirimu sendiri.” Dia menghela napas. 

     

    “Dan, soal perpustakaan ini… yah, memang instruksi dariku tidak masuk akal. Tapi, bukankah hidup sendiri terkadang tidak masuk akal?”

     

    Air mataku mengalir semakin deras, membasahi pakaiannya, tapi dia tidak protes. Dia hanya terus mengelus kepalaku dengan gerakan monoton yang anehnya menenangkan.

     

    Tiba-tiba, dalam keheningan yang menyelimuti kami, Sang Penulis mulai berbicara dengan suara yang berbeda—sebuah nada yang belum pernah kudengar sebelumnya. Suaranya mengalun seperti musik yang lembut:

     

    “Di antara rak buku yang menanti, Di balik lembar yang tak terhenti, Ada kisah yang harus diakui, Ada kata yang harus dimengerti.

     

    Kita semua penjaga cerita lama, Tapi siapa yang menjaga sang penjaga? Saat malam membawa derita, Dan beban berat tak tertanggung juga.

     

    Biarlah diri dalam sunyi terlelap, Biarkan air mata mengalir tetap, Bagai hujan yang jatuh meresap, Agar bunga mekar indah lengkap.

     

    Dan saat mentari datang bersinar, Kau temukan kekuatan yang mengakar, Untuk berkata ‘ya’ pada diri mekar, Sebelum ‘ya’ pada yang lain beredar.”

     

    Setelah bait terakhir mengalun, Sang Penulis kembali terdiam. Dia tidak memberikan penjelasan apa-apa, tidak juga melepaskan pelukannya. Kami berdua tenggelam dalam keheningan yang menenangkan, ditemani detak jam tua dan aroma kertas yang familiar.

     

    Entah berapa lama kami berdiri seperti itu, tapi untuk pertama kalinya sejak aku mulai bekerja di perpustakaan ini, aku merasa benar-benar damai.

     

    Perlahan, kantuk mulai menyerangku. Pelukan yang hangat dan keheningan yang menenangkan ini membuat mataku terasa berat. Aku mencoba melawan, tapi tubuhku yang lelah akhirnya menyerah pada rasa kantuk yang menyelimuti.

     

    Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku berbaring di atas sofa tua yang biasa kulihat di sudut perpustakaan. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhku, dan ada bantal empuk di bawah kepalaku. Sang Penulis duduk di kursi kayu tak jauh dariku, matanya terfokus pada buku di tangannya.

     

    “Sudah bangun?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya. “Perpustakaan sudah ku atur agar tidak terpengaruh waktu. Jadi…” dia mengangkat bahu dengan malas, “…tidak perlu terburu-buru.”

     

    Aku mengerjapkan mata, mencoba mencerna kata-katanya. “Tapi… bukankah ada banyak yang harus dikerjakan? Rak-rak yang perlu disusun…”

     

    “Hmm,” dia bergumam, masih tidak menatapku. “Perpustakaan ini sudah ada sejak sebelum waktu ada. Kurasa beberapa jam istirahat tidak akan membuatnya runtuh.”

     

    Sesuatu dalam diriku bergerak. Sebuah keberanian kecil yang selama ini tertidur. “Kalau begitu…” aku menarik napas dalam-dalam, “…bolehkah saya tidur sebentar lagi? Saya… saya benar-benar lelah.”

     

    Untuk pertama kalinya sejak aku terbangun, Sang Penulis mengalihkan pandangannya dari buku. Alisnya terangkat sedikit, dan ada kilat geli di matanya. “Oh? Bukankah ini menarik? Asisten yang selalu rajin ini akhirnya memilih untuk bermalas-malasan?”

     

    “Saya tidak bermalas-malasan!” protesku lemah. “Saya hanya… mengikuti saran Anda untuk menjaga diri sendiri.”

     

    Sang Penulis mendengus pelan, tapi ada senyum samar di sudut bibirnya. “Yah, yah… terserah. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti kau harus menyusun ulang seluruh perpustakaan berdasarkan warna tinta yang digunakan dalam setiap buku.”

     

    Aku tersenyum kecil mendengar ancaman main-mainnya, dan untuk pertama kalinya, aku membiarkan diriku tenggelam dalam kenyamanan tanpa rasa bersalah. Mataku kembali terpejam, diiringi suara halaman buku yang dibalik dan detak jam tua yang familiar.

     

    Dalam keheningan yang nyaman itu, sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di benakku. Selama ini, aku tidak pernah tahu nama perpustakaan tempat aku bekerja. Bahkan, aku tidak ingat pernah melihat papan nama atau tanda pengenal apapun.

     

    “Mmm… Sang Penulis,” aku memulai dengan ragu-ragu. “Sebenarnya… apa nama perpustakaan ini?”

     

    Dia mengangkat alisnya sedikit, matanya masih terfokus pada buku di tangannya. “Apakah sebuah nama begitu penting?”

     

    “Yah, saya sudah bekerja di sini cukup lama, dan rasanya aneh tidak mengetahui nama tempat ini…”

     

    “Hmm…” dia bergumam, membalik halaman bukunya dengan gerakan malas. “Bukankah lebih menarik membiarkannya menjadi misteri?”

     

    “Tapi…” aku bersikeras. “Bagaimana saya bisa menjelaskan kepada orang lain tentang tempat ini?”

     

    Sang Penulis mendengus pelan. “Memangnya ada yang akan percaya jika kau menceritakan tentang perpustakaan yang bisa mengubah waktu dan memiliki rak-rak yang harus disusun berdasarkan warna sampul dan tanggal lahir penulisnya?”

     

    Aku terdiam sejenak. Dia ada benarnya.

     

    “Tetap saja…” aku mencoba lagi. “Saya ingin tahu.”

     

    Dia akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku, menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kau ini keras kepala juga ya?”

     

    “Saya hanya… penasaran.”

     

    Sang Penulis menghela napas panjang, menutup bukunya dengan gerakan yang hampir dramatis. “Baiklah, baiklah. Tapi jangan salahkan aku jika jawabannya tidak sesuai harapanmu.”

     

    Aku menunggu dengan sabar sementara dia meletakkan bukunya di meja, mengambil cangkir kopi yang entah sejak kapan ada di sana, dan menyesapnya dengan gerakan yang sengaja dilambat-lambatkan.

     

    “Perpustakaan ini…” dia memulai, lalu berhenti untuk menyesap kopinya lagi.

     

    “Ya?” aku bertanya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme dalam suaraku.

     

    “…memiliki nama yang sangat sederhana sebenarnya.”

     

    “Dan, nama itu adalah…?”

     

    Dia menatapku lagi, kali ini ada kilat jahil di matanya. “Yakin ingin tahu?”

     

    “Sang Penulis!” aku berseru frustasi.

     

    Dia terkekeh pelan, suara yang sangat jarang kudengar darinya. 

     

    “Akashic Record.”

     

    Aku mengerjap. “Akashic… Record?”

     

    “Ya.” dia menjawab singkat, kembali membuka bukunya. “Puas dengan jawabannya?”

     

    “Tapi… apa artinya? Mengapa dinamakan seperti itu?”

     

    “Ah!” dia mengangkat satu jari, “Itu pertanyaan untuk lain waktu. Sekarang, bukankah kau seharusnya sedang beristirahat?”

     

    Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku mengajukan satu permintaan lagi. Melihatku yang gelisah, Sang Penulis langsung memasang ekspresi waspada.

     

    “Apa lagi?” tanyanya dengan nada curiga yang dibuat-buat. “Jangan bilang kau mau minta perpustakaan ini dicat ulang dengan warna pelangi?”

     

    “Saya bahkan belum mengatakan apa-apa!” protesku. “Kenapa Anda langsung curiga seperti itu?”

     

    “Pengalaman.” jawabnya singkat, masih dengan ekspresi yang sama. “Jadi, apa?”

     

    Aku menggigit bibir, mendadak merasa malu dengan apa yang ingin kukatakan. “Umm… Sang Penulis?”

     

    “Hmm?!”

     

    “Boleh… boleh saya minta Anda tetap di sini, sementara saya tidur?” Aku mengatakannya dengan cepat, hampir seperti satu kata yang dipaksa keluar.

     

    Sang Penulis mengerjap, ekspresi waspadanya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut. “Kau takut aku akan menghilang?”

     

    “Bukan begitu…” aku mencoba menjelaskan. “Hanya saja… rasanya lebih nyaman kalau Anda ada di sini.”

     

    Dia menghela napas, tapi ada senyum samar di wajahnya. “Baiklah, Lara. Aku akan tetap di sini. Sekarang tidurlah.”

     

    Mendengar namaku disebut membuatku tersenyum. Sudah lama sejak terakhir kali seseorang memanggilku. Aku memejamkan mata, membiarkan suara halaman yang dibalik dan detak jam tua mengantarku ke alam mimpi.

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Between The Pages Chapter 8

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021