Langit sore itu memerah, menyelimuti desa kecil di pedalaman pegunungan Papua yang sunyi. Dr. Charisa menatap ke luar jendela bilik kecil yang ia sebut rumah. Angin menerpa lembut wajahnya, membawa aroma tanah basah yang khas. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia mengabdikan diri sebagai dokter di sini — di pedalaman Papua yang tanpa akses darat, wilayah konflik yang sering tembak-menembak, jauh dari hiruk-pikuk kota besar nan modern.
Namun, di balik dedikasi itu, ada hati yang terus-menerus bergulat. Hati yang memiliki asa yang belum terpenuhi. Ada gumul batin hebat yang seakan tak berujung didalam sana.
Ponselnya bergetar berulang kali. Beberapa notifikasi dari media sosial muncul, memperlihatkan foto-foto teman lamanya yang tersenyum lebar di depan rumah sakit ternama di ibu kota. Mereka kini adalah dokter spesialis, bahkan subspesialis yang namanya terpampang di papan penghargaan dengan puluhan ribu komentar memberi dukungan, ucapan selamat dan quotes membanggakan. Charisa menatap foto-foto itu dengan perasaan bercampur aduk — iri, minder, kecewa, bahkan malu.
“Sa dulu adalah bintang sekolah,” bisiknya dengan logat Papua kental sambil tersenyum pahit pada dirinya sendiri. Ia ingat masa-masa SMA, saat namanya selalu disebut dalam upacara penghargaan. Juara olimpiade, paskibraka di tingkat provinsi, hingga dinobatkan sebagai Wulan Minahasa dalam ajang bergengsi. Semua orang memandangnya terpesona dengan kekaguman dan apresiasi tinggi.
Tapi kini? Ia hanyalah seorang dokter umum di pedalaman, terlupakan, merasa tak berharga, bahkan tak pernah diberi kesempatan melanjutkan pendidikan.
Bukan karena ia tak mau. Berkali-kali ia mengajukan beasiswa ke pemerintah daerah. Berkali-kali pula permohonannya ditolak tanpa alasan jelas. Bahkan ketika ia menawarkan untuk membiayai sekolahnya sendiri, izin itu tetap tak pernah diberikan. Dan sekarang, umurnya sudah terpaut jauh dari memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan spesialis jurusan apapun. Nasib…nasib…
“Apa de pe guna dang ta pe usaha deng kerja keras dari dulu? Apa de pe faedah dang samua yang ta so korbankan selama ini?” keluh lirihnya dengan logat dari daerah asalnya, sambil menatap pantulan di cermin. Tubuhnya yang dulu ramping, mulus, terawat kini terlihat kusam, lelah dan gempal. Garis-garis halus mulai menghiasi wajahnya yang setiap hari terpapar asap tungku dari dapur.
Hari itu, pasiennya adalah seorang ibu muda yang datang dengan bayi berusia dua bulan. Bayi itu tampak kurus, pucat, demam tinggi, terbatuk-batuk dan sulit bernafas. Setelah pemeriksaan yang teliti walaupun dengan peralatan yang serba terbatas, Charisa menegakkan diagnosa Bronkopneumonia dan malnutrisi berat yang diderita si bayi.
“Mama, ko harus lebih sering kasih anak susu itu,” ujarnya lembut dengan logat setempat, sambil menuliskan instruksi pada rekam medis untuk si bayi di rawat inap.
“Iya bu Dok. Tapi, sa saja su tra makan brapa hari ni. Di Honai trada makanan lagi. Kebun-kebun rusak semua karna hujan es kemarin jadi? Sa susu tra mau kluar, anak kecil menangis terus, e… ” jawab si ibu dengan mata berkaca-kaca dengan suara sengau.
Jawaban itu menusuk hati Charisa. Ia tahu betapa sulitnya hidup di tempat terpencil dipedalaman sini. Dalam sunyi, ia bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia benar-benar gagal? Apakah keberadaannya di sini tak berarti?
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak, Charisa membuka diary lamanya. Hobi menulisnya tertuang dalam diarynya sejak zaman SD. Tulisan-tulisan penuh cita-cita dan ambisi memenuhi halaman-halamannya. Ia membaca sebuah catatan yang ditulisnya saat berusia 17 tahun:
“Aku ingin menjadi dokter jasmani dan rohani, yang membantu banyak orang untuk hidup lebih sehat dan lebih baik. Aku ingin hidupku memberi warna pada diary orang lain.” Kalimat itu membuatnya terpekur cukup lama.
Hari-hari berlalu, dan Charisa mulai melihat kehidupan di sekitarnya dengan cara yang berbeda. Meski ia tidak memiliki gelar spesialis atau subspesialis seperti teman-temannya, ia sadar bahwa kehadirannya di desa ini menyelamatkan nyawa.
Ia mulai melakukan kembali hobinya menulis diary, mencatat momen-momen kecil yang membuat hatinya hangat: seorang anak kecil yang sembuh dari Malaria berat setelah ia rawat, seorang ibu yang selamat dari persalinan berisiko tinggi, hingga ucapan terima kasih sederhana dari seorang kakek yang kembali bisa bernafas lega setelah tuntas pengobatan TB.
“Sa tra gagal,” bisiknya pada dirinya sendiri suatu malam.
Namun, proses berdamai dengan diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Charisa belajar menerima bahwa kehidupannya berbeda, bukan lebih buruk. Sepatu teman-temannya, bukanlah sepatunya. Ia mulai menyadari bahwa nilai hidup yang sebenarnya bukanlah ditentukan oleh gelar atau tempat kerjanya, melainkan oleh dampak yang ia buat dalam kehidupan orang lain.
Suatu hari, saat tengah duduk mencabut rumput di di samping Puskesmas, seorang anak kecil datang berlari riang membawa beberapa ikat sayuran segar, tampaknya baru saja dipetik dari kebun keluarganya.
“Mama dokter, ini sa bawa untuk ko. Sa mama cerita, Mama dokter itu malaikat dari Tuhan yang bantu sa lahir. Dokter juga yang kasih sa nama, sama dengan dokter pu nama tengah. Sa cita-cita mau jadi dokter kayak ko, yang bantu orang susah, tra pernah minta bayar. Sa juga mo jadi Guru Sekolah Minggu macam ko, yang ajar kitong banyak lagu bahasa Inggris. Keren apa… ” cerocos anak itu polos dengan wajah sumringah sambil menumpuk rapi rumput yang telah ku cabuti, tanpa diminta.
Charisa terharu. Ia tersenyum, menerima sayuran itu dengan penuh rasa syukur dan hati yang berbunga-bunga. Malamnya, ia kembali menulis di jurnalnya:
“Aku mungkin tidak memiliki kehidupan seperti yang pernah kuimpikan dulu, tetapi aku memiliki sesuatu yang lebih besar: kesempatan untuk mencintai dan melayani mereka yang membutuhkan. Dan itu lebih dari cukup.”
Charisa kini memandang hidupnya dengan cara berbeda. Ia bukanlah “Bintang yang memudar,” melainkan “Bintang tersaput awan.” Meski sinarnya tak terlihat oleh banyak orang, ia tahu cahayanya ada, menghangatkan dan menerangi mereka yang hidup dalam kegelapan. Teruslah cemerlang karena sinarmu bisa menjadi penuntun seseorang untuk menggapai asa dan cita-citanya kelak. Awan tak selamanya menyamarkan sinarmu, Bintang.
Dalam kesunyian pedalaman Papua, Charisa menemukan cinta sejati: cinta pada sang Pencipta dalam syukurnya, cinta kepada profesinya, cinta kepada mereka yang dia layani dan cinta tak bersyarat untuk dirinya sendiri. No doubt… Keep shining, more bright
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Bintang Tersaput Awan
Sorry, comment are closed for this post.