KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bintang Tersaput Awan

    Bintang Tersaput Awan

    BY 28 Sep 2025 Dilihat: 21 kali
    Bintang Tersaput Awan_alineaku

    Langit sore itu memerah, menyelimuti desa kecil di pedalaman pegunungan Papua yang sunyi. Dr. Charisa menatap ke luar jendela bilik kecil yang ia sebut rumah. Angin menerpa lembut wajahnya, membawa aroma tanah basah yang khas. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia mengabdikan diri sebagai dokter di sini — di pedalaman Papua yang tanpa akses darat, wilayah konflik yang sering tembak-menembak,  jauh dari hiruk-pikuk kota besar nan modern. 

    Namun, di balik dedikasi itu, ada hati yang terus-menerus bergulat. Hati yang memiliki asa yang belum terpenuhi. Ada gumul batin hebat yang seakan tak berujung didalam sana. 

    Ponselnya bergetar berulang kali. Beberapa   notifikasi dari media sosial muncul, memperlihatkan foto-foto teman lamanya yang tersenyum lebar di depan rumah sakit ternama di ibu kota. Mereka kini adalah dokter spesialis, bahkan subspesialis yang namanya terpampang di papan penghargaan dengan puluhan ribu komentar memberi dukungan, ucapan selamat dan quotes membanggakan. Charisa menatap foto-foto itu dengan perasaan bercampur aduk — iri, minder, kecewa, bahkan malu.

    Sa dulu adalah bintang sekolah,” bisiknya dengan logat Papua kental sambil tersenyum pahit pada dirinya sendiri. Ia ingat masa-masa SMA, saat namanya selalu disebut dalam upacara penghargaan. Juara olimpiade, paskibraka di tingkat provinsi, hingga dinobatkan sebagai Wulan Minahasa dalam ajang bergengsi. Semua orang memandangnya terpesona dengan kekaguman dan apresiasi tinggi. 

    Tapi kini? Ia hanyalah seorang dokter umum di pedalaman, terlupakan, merasa tak berharga, bahkan tak pernah diberi kesempatan melanjutkan pendidikan.

    Bukan karena ia tak mau. Berkali-kali ia mengajukan beasiswa ke pemerintah daerah. Berkali-kali pula permohonannya ditolak tanpa alasan jelas. Bahkan ketika ia menawarkan untuk membiayai sekolahnya sendiri, izin itu tetap tak pernah diberikan. Dan sekarang, umurnya sudah terpaut jauh dari memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan spesialis jurusan apapun. Nasib…nasib… 

    Apa de pe guna dang ta pe usaha deng kerja keras dari dulu? Apa de pe faedah dang samua yang ta so  korbankan selama ini?” keluh lirihnya dengan logat dari daerah asalnya, sambil menatap pantulan di cermin. Tubuhnya yang dulu ramping, mulus, terawat kini terlihat kusam, lelah dan gempal. Garis-garis halus mulai menghiasi wajahnya yang setiap hari terpapar asap tungku dari dapur. 

    Hari itu, pasiennya adalah seorang ibu muda yang datang dengan bayi berusia dua bulan. Bayi itu tampak kurus, pucat, demam tinggi, terbatuk-batuk dan sulit bernafas. Setelah pemeriksaan yang teliti walaupun dengan peralatan yang serba terbatas, Charisa menegakkan diagnosa Bronkopneumonia dan malnutrisi berat yang diderita si bayi. 

    Mama, ko harus lebih sering kasih anak susu itu,” ujarnya lembut dengan logat setempat, sambil menuliskan instruksi pada rekam medis untuk si bayi di rawat inap. 

    Iya bu Dok. Tapi, sa saja su tra makan brapa hari ni. Di Honai trada makanan lagi. Kebun-kebun rusak semua karna hujan es kemarin jadi? Sa susu tra mau kluar, anak kecil menangis terus, e… ” jawab si ibu dengan mata berkaca-kaca dengan suara sengau. 

    Jawaban itu menusuk hati Charisa. Ia tahu betapa sulitnya hidup di tempat terpencil dipedalaman sini. Dalam sunyi, ia bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia benar-benar gagal? Apakah keberadaannya di sini tak berarti?

    Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak, Charisa membuka diary lamanya. Hobi menulisnya tertuang dalam diarynya sejak zaman SD. Tulisan-tulisan penuh cita-cita dan ambisi memenuhi halaman-halamannya. Ia membaca sebuah catatan yang ditulisnya saat berusia 17 tahun:

    “Aku ingin menjadi dokter jasmani dan rohani,  yang membantu banyak orang untuk hidup lebih sehat dan lebih baik. Aku ingin hidupku memberi warna pada diary orang lain.”  Kalimat itu membuatnya terpekur cukup lama.

    Hari-hari berlalu, dan Charisa mulai melihat kehidupan di sekitarnya dengan cara yang berbeda. Meski ia tidak memiliki gelar spesialis atau subspesialis seperti teman-temannya, ia sadar bahwa kehadirannya di desa ini menyelamatkan nyawa.

    Ia mulai melakukan kembali hobinya menulis diary,  mencatat momen-momen kecil yang membuat hatinya hangat: seorang anak kecil yang sembuh dari Malaria berat setelah ia rawat, seorang ibu yang selamat dari persalinan berisiko tinggi, hingga ucapan terima kasih sederhana dari seorang kakek yang kembali bisa bernafas lega setelah tuntas pengobatan TB.

    Sa tra gagal,” bisiknya pada dirinya sendiri suatu malam. 

    Namun, proses berdamai dengan diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Charisa belajar menerima bahwa kehidupannya berbeda, bukan lebih buruk. Sepatu teman-temannya, bukanlah sepatunya. Ia mulai menyadari bahwa nilai hidup yang sebenarnya bukanlah ditentukan oleh gelar atau tempat kerjanya, melainkan oleh dampak yang ia buat dalam kehidupan orang lain.

    Suatu hari, saat tengah duduk mencabut rumput di di samping Puskesmas, seorang anak kecil datang berlari riang membawa beberapa ikat sayuran segar, tampaknya baru saja dipetik dari kebun keluarganya.

    “Mama dokter, ini sa bawa untuk ko.  Sa mama cerita, Mama dokter itu malaikat dari Tuhan yang bantu sa lahir. Dokter juga yang kasih sa nama, sama dengan dokter pu nama tengah. Sa cita-cita mau jadi dokter kayak ko, yang bantu orang susah, tra pernah minta bayar. Sa juga mo jadi Guru Sekolah Minggu macam ko, yang ajar kitong banyak lagu bahasa Inggris. Keren apa… ” cerocos anak itu polos dengan wajah sumringah sambil menumpuk rapi rumput yang telah ku cabuti, tanpa diminta. 

    Charisa terharu. Ia tersenyum, menerima sayuran itu dengan penuh rasa syukur dan hati yang berbunga-bunga. Malamnya, ia kembali menulis di jurnalnya:

    “Aku mungkin tidak memiliki kehidupan seperti yang pernah kuimpikan dulu, tetapi aku memiliki sesuatu yang lebih besar: kesempatan untuk mencintai dan melayani mereka yang membutuhkan. Dan itu lebih dari cukup.”

    Charisa kini memandang hidupnya dengan cara berbeda. Ia bukanlah “Bintang yang memudar,” melainkan “Bintang tersaput awan.” Meski sinarnya tak terlihat oleh banyak orang, ia tahu cahayanya ada, menghangatkan dan menerangi mereka yang hidup dalam kegelapan. Teruslah cemerlang karena sinarmu bisa menjadi penuntun seseorang untuk menggapai asa dan cita-citanya kelak. Awan tak selamanya menyamarkan sinarmu, Bintang. 

    Dalam kesunyian pedalaman Papua, Charisa menemukan cinta sejati: cinta pada sang Pencipta dalam syukurnya, cinta kepada profesinya, cinta kepada mereka yang dia layani dan cinta tak bersyarat untuk dirinya sendiri. No doubt… Keep shining, more bright

     

     

    Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bintang Tersaput Awan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021