Jam baru menunjukkan pukul 19.00. Belum terlalu malam untuk pergi ke toko buku. Aku berencana untuk mencari beberapa buku baru untuk kubaca. Aku suka sekali mengoleksi dan membaca buku. Toko buku penuh sesak, karena ada diskon besar-besaran. Tidak hanya buku yang mendapat potongan harga, tetapi ada alat tulis, tas, bahkan mainan.
Aku berjubel di antara banyak pembeli yang sangat antusias dengan adanya diskon itu. Berusaha memilih buku menarik sesuai jenis yang disukai diantara bertumpuk-tumpuk buku yang jumlahnya sangat banyak. Aku menemukan beberapa buku dan langsung membayar.
Aku keluar toko buku itu dan menuju halamannya yang juga sudah banyak orang berkerumun melihat-lihat alat tulis, mainan, tas dan benda diskon lainnya. Diantara kerumunan itu aku melihat seorang anak laki-laki kecil. Anak itu sedang melihat-lihat mainan yang bertumpuk. Melihat-lihat saja…dengan wajahnya yang ceria. Anak berbaju sederhana dan bersandal jepit tipis itu juga menggendong keranjang di depannya. Rupanya anak itu juga sedang berkeliling menjajakan tisu dan karena melihat kerumunan, dia pun ikut asyik melihat-lihat.
Ke toko buku itu aku tidak sendiri, tetapi ditemani suami dan tiga orang anakku yang masih kecil. Jadi bisa dibayangkan bagaimana repotnya memilih buku dan barang lainnya sambil memastikan anak-anak masih berada di sekitar kita.
Memilih mainan di antara tumpukan, dan belum tahu berapa harganya. Aku menemukan sebuah mobil merah kecil yang lucu. Lantas aku menyuruh anak kedua yang agak besar untuk bertanya ke petugas. Tiba-tiba bocah penjual tisu mendatangiku untuk menawarkan diri menanyakan harga mainan itu.
Dia mengambil mobil-mobilan dari tanganku dan berlari ke petugas. Selang beberapa waktu, dia mendatangiku lagi dan mengatakan, “Harganya 49.000, Tante.”
“Oh, terima kasih.” kataku.
Tertarik dengan mobil lucu itu, aku mau langsung membeli dan membayarnya ke petugas. Sayangnya, anak bungsuku tidak menyukai mainan itu. Dia menginginkan mainan yang lebih besar. Dan aku pun kembali memilih mainan, tapi masih belum menemukan yang pas.
Di sela-sela memilih mainan, bocah penjual tisu itu mendatangiku lagi dan menawarkan tisunya untuk kubeli.
“Tante… Beli tisu saya, Tante.” tawarnya.
“Berapa harganya?” tanyaku.
“Tujuh ribu, Tante.” begitu katanya.
Kubuka tas untuk mengambil dompet hitamku mencari uang sejumlah yang disebutkan bocah itu. Lama kucari, dan ternyata di dompetku tidak ada uang tunai. Selama ini aku terbiasa menggunakan kartu debit atau membayar dengan cara memindai barcode menggunakan ponselku. Sangat jarang membawa uang tunai.
Dengan menyesal aku mengatakan ke bocah itu bahwa tidak bisa membeli tisunya karena tidak punya uang tunai. Dan anehnya ekspresi bocah itu tidak marah. Yang kulihat hanya raut wajah ikhlas.
Merasa bersalah karena tidak bisa membeli tisunya. Dalam hati aku berniat membelikannya salah satu mainan yang sedari tadi diliriknya. Sebuah mobil mainan kecil yang lucu, tapi tidak diinginkan anakku. Mainan itu dipandang dengan seksama, dilihat dari berbagai sudut. Kemudian setelah puas melihat, diletakkannya lagi di tempat semula.
Aku memilih beberapa. Anak bungsuku tiba-tiba menangis dan merengek karena tidak menemukan mainan yang menarik baginya. Semakin lama semakin keras rengekannya. Sampai akhirnya, suamiku mengajak kami untuk pulang saja. Dengan keadaan demikian, aku meletakkan mainan-mainan yang sudah kupilih, yang tadinya rencananya akan kuberikan beberapa ke bocah penjual tisu. Aku lupa akan rencana itu.
Masih diiringi rengekan anak bungsuku, kami berjalan kembali ke arah parkir untuk kembali pulang ke rumah diikuti anak-anakku yang lain.
Kembali lagi muncul bayangan bocah kecil penjual tisu itu. Bocah yang ikut melihat-lihat mainan diskon sambil menjajakan tisunya kepada siapa saja yang bersedia membelinya. Bocah yang hanya melihat-lihat dan juga menginginkan mainan, tetapi tidak punya cukup uang untuk membeli.
Sambil menggandeng tangan anak bungsuku yang masih merengek, aku berkata kepadanya.
“Ingat kakak yang jualan tisu tadi? Dia juga ingin punya mainan, tetapi tidak bisa beli. Dia bantu mamanya jualan tisu. Dia anak yang pintar. Tidak marah ketika orang tidak jadi membeli barang dagangannya. Dia juga tidak merengek untuk mainan yang diinginkannya.”
Anak bungsu terdiam dan memasuki mobil dengan murung khas anak-anak yang tidak jadi membeli mainan.
Sepanjang malam itu, bocah penjual tisu selalu terbayang-bayang di benakku. Bocah ceria dengan segala keterbatasannya. Bocah yang kuat dan tabah dengan keadaannya. Semoga dia selalu sehat dan tumbuh menjadi anak yang hebat. Semoga suatu hari aku bisa bertemu dengan bocah penjual tisu untuk membeli beberapa tisunya, membelikannya mainan atau sekedar es krim.
Kreator : Fatrisia Yulianie
Comment Closed: Bocah Penjual Tisu
Sorry, comment are closed for this post.