Bibi Tinah tetanggaku kan janda anaknya lima, suaminya sudah lama meninggal. Kalau lagi susah, suka morang- maring sambil.menggertusuka bilang:
“Gimana kamu ini sih pak, orang lagi susah gini malah pergi, tidak kembali, hidup serba kekurangan, tiap hari menahan lapar,suaminya sudah meninggal, jadi tidak bisa mendengar. Anak yang paling besar namanya Sapon pergi ke Semarang, jadi tukang becak, adiknya namanya Judin Giyem,sudah menikah, Simin dan Gimin.
Judin itu agak nakal, sudah besar, tidak mau bantu-bantu orang tua, tiap hari kerjanya hanya main-main sama teman-teman nakalnya, sekolahnya hanya sampai klas 6 SD,kalau ada tontonan wayang kulit tidak punya uang suka mencuri kelapa punya orang, yang pekarangannya kosong di samping rumahnya.Aneh juga, anak orang kampung ,miskin hidup di desa, tapi kulitnya bersih, hidungnya mancung, body tegap, sayangnya yaitu tadi males kerja, tidak merasa jadi anak orang miskin. Bibi Tinah hanya mempunyai sepetak sawah dan sebidang pekarangan yang sebagian ia tempati, atap rumahnya ilalang,dindingnya anyaman daun kelapa.Untuk menopang hidupnya sehari-hari bibi Tinah membeli sayur-mayur dari tetangganya lalu di jual ke pasar.Sekali-kali suka diminta tolong menanam.padi, menumbuk padi,masak-memasak kalau lagi ada hajatan. Pekerjaan rutinnya pulang pasar membuat slepen, itu lho wadah tembakau,klembak menyan papir,kemenyan sebagai bahan membuat rokok.Slepen dibuwat dari pandan yang berduri,diambil daunya,di beset-beset,beberapa. hari dikubur dalam lumpur ,diambil ,dibersihin di jemur jadilah bahan untuk membuat slepen,bisa juga dibuat topi.
“mBakyu sudah saja ikut transmigrasi ke Lampung,” kata pak Parman, adik ipar,adik almarhum suaminya,yang sudah lama tinggal di Lampung, kebetulan lagi pulang kampung.Nanti tinggalnya dekat saya, sawah sama pekarangan dijual saja ,di Lampung harga tanah masih murah, kalau mau masih bisa membuka hutan.
“Di Lampung nya di mana dik, apa dekat dengan tetangga-disini, yang lebih dulu pergi transmigrasi.
“Ya dekat di Gedongtataan Pringsewu.
“Ya mau dik, disini lama-lama makin susah, tolong bantu aku kalau uangku nanti cukup untuk beli lagi tanah sawah dan pekarangan disana.”
“Tentu mbak nanti di bantu,untuk sementara waktu bisa tinggal dulu di rumahku.”
Belum juga tiga bulan di Lampung,Judin sudah ber-ulah,pura-pura pinjam sepeda pamannya,.terus dijual. Setelahnya malah bingung, pulang malu,tanpa pikir panjang ia naik taksi jurusan Bakaohuni, beli karcis ke Merak,lanjut ke Jakarta. Hari mulai sore, rembang petang mulai tiba,malam pun turun. Melihat diseberang jalan ada bangunan gedung besar,pagar terbuka tanpa ada penjaga,tanpa ragu ia nekad masuk.Dibaringkanya tubuhnya di teras, tertidur kecapaian, perut lapar tak dirasa.
“Bangun, siapa kamu berani-beraninya tidur disini”, rupanya Judin tidur kesiangan
“Maaf pa, aku Judin datang dari kampung ,disini tidak punya siapa-siapa, tolong saya pak,saya lagi cari pekerjaan,hidup di kampung tambah sulit, apalagi sekarang lagi paceklik,karena kemarau panjang pa, dua tahun tidak ada hujan.
Ternyata rumah itu milik Pak Sosro,pengacara kondang di ibu kota.
Judin di bawa pulang,disuruh mandi ganti pakaian dan disuruh sarapan.
“Harti.!!, pa Sosro memanggil anaknya Suharti.
“Iya pih, ada apa.”
“Ini Judin dari kampung katanya mau cari kerja, kebetulan si Nana mau berhenti kerja mau dirumah nunggu ibunya yang sudah sepuh.Suruh Judin ganti tenaga si Nana urus itu rumah-rumah kontrakan.”
Sekilas Harti melihat pemuda Judin, “iya pih oke, nanti saya kasih petunjuk dan saran serta aturan-aturan cara mengurus rumah-rumah kontrakan.
“Ati-ati, papih mau pergi lagi ke kantor.
Judin sudah merasa betah dan berniat untuk memperbaiki sifat dan perilakunya yang tidak terpuji selama ini , malu kepada pa Sosro dan putrinya yang telah memperlakukanya dengan sangat baik, tidak membeda-bedakan status sosialnya yang biasa diucapkan oleh orang-orang yang suka mengatakan dasar kampungan.
Di suatu sore Harti sempat menyambangi rumah-rumah kontrakan nya.
“Mas Judin lagi apa?”
“Lagi nyiram-nyiram tanaman,sudah beberapa hari tidak ada hujan.”
“Kalau tidak disiram bisa layu ya?”
“Iya layu, malah lama-lama bisa mati.”
“Mas Judin ganteng juga ya”
“Ganteng apanya,orang dari kampung gunung,masa dikatakan ganteng.”
“Bener ganteng, aku suka mas Judin suka aku nggak.”
“Suka juga, tapi ini canda kan.”
“Masa canda ,beneran tahu.”Tapi namamu koq Judin, jelek banget namanya tak ganti aja ya jadi namamu mulai hari ini Hartono, aku kan panggil kamu mas Tono,gimana?”
“Gimana neng aja”
“Gimana neng,kamu suka nggak diganti namanya.”
“Suka banget.”
“Oke besok aku akan bilangin ke papih”
“Minggu pagi pa Sosro sedang duduk santai ,ditemani secangkir kopi dan koran pagi.Kesempatan ini dipakai Harti untuk menyampaikan hal penting menyangkut dirinya.
“Pih dengerin Harti mau bilang”
“Bilang apa.”
“Pih aku suka sama mas Judin,malah nama Judin sudah kuganti jadi Hartono.”
“Ada-ada saja, reaksi Judin gimana suka kamu nggak.”
“Suka pih,tinggal papih setuju tidak.”
“Kalau kamu suka Judin eh siapa tadi Hartono juga suka papih bisa apa, ya setuju.”
Tiga tahun sudah Judin alias Hartono kerja di rumah pak Sosro,ia juga sudah memberitahu keluarganya kalau dirinya tinggal di Jakarta, sekalian titip uang buwat paman yang sepedahnya dulu pernah dicurinya dulu,sekalian memberi tahu dan mengundang keluarganya untuk datang ke Jakarta, menyaksikan pernikahannya dengan Suharti, putri majikanya. Pada hari yang telah ditentukan ijab kabul pernikahan Suharti dan Hartono dilaksanakan dengan mewah dan meriah.Keluarga Judin Hartono sempat datang menambah bahagianya pengantin berdua. Apa iya sih, yang bodoh kalah dengan yang pintar,yang pontar kalah dengan yang cerdas, yang cerdas kalah dengan yang sedang happy.
Kreator : Sudarsono
Comment Closed: BODOH TAPI MUJUR
Sorry, comment are closed for this post.