Hari Pertama yang Menentukan
Langit cerah menyelimuti pagi di SMA Nusantara, mengiringi semangat para siswa yang kembali ke sekolah untuk semester baru. Angin sepoi-sepoi menerpa pepohonan rindang di halaman, menyapu debu-debu kecil yang tersisa dari musim liburan. Derap langkah siswa terdengar di lorong-lorong sekolah, beradu dengan suara riuh tawa dan percakapan yang memenuhi udara. Di antara mereka, Ananta berjalan perlahan sambil memeluk erat buku catatannya.
Ananta bukan siswa yang menonjol secara fisik. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan, dan wajahnya sering tertunduk malu. Namun, matanya yang cerdas menyiratkan keinginan besar untuk belajar dan berkembang. Dia adalah salah satu dari sedikit siswa yang menganggap sekolah lebih dari sekadar rutinitas. Baginya, itu adalah peluang untuk membuktikan dirinya. Namun, pengalaman masa lalu membuatnya menjadi lebih waspada. Pernah ada guru yang mengabaikan usahanya, memilih untuk memberi perhatian lebih kepada siswa yang dianggap lebih menarik atau “berkilau.” Hari ini, ia berharap semua itu akan berubah.
Kelas XI B adalah ruangannya tahun ini, terletak di sudut sekolah yang agak sepi. Ia berhenti di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, dan melangkah masuk. Pandangannya langsung menyapu ruangan, mengamati wajah-wajah baru dan beberapa yang sudah familiar. Beberapa siswa sudah duduk berkelompok, tertawa dan berbicara tentang liburan mereka. Di barisan tengah, Hazara, seorang gadis dengan rambut panjang berkilau dan senyum menawan, menjadi pusat perhatian. Hazara adalah tipe siswa yang selalu menarik mata orang lain, baik karena penampilannya maupun pembawaannya yang anggun. Ananta menatapnya sebentar sebelum buru-buru mencari tempat duduk di barisan belakang.
Saat jam pertama hampir dimulai, suasana kelas menjadi lebih tenang. Bisikan-bisikan kecil terdengar, sebagian besar membahas guru baru yang akan mengajar mereka.
“Katanya Bu Inrani itu guru yang tegas tapi elegan,” bisik salah satu siswa kepada temannya.
“Aku dengar dia pernah dapat penghargaan sebagai guru teladan,” tambah yang lain.
Ananta mendengar semua itu sambil terus menatap ke arah pintu. Ia merasakan detak jantungnya meningkat. Pikiran-pikiran tentang harapan dan ketakutan berseliweran di benaknya. Apakah guru baru ini akan berbeda? Apakah usahanya untuk menjadi siswa terbaik akhirnya akan dihargai?
Pintu kelas terbuka perlahan, dan seorang wanita melangkah masuk dengan percaya diri. Bu Inrani, seorang guru dengan usia sekitar empat puluhan, mengenakan blus putih rapi yang dipadukan dengan rok hitam selutut. Rambutnya yang hitam ditata sempurna, dan wajahnya yang dihias dengan senyum kecil memancarkan aura kharismatik. Ia membawa buku catatan tebal di satu tangan dan kacamata di tangan lainnya. Langkahnya anggun namun tegas, seolah setiap gerakannya direncanakan dengan hati-hati.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa.
“Pagi, Bu,” jawab para siswa serempak.
Ananta memperhatikan bagaimana Bu Inrani berdiri di depan kelas, matanya menyapu seluruh ruangan. Tatapan itu membuat beberapa siswa menegakkan punggung mereka, termasuk Hazara yang duduk di barisan depan. Bu Inrani mengangguk kecil, lalu mulai memperkenalkan dirinya.
“Nama saya Inrani Suwarna, dan saya akan menjadi wali kelas kalian sekaligus guru Bahasa Indonesia semester ini. Saya percaya bahwa setiap siswa memiliki potensi, dan tugas saya adalah membantu kalian menemukan dan mengembangkannya.”
Ananta merasa ada secercah harapan dari kata-kata itu. Namun, di balik harapan itu, ia juga merasakan keraguan. Pengalaman masa lalu membuatnya sulit untuk langsung mempercayai janji semacam itu.
Setelah memperkenalkan diri, Bu Inrani mulai meminta setiap siswa untuk berdiri dan memperkenalkan diri mereka. Ketika giliran Hazara tiba, suaranya terdengar lembut namun jelas.
“Nama saya Hazara Widya. Saya suka menulis puisi dan menggambar,” katanya sambil tersenyum.
Para siswa memberikan tepuk tangan kecil, beberapa bahkan terdengar berbisik memuji Hazara.
Ketika giliran Ananta tiba, ia berdiri dengan gugup. “Nama saya Ananta Rendra. Saya suka membaca buku dan bermain gitar…” suaranya terdengar pelan, hampir tenggelam di tengah bisikan siswa lain.
Tak ada tepuk tangan seperti yang diterima Hazara, hanya beberapa tatapan kosong sebelum perhatian kelas kembali ke arah Bu Inrani.
Pelajaran pertama dimulai dengan materi tentang puisi modern. Bu Inrani membacakan beberapa bait dari Chairil Anwar, suaranya penuh emosi, membuat kata-kata itu hidup di dalam ruangan. Beberapa siswa tampak terpukau, termasuk Hazara, yang sesekali mencatat dengan rapi. Di sisi lain, Ananta mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami setiap makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Namun, Ananta segera menyadari sesuatu yang mengganggunya. Setiap kali Bu Inrani memuji siswa, pandangannya selalu tertuju pada Hazara atau siswa lain yang terlihat lebih menonjol secara fisik. Ketika Hazara membaca hasil analisanya, Bu Inrani memuji.
“Kamu punya bakat alami, Hazara. Analisismu sangat mendalam.”
Tapi ketika Ananta memberikan pendapatnya, ia hanya menerima anggukan singkat tanpa komentar lebih lanjut.
Di akhir pelajaran, Bu Inrani meminta siswa untuk membuat puisi singkat tentang pengalaman mereka di hari pertama sekolah. Ananta mengambil waktu beberapa menit untuk menulis dengan hati-hati, menuangkan perasaan dan harapannya ke dalam bait-bait sederhana. Ketika ia menyerahkan puisinya, ia berharap setidaknya usahanya akan dihargai.
Namun, saat Bu Inrani membacakan beberapa puisi pilihan di depan kelas, nama Ananta tidak disebutkan. Sebaliknya, Hazara kembali menjadi pusat perhatian dengan puisinya yang dipuji sebagai “Karya yang penuh perasaan dan imajinasi.”
Ketika bel berbunyi, menandakan akhir dari jam pertama, Ananta duduk di mejanya, merasa campur aduk. Hari pertama yang ia harapkan akan membawa perubahan malah memberinya rasa déjà vu. Ia menatap keluar jendela, mencoba menenangkan pikirannya.
“Saya harus mencoba lebih keras,” pikirnya dalam hati.
Tapi, jauh di lubuk hati, ia mulai bertanya-tanya apakah usaha kerasnya akan benar-benar berarti di mata orang seperti Bu Inrani.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 1)
Sorry, comment are closed for this post.