Pujian yang Tak Pernah Datang
Di sudut kelas yang mulai sepi, Ananta duduk sendirian di bangkunya. Suara riuh teman-temannya yang mengobrol dan tertawa perlahan memudar saat pikirannya melayang. Ia memandangi papan tulis yang penuh dengan tulisan Bu Inrani tentang struktur teks eksposisi—pelajaran hari ini yang sebenarnya ia kuasai. Namun, yang menguasai pikirannya bukanlah teks eksposisi, melainkan suara Bu Inrani yang lembut namun menusuk saat memberi pujian.
“Hazara, tulisanmu ini sangat rapi dan indah. Lihat, teman-teman, inilah yang saya maksud dengan keseriusan dalam menulis,” ucap Bu Inrani beberapa menit sebelum pelajaran usai.
Kata-kata itu melayang di udara, seperti nyanyian merdu yang hanya ditujukan untuk satu orang.
Hazara, seperti biasa, tersenyum malu-malu. Ia tampak anggun dengan seragam putih abu-abu yang disetrika rapi dan rambut hitam panjang yang diikat dengan pita kecil. Teman-teman di sekitarnya ikut memuji atau sekadar menimpali, seolah mendukung apa yang dikatakan Bu Inrani.
Sementara itu, Ananta hanya menunduk. Ia tahu, tidak ada satupun pandangan yang tertuju padanya. Padahal, tadi pagi ia sudah berusaha keras menulis esai, yang menurutnya cukup bagus. Ia menulis dengan hati-hati, memperhatikan struktur dan kosa kata seperti yang diajarkan. Tetapi, saat Bu Inrani mengomentari tugas-tugas siswa, namanya tidak disebut sama sekali.
“Apakah aku tidak cukup baik? Atau memang aku tidak terlihat?” pikirnya, sembari menghela nafas panjang.
—
Jam istirahat tiba. Ananta masih di tempatnya, tidak bergerak, sementara sebagian besar teman-temannya keluar kelas untuk ke kantin. Ia membuka bukunya, mencoba membaca ulang esainya sendiri. Kata-kata yang tertulis di sana terasa biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
“Ananta, kamu tidak ke kantin?” suara lembut Hazara memecah keheningan.
Ananta mendongak dan melihat Hazara berdiri di dekat mejanya, membawa buku catatan kecil di tangan.
“Tidak. Aku masih ingin di sini,” jawabnya singkat, sambil menutup bukunya.
Hazara tersenyum kecil dan duduk di bangku sebelah. “Aku tadi lihat tulisanmu. Bagus, loh. Kamu memang selalu hebat kalau soal pelajaran Bahasa Indonesia.”
Ananta terkejut mendengar pujian itu. “Ah, aku biasa saja,” gumamnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung.
“Tapi kenapa tadi Bu Inrani tidak memujimu?” tanya Hazara, dengan nada ingin tahu.
Pertanyaan itu membuat Ananta terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bukan karena ia tidak punya jawaban, tetapi karena jawaban yang ada terlalu rumit untuk dijelaskan.
“Entahlah. Mungkin karena aku tidak menarik perhatian seperti kamu,” katanya akhirnya, dengan senyum tipis yang terlihat lebih seperti kepahitan.
Hazara mengerutkan kening. “Bukan begitu. Kamu hanya… lebih pendiam, mungkin. Tapi itu tidak berarti kamu tidak diperhatikan.”
Ananta hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia tidak sepenuhnya setuju.
—
Ketika jam pelajaran kembali dimulai, suasana kelas terasa lebih berat bagi Ananta. Ia terus mencoba fokus pada apa yang diajarkan, tetapi pikirannya kembali melayang ke cara Bu Inrani berbicara. Pujian-pujian itu, yang terdengar begitu tulus dan indah, seperti bunga yang hanya mekar untuk Hazara dan segelintir siswa lainnya.
“Baiklah, sekarang saya ingin kalian membaca puisi ini dan mencoba menafsirkannya,” kata Bu Inrani, membagikan fotokopi puisi Chairil Anwar kepada setiap siswa.
Ananta membaca puisi itu dengan serius. Ia mengagumi keindahan kata-katanya, merasakan setiap emosi yang terkandung di dalamnya. Saat Bu Inrani mulai bertanya kepada beberapa siswa tentang interpretasi mereka, Ananta merasa yakin bahwa ia bisa memberikan jawaban yang baik.
Ia mengangkat tangannya, dan Bu Inrani mengangguk. “Silakan, Ananta.”
“Menurut saya, puisi ini berbicara tentang kebebasan yang sejati. Penyair menggambarkan bagaimana manusia sering terbelenggu oleh ketakutan atau harapan yang dibuat-buat, tetapi dibalik itu semua, ada kekuatan dalam menerima diri sendiri,” jawab Ananta dengan nada percaya diri.
Bu Inrani mengangguk pelan. “Baik. Penafsiran yang bagus,” katanya, sebelum berpaling ke siswa lain tanpa memberi komentar lebih lanjut.
Kemudian, Hazara berbicara, meski nada suaranya terdengar ragu. “Saya pikir puisi ini juga menunjukkan bagaimana… bagaimana seseorang bisa merasa kesepian meskipun terlihat bebas.”
Wajah Bu Inrani berubah. Senyum muncul di wajahnya. “Hazara, itu interpretasi yang sangat peka. Kamu memahami emosi yang tersembunyi dalam puisi ini, dan itu sangat baik. Teman-teman, kalian bisa belajar dari cara Hazara menangkap makna seperti ini.”
Ananta menunduk, jari-jarinya meremas sudut kertas yang ada di meja. Ia merasa seperti bayangan di sudut ruangan, hanya ada tetapi tidak benar-benar terlihat.
—
Setelah pelajaran selesai, Ananta memutuskan untuk berbicara dengan Bu Inrani. Ia menunggu di depan meja guru, sementara yang lain mulai berkemas untuk pulang.
“Bu, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan nada pelan.
Bu Inrani menoleh dan mengangguk. “Tentu, Ananta. Ada apa?”
Ananta ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Saya ingin tahu, apakah saya melakukan sesuatu yang salah? Maksud saya, dalam tugas-tugas saya, apakah ada yang kurang?”
Bu Inrani mengerutkan kening, tampak bingung. “Tidak, Ananta. Tugasmu selalu bagus. Kamu selalu menunjukkan pemahaman yang baik.”
“Tapi kenapa saya merasa… saya merasa tidak pernah mendapatkan pujian seperti yang lain, Bu?” Ananta mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati, meski suaranya terdengar gemetar.
Bu Inrani terdiam. Ia menatap Ananta sejenak sebelum menjawab, “Ananta, kamu adalah siswa yang cerdas dan rajin. Saya selalu tahu itu. Tapi terkadang, ada hal-hal lain yang juga penting, seperti bagaimana kita berusaha menunjukkan keunikan kita, bagaimana kita membawa diri.”
Ananta merasa hatinya tenggelam. Kata-kata itu, meski mungkin dimaksudkan untuk membangun, justru terasa seperti dinding lain yang membatasi dirinya.
“Jadi, artinya saya harus lebih… menonjol, begitu?” tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya.
“Bukan begitu, Ananta. Kamu sudah hebat dengan caramu sendiri. Tetapi, terkadang, kehebatan itu perlu lebih terlihat,” jawab Bu Inrani dengan senyum kecil.
Ananta hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa jawaban itu tidak memuaskannya. Ia berjalan keluar kelas dengan langkah pelan, membawa rasa hampa yang semakin berat.
—
Di perjalanan pulang, ia memikirkan kata-kata Bu Inrani. Ia tahu dirinya tidak bisa mengubah siapa dirinya begitu saja. Ia tidak bisa tiba-tiba menjadi seseorang yang menonjol hanya demi mendapatkan pujian.
Namun, ia juga tahu bahwa hidupnya tidak bisa terus-menerus bergantung pada harapan untuk dihargai orang lain. Ia harus menemukan cara untuk menghargai dirinya sendiri, bahkan ketika dunia di sekitarnya tidak melakukannya.
Saat langkahnya tiba di depan pintu rumah, ia menghela napas panjang.
“Mungkin aku tidak butuh pujian itu,” katanya pada dirinya sendiri, meski hatinya tahu bahwa ia masih berharap—meskipun hanya sedikit—untuk suatu hari didengar dan diakui.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 10)
Sorry, comment are closed for this post.