KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 10)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 10)

    BY 13 Feb 2025 Dilihat: 66 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 10)_alineaku

    Pujian yang Tak Pernah Datang

    Di sudut kelas yang mulai sepi, Ananta duduk sendirian di bangkunya. Suara riuh teman-temannya yang mengobrol dan tertawa perlahan memudar saat pikirannya melayang. Ia memandangi papan tulis yang penuh dengan tulisan Bu Inrani tentang struktur teks eksposisi—pelajaran hari ini yang sebenarnya ia kuasai. Namun, yang menguasai pikirannya bukanlah teks eksposisi, melainkan suara Bu Inrani yang lembut namun menusuk saat memberi pujian.

     

    “Hazara, tulisanmu ini sangat rapi dan indah. Lihat, teman-teman, inilah yang saya maksud dengan keseriusan dalam menulis,” ucap Bu Inrani beberapa menit sebelum pelajaran usai.

     

    Kata-kata itu melayang di udara, seperti nyanyian merdu yang hanya ditujukan untuk satu orang.

     

    Hazara, seperti biasa, tersenyum malu-malu. Ia tampak anggun dengan seragam putih abu-abu yang disetrika rapi dan rambut hitam panjang yang diikat dengan pita kecil. Teman-teman di sekitarnya ikut memuji atau sekadar menimpali, seolah mendukung apa yang dikatakan Bu Inrani.

     

    Sementara itu, Ananta hanya menunduk. Ia tahu, tidak ada satupun pandangan yang tertuju padanya. Padahal, tadi pagi ia sudah berusaha keras menulis esai, yang menurutnya cukup bagus. Ia menulis dengan hati-hati, memperhatikan struktur dan kosa kata seperti yang diajarkan. Tetapi, saat Bu Inrani mengomentari tugas-tugas siswa, namanya tidak disebut sama sekali.

     

    “Apakah aku tidak cukup baik? Atau memang aku tidak terlihat?” pikirnya, sembari menghela nafas panjang.

     

     

    Jam istirahat tiba. Ananta masih di tempatnya, tidak bergerak, sementara sebagian besar teman-temannya keluar kelas untuk ke kantin. Ia membuka bukunya, mencoba membaca ulang esainya sendiri. Kata-kata yang tertulis di sana terasa biasa saja. Tidak ada yang istimewa.

     

    “Ananta, kamu tidak ke kantin?” suara lembut Hazara memecah keheningan.

     

    Ananta mendongak dan melihat Hazara berdiri di dekat mejanya, membawa buku catatan kecil di tangan.

     

    “Tidak. Aku masih ingin di sini,” jawabnya singkat, sambil menutup bukunya.

     

    Hazara tersenyum kecil dan duduk di bangku sebelah. “Aku tadi lihat tulisanmu. Bagus, loh. Kamu memang selalu hebat kalau soal pelajaran Bahasa Indonesia.”

     

    Ananta terkejut mendengar pujian itu. “Ah, aku biasa saja,” gumamnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung.

     

    “Tapi kenapa tadi Bu Inrani tidak memujimu?” tanya Hazara, dengan nada ingin tahu.

     

    Pertanyaan itu membuat Ananta terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bukan karena ia tidak punya jawaban, tetapi karena jawaban yang ada terlalu rumit untuk dijelaskan.

     

    “Entahlah. Mungkin karena aku tidak menarik perhatian seperti kamu,” katanya akhirnya, dengan senyum tipis yang terlihat lebih seperti kepahitan.

     

    Hazara mengerutkan kening. “Bukan begitu. Kamu hanya… lebih pendiam, mungkin. Tapi itu tidak berarti kamu tidak diperhatikan.”

     

    Ananta hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia tidak sepenuhnya setuju.

     

     

    Ketika jam pelajaran kembali dimulai, suasana kelas terasa lebih berat bagi Ananta. Ia terus mencoba fokus pada apa yang diajarkan, tetapi pikirannya kembali melayang ke cara Bu Inrani berbicara. Pujian-pujian itu, yang terdengar begitu tulus dan indah, seperti bunga yang hanya mekar untuk Hazara dan segelintir siswa lainnya.

     

    “Baiklah, sekarang saya ingin kalian membaca puisi ini dan mencoba menafsirkannya,” kata Bu Inrani, membagikan fotokopi puisi Chairil Anwar kepada setiap siswa.

     

    Ananta membaca puisi itu dengan serius. Ia mengagumi keindahan kata-katanya, merasakan setiap emosi yang terkandung di dalamnya. Saat Bu Inrani mulai bertanya kepada beberapa siswa tentang interpretasi mereka, Ananta merasa yakin bahwa ia bisa memberikan jawaban yang baik.

     

    Ia mengangkat tangannya, dan Bu Inrani mengangguk. “Silakan, Ananta.”

     

    “Menurut saya, puisi ini berbicara tentang kebebasan yang sejati. Penyair menggambarkan bagaimana manusia sering terbelenggu oleh ketakutan atau harapan yang dibuat-buat, tetapi dibalik itu semua, ada kekuatan dalam menerima diri sendiri,” jawab Ananta dengan nada percaya diri.

     

    Bu Inrani mengangguk pelan. “Baik. Penafsiran yang bagus,” katanya, sebelum berpaling ke siswa lain tanpa memberi komentar lebih lanjut.

     

    Kemudian, Hazara berbicara, meski nada suaranya terdengar ragu. “Saya pikir puisi ini juga menunjukkan bagaimana… bagaimana seseorang bisa merasa kesepian meskipun terlihat bebas.”

     

    Wajah Bu Inrani berubah. Senyum muncul di wajahnya. “Hazara, itu interpretasi yang sangat peka. Kamu memahami emosi yang tersembunyi dalam puisi ini, dan itu sangat baik. Teman-teman, kalian bisa belajar dari cara Hazara menangkap makna seperti ini.”

     

    Ananta menunduk, jari-jarinya meremas sudut kertas yang ada di meja. Ia merasa seperti bayangan di sudut ruangan, hanya ada tetapi tidak benar-benar terlihat.

     

     

    Setelah pelajaran selesai, Ananta memutuskan untuk berbicara dengan Bu Inrani. Ia menunggu di depan meja guru, sementara yang lain mulai berkemas untuk pulang.

     

    “Bu, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan nada pelan.

     

    Bu Inrani menoleh dan mengangguk. “Tentu, Ananta. Ada apa?”

     

    Ananta ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Saya ingin tahu, apakah saya melakukan sesuatu yang salah? Maksud saya, dalam tugas-tugas saya, apakah ada yang kurang?”

     

    Bu Inrani mengerutkan kening, tampak bingung. “Tidak, Ananta. Tugasmu selalu bagus. Kamu selalu menunjukkan pemahaman yang baik.”

     

    “Tapi kenapa saya merasa… saya merasa tidak pernah mendapatkan pujian seperti yang lain, Bu?” Ananta mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati, meski suaranya terdengar gemetar.

     

    Bu Inrani terdiam. Ia menatap Ananta sejenak sebelum menjawab, “Ananta, kamu adalah siswa yang cerdas dan rajin. Saya selalu tahu itu. Tapi terkadang, ada hal-hal lain yang juga penting, seperti bagaimana kita berusaha menunjukkan keunikan kita, bagaimana kita membawa diri.”

     

    Ananta merasa hatinya tenggelam. Kata-kata itu, meski mungkin dimaksudkan untuk membangun, justru terasa seperti dinding lain yang membatasi dirinya.

     

    “Jadi, artinya saya harus lebih… menonjol, begitu?” tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya.

     

    “Bukan begitu, Ananta. Kamu sudah hebat dengan caramu sendiri. Tetapi, terkadang, kehebatan itu perlu lebih terlihat,” jawab Bu Inrani dengan senyum kecil.

     

    Ananta hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa jawaban itu tidak memuaskannya. Ia berjalan keluar kelas dengan langkah pelan, membawa rasa hampa yang semakin berat.

     

     

    Di perjalanan pulang, ia memikirkan kata-kata Bu Inrani. Ia tahu dirinya tidak bisa mengubah siapa dirinya begitu saja. Ia tidak bisa tiba-tiba menjadi seseorang yang menonjol hanya demi mendapatkan pujian.

     

    Namun, ia juga tahu bahwa hidupnya tidak bisa terus-menerus bergantung pada harapan untuk dihargai orang lain. Ia harus menemukan cara untuk menghargai dirinya sendiri, bahkan ketika dunia di sekitarnya tidak melakukannya.

     

    Saat langkahnya tiba di depan pintu rumah, ia menghela napas panjang. 

     

    “Mungkin aku tidak butuh pujian itu,” katanya pada dirinya sendiri, meski hatinya tahu bahwa ia masih berharap—meskipun hanya sedikit—untuk suatu hari didengar dan diakui.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 10)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021