Nilai yang Tidak Seimbang
Pagi itu, suasana kelas XI B Bahasa tampak lebih hidup dari biasanya. Sebagian besar siswa berkumpul dalam kelompok masing-masing, membicarakan hasil tugas presentasi kelompok yang akan diumumkan oleh Bu Inrani hari ini. Beberapa tampak optimis, sementara yang lain terlihat was-was.
Di salah satu sudut kelas, Ananta duduk bersama kelompoknya—Rina, Faisal, dan Dea. Mereka telah bekerja keras untuk tugas ini. Selama seminggu terakhir, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, mencari referensi, menyusun slide presentasi, dan memastikan data yang mereka gunakan relevan.
“Aku yakin kita bisa dapat nilai bagus,” kata Faisal dengan nada optimis. “Presentasi kita lengkap banget, bahkan lebih detail dari kelompok lain.”
Dea mengangguk setuju. “Iya, kita juga menjawab semua pertanyaan Bu Inrani dengan baik. Aku nggak tahu apalagi yang bisa kurang.”
Ananta hanya tersenyum kecil. Meski ia ikut merasa percaya diri, pengalaman sebelumnya membuatnya sedikit skeptis. Baginya, usaha keras tidak selalu berbanding lurus dengan penghargaan yang diberikan.
—
Saat bel berbunyi, Bu Inrani masuk ke kelas dengan tumpukan kertas di tangannya. Wajahnya tenang seperti biasa, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat semua siswa terdiam.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapa Bu Inrani, disambut seruan serempak dari seluruh kelas.
“Saya sudah memeriksa tugas kelompok kalian,” katanya sambil meletakkan tumpukan kertas di meja.
“Secara umum, saya melihat ada banyak kemajuan. Beberapa kelompok benar-benar menunjukkan usaha mereka, dan itu saya apresiasi.”
Suasana kelas tegang. Semua mata tertuju pada Bu Inrani, menunggu nama kelompok mereka dipanggil.
“Kelompok pertama, Hazara dan kawan-kawan,” kata Bu Inrani.
“Kalian mendapatkan nilai tertinggi, 90. Presentasi kalian sangat menarik. Gaya penyampaian yang santai tapi percaya diri, ditambah visual yang menarik, membuat saya yakin bahwa kalian memahami materi dengan baik.”
Hazara tersenyum lebar. Teman-teman sekelompoknya saling tos dengan penuh semangat.
Di meja Ananta, keheningan terasa berat. Dea mendesah pelan, sementara Faisal mengerutkan dahi.
Bu Inrani melanjutkan pembacaan nilai. Kelompok demi kelompok dipanggil, hingga akhirnya giliran kelompok Ananta.
“Kelompok Ananta dan kawan-kawan,” kata Bu Inrani. “Kalian mendapatkan nilai 75. Materi kalian sebenarnya sangat lengkap dan mendalam, tetapi penyampaiannya terlalu kaku. Kurangnya visual yang menarik juga membuat saya merasa presentasi kalian kurang menghidupkan suasana.”
Ananta merasa dadanya sesak. 75? Ia mencoba mencerna alasan yang diberikan Bu Inrani, tetapi rasanya tidak masuk akal. Kelompok mereka telah menjawab setiap pertanyaan dengan rinci, bahkan menambahkan analisis yang tidak diminta. Bagaimana mungkin hal-hal itu tidak cukup dihargai?
—
Setelah kelas usai, kelompok Ananta berkumpul di dekat meja mereka. Wajah Faisal merah karena menahan emosi.
“Ini nggak adil!” katanya dengan suara tertahan.
“Kita kerja mati-matian buat tugas ini, tapi cuma dapat nilai 75? Kelompok Hazara cuma ngomong hal-hal dasar, tapi mereka malah dapat 90!”
“Dan alasan Bu Inrani itu…” tambah Dea. “Visual nggak menarik? Memangnya itu penting banget, ya? Ini tugas Bahasa Indonesia, bukan desain grafis!”
Rina mencoba menenangkan, meski wajahnya juga menunjukkan rasa kecewa. “Mungkin kita harus bicara langsung sama Bu Inrani, tanya kenapa nilainya seperti itu.”
Ananta menggeleng pelan. “Percuma,” katanya.
“Bu Inrani pasti punya alasan sendiri. Kalau kita protes, mungkin saja beliau malah merasa kita tidak menerima kritik.”
“Tapi ini jelas-jelas nggak adil, Nanta!” Faisal bersikeras. “Kita harusnya dapat lebih dari ini.”
Ananta hanya diam. Dalam hatinya, ia setuju dengan Faisal. Namun, ia juga tahu bahwa mempertanyakan keputusan guru seperti Bu Inrani bukanlah hal yang mudah.
—
Di sisi lain kelas, Hazara dan teman-temannya masih asyik merayakan keberhasilan mereka. Hazara melihat ke arah kelompok Ananta dan tersenyum canggung. Ia berjalan mendekat dengan ragu.
“Ananta,” panggilnya pelan.
Ananta menoleh. “Ya?”
“Aku… aku cuma mau bilang, tugas kelompok kalian itu bagus banget. Aku bahkan nggak ngerti kenapa nilai kalian cuma 75,” katanya dengan nada tulus.
Ucapan itu, meski dimaksudkan untuk menghibur, justru menambah perasaan pahit di hati Ananta.
“Terima kasih, Hazara,” jawabnya singkat, mencoba tersenyum.
Namun, Faisal yang berdiri di sebelahnya tidak bisa menahan diri. “Hazara, kalian dapat nilai 90 cuma karena presentasi kalian terlihat keren. Itu nggak adil buat kami yang kerja keras di isi materinya.”
Hazara terkejut mendengar nada tajam Faisal. “Aku nggak bilang itu adil. Aku cuma mau bilang kalau aku juga heran kenapa nilai kalian segitu.”
Faisal mendengus, tapi tidak berkata lagi. Hazara akhirnya kembali ke tempatnya, meninggalkan kelompok Ananta dengan keheningan yang tegang.
—
Di rumah, Ananta duduk di mejanya, memandangi slide presentasi yang telah mereka buat. Ia membaca ulang poin-poin materi yang mereka susun dengan hati-hati, mencoba mencari tahu apa yang salah. Tapi semakin ia melihatnya, semakin ia yakin bahwa tidak ada yang salah.
Ia mengingat kata-kata Bu Inrani: “Kerja keras juga harus ditunjang dengan cara penyampaian yang menarik.” Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, seolah menjadi pengingat akan sesuatu yang tidak pernah ia miliki—kemampuan untuk “menarik perhatian.”
Ananta menghela nafas panjang. “Mungkin aku memang terlalu biasa,” gumamnya pada diri sendiri.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan tentang dirinya saja. Ini tentang bagaimana usaha seringkali diabaikan hanya karena tidak dibalut dengan kemasan yang mencolok. Dan itu membuatnya bertanya-tanya, apakah dunia selalu seperti ini?
—
Keesokan harinya, Ananta mencoba bersikap biasa di kelas. Namun, bayangan ketidakadilan itu masih membekas di hatinya. Ia melihat Hazara dari kejauhan, berbicara dengan teman-temannya sambil tertawa kecil.
Meski ada rasa iri, Ananta juga merasa bahwa Hazara tidak sepenuhnya salah. Ini bukan tentang siapa yang lebih baik, tetapi tentang sistem yang tidak menghargai usaha dengan cara yang seharusnya.
Saat bel berbunyi, ia memutuskan untuk melangkah ke depan kelas. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan, tetapi ia merasa perlu mengungkapkan sesuatu—bukan untuk mencari simpati, tetapi untuk menyuarakan apa yang ia rasakan.
“Bu Inrani,” panggilnya saat sang guru sedang membereskan buku.
Bu Inrani menoleh. “Ada apa, Ananta?”
“Tidak ada apa-apa, Bu. Saya hanya ingin bertanya,” katanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Menurut Ibu, apakah kerja keras saja tidak cukup untuk dihargai?”
Pertanyaan itu membuat Bu Inrani terdiam sejenak. Ia menatap Ananta dengan raut wajah yang sulit diartikan, seolah mencoba mencari jawaban yang tepat.
“Kerja keras itu penting, Ananta,” jawabnya akhirnya.
“Tapi di dunia nyata, kita juga perlu menunjukkan hasil kerja keras itu dengan cara yang bisa menarik perhatian orang lain.”
Ananta hanya mengangguk. Jawaban itu tidak memuaskannya, tetapi setidaknya ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia berjalan kembali ke tempat duduknya, dengan satu tekad baru di hatinya: jika dunia tidak bisa melihat usahanya, maka ia akan menemukan cara untuk membuat dunia melihatnya—tanpa harus kehilangan dirinya sendiri.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 11)
Sorry, comment are closed for this post.