Kemarahan di Belakang Meja
Suara bel tanda pulang sekolah menggema di seluruh penjuru sekolah, membawa hiruk-pikuk siswa yang berkemas dan bergegas meninggalkan kelas. Namun, Ananta tidak ikut beranjak dari tempat duduknya. Ia tetap diam, membiarkan keramaian itu berlalu seperti angin yang mengabaikannya. Di atas mejanya, buku catatan Bahasa Indonesia terbuka pada halaman terakhir, penuh coretan kecil yang tidak beraturan.
Pandangannya kosong, tertuju pada kata-kata yang ia tuliskan sendiri beberapa hari lalu. Kutipan puisi Chairil Anwar: “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Tapi bagi Ananta, saat ini bahkan satu menit pun terasa terlalu berat untuk dijalani.
Di sekelilingnya, kelas mulai sepi. Teman-temannya telah pergi, meninggalkan suara langkah kaki yang semakin mengecil di koridor. Beberapa kali, ia mendengar suara dari halaman sekolah: tawa riang teman-temannya yang pulang bersama, gumaman obrolan yang terdengar ringan, seperti dunia ini adalah tempat yang begitu adil dan menyenangkan.
Namun, bagi Ananta, keadilan adalah sesuatu yang terasa jauh, sesuatu yang ia pertanyakan sejak lama. Ia ingin marah, ingin meledak, tetapi tidak tahu harus melampiaskannya kepada siapa.
—
Dea, salah satu teman sekelompoknya, mendekat pelan-pelan.
“Nanta, kamu nggak pulang?” tanyanya dengan nada ragu.
Ananta menoleh sekilas, lalu menggeleng tanpa suara. Dea menggeser kursinya mendekat, duduk di sebelahnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Aku tahu kamu kecewa,” kata Dea pelan.
“Aku juga. Kita semua. Tapi… ya, nggak ada yang bisa kita lakukan, kan? Bu Inrani ya begitu.”
Ananta menatap Dea. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuat amarahnya semakin memuncak, tetapi ia menahannya.
“Jadi kita cuma harus nerima aja?” tanyanya, dengan suara yang lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Dea terdiam sejenak, lalu menghela napas.
“Aku nggak bilang kita harus menerima, Nanta. Tapi… ya, kadang memang dunia ini nggak adil. Kita cuma bisa terus jalan, kan?”
Kalimat itu, meskipun terdengar bijak, tidak memberikan ketenangan bagi Ananta. Justru sebaliknya, kata-kata itu terasa seperti tembok yang semakin menekannya ke sudut sempit.
—
Setelah Dea pergi, Ananta kembali duduk diam di tempatnya. Ia merasakan sesuatu yang panas di dadanya, seperti api yang tak kunjung padam. Tangannya mengepal di bawah meja, hingga buku jarinya memutih. Ia menatap buku catatannya lagi, mencoba membaca kata-kata di sana, tetapi pandangannya kabur oleh emosi yang membara.
“Kenapa semuanya harus begini?” gumamnya pada dirinya sendiri.
Bayangan wajah Bu Inrani melintas di benaknya—tatapan dingin yang selalu tampak tenang, tetapi penuh penilaian yang ia rasakan begitu tidak adil. Suara pujian yang terdengar manis, tetapi hanya ditujukan untuk mereka yang tampak “sempurna” di mata sang guru.
Ananta ingin berbicara, ingin bertanya langsung kepada Bu Inrani, tetapi ia tahu bahwa itu tidak akan mengubah apa pun. Bu Inrani adalah seorang guru, seseorang yang memiliki kuasa penuh di kelas. Pendapatnya adalah sesuatu yang tidak bisa digugat.
—
Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Faisal muncul dari pintu kelas, membawa tas di punggungnya.
“Kamu masih di sini?” tanya Faisal sambil berjalan mendekat.
Ananta hanya mengangguk pelan.
Faisal menarik kursi dan duduk di depannya. Wajahnya serius, tetapi ada kilatan solidaritas di matanya.
“Aku tahu kamu marah, Nanta. Aku juga. Kita semua. Tapi kita nggak bisa terus kayak gini.”
“Aku cuma nggak ngerti, Sal,” jawab Ananta akhirnya. “Kenapa usaha kita nggak pernah cukup? Kenapa mereka yang hanya peduli pada penampilan bisa dapat segalanya?”
Faisal diam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku juga nggak tahu, Nanta. Tapi aku rasa… mungkin itu karena mereka tahu cara ‘jual diri.’ Mereka tahu gimana caranya bikin orang lain terkesan, bahkan kalau isi kepala mereka nggak sebanyak kita.”
“Kamu bilang kita harus jadi kayak mereka?” tanya Ananta, suaranya penuh skeptisisme.
“Bukan,” jawab Faisal cepat.
“Aku cuma bilang, mungkin kita perlu belajar gimana caranya bikin orang ‘melihat’ kita. Kita udah punya isinya, Nanta. Kita cuma butuh kemasan yang tepat.”
Kata-kata Faisal membuat Ananta berpikir. Ia tahu bahwa Faisal tidak sepenuhnya salah, tetapi ide itu tetap terasa pahit. Haruskah ia mengubah dirinya hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain?
—
Hari semakin sore. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kelas memantulkan bayangan panjang di lantai. Ananta memandang ke luar, melihat beberapa siswa yang masih bermain bola di lapangan. Mereka tampak begitu bebas, seolah tidak pernah memikirkan hal-hal rumit seperti dirinya.
Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah mereka juga pernah merasa seperti ini—marah, kecewa, dan tidak dihargai. Atau apakah hanya dirinya yang terus-menerus bergumul dengan perasaan itu?
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Namun, bayangan kata-kata Bu Inrani kembali mengusik pikirannya: “Kerja keras juga harus ditunjang dengan cara penyampaian yang menarik.”
Kalimat itu terdengar benar, tetapi juga begitu menyakitkan. Apakah itu artinya kerja keras tanpa “kemasan” tidak ada artinya?
—
Saat Ananta akhirnya berdiri untuk pulang, ia merasa sedikit lebih tenang. Namun, amarah itu masih ada, seperti bara yang tersembunyi di balik abu. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangannya.
Sebelum meninggalkan kelas, ia menatap papan tulis yang masih dipenuhi tulisan Bu Inrani. Ada satu kalimat di sana, sisa dari pelajaran tadi pagi: “Keberhasilan tidak hanya tentang apa yang kita capai, tetapi juga tentang bagaimana kita mencapai itu.”
Ananta tersenyum pahit. Kata-kata itu terdengar seperti ironi baginya, tetapi mungkin, di balik rasa pahit itu, ada sesuatu yang bisa ia pelajari.
Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Dan meskipun ia merasa marah dan kecewa, ia tidak akan berhenti. Dunia mungkin tidak adil, tetapi ia tidak akan membiarkan ketidakadilan itu menghentikannya.
Dengan langkah pelan tetapi mantap, Ananta meninggalkan kelas, membawa amarahnya sebagai bahan bakar untuk melangkah lebih jauh.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 12)
Sorry, comment are closed for this post.