Bu Inrani Selalu Punya Favorit
Pagi itu, ruang kelas dipenuhi suara bisik-bisik yang lebih ramai dari biasanya. Bisikan itu seperti angin yang menyelinap ke setiap sudut ruangan, membawa nada kecurigaan dan ketidakpuasan. Semua bermula dari sebuah komentar ringan yang dilontarkan oleh Rani, salah satu siswa yang terkenal jeli mengamati keadaan.
“Kalian sadar nggak sih, Bu Inrani tuh kayaknya cuma peduli sama Hazara?” Rani berbisik kepada teman sebangkunya, namun kata-katanya segera menyebar lebih cepat daripada kilat.
Ananta yang duduk di barisan tengah mencoba tidak memperhatikan pembicaraan itu, tetapi sulit untuk mengabaikannya. Suara-suara itu semakin keras, seperti melodi sumbang yang memantul di antara dinding-dinding kelas.
“Dia selalu panggil Hazara waktu jawab pertanyaan,” kata seorang siswa di belakang.
“Dan, waktu tugas kelompok, kelompok Hazara dapat perhatian lebih,” tambah yang lain.
“Apa karena Hazara cantik?” celetuk seseorang dengan nada menggoda, disusul tawa kecil yang berusaha diredam.
Ananta hanya bisa mendesah dalam hati. Meski ia tidak ikut bergabung dalam obrolan itu, ia tahu apa yang mereka bicarakan benar adanya. Sejak awal semester, Hazara memang seperti pusat perhatian di kelas, dan Bu Inrani tampaknya tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
—
Ketika Bu Inrani memasuki kelas, suasana langsung berubah. Bisikan-bisikan itu menghilang seperti debu yang disapu angin. Semua siswa duduk tegak, memasang wajah siap belajar. Namun, suasana hati Ananta sudah terlanjur terisi oleh keheningan yang berat.
Bu Inrani, dengan sikapnya yang anggun seperti biasa, berdiri di depan kelas sambil membawa beberapa lembar kertas. “Hari ini kita akan membahas tugas esai yang kalian kumpulkan minggu lalu,” katanya.
Ia mulai menyebutkan beberapa nama untuk memberikan komentar atas pekerjaan mereka. Ananta menunggu dengan cemas, berharap namanya dipanggil. Bukan karena ia haus akan pujian, tetapi lebih kepada keinginan untuk merasa diakui.
“Hazara, esaimu sangat menarik. Saya bisa merasakan emosi yang kamu tuangkan di dalamnya. Kamu menulis dengan sangat baik,” kata Bu Inrani, senyumnya tulus seperti mentari pagi.
Hazara, yang duduk di barisan depan, tersenyum penuh percaya diri. Ia menerima komentar itu dengan anggukan kecil, seolah itu adalah sesuatu yang sudah ia duga.
Bu Inrani melanjutkan dengan menyebut beberapa nama lain, memberikan komentar singkat dan formal. Ketika akhirnya nama Ananta disebut, ia menahan napas.
“Ananta, esaimu cukup bagus,” kata Bu Inrani singkat, tanpa nada antusiasme yang sama seperti saat ia memuji Hazara.
Hati Ananta terasa seperti dihantam sesuatu yang berat. Ia tahu bahwa kata “cukup bagus” seharusnya menjadi sesuatu yang positif, tetapi nada datar Bu Inrani membuatnya terdengar seperti penilaian yang kosong.
—
Setelah pelajaran selesai, ruang kelas kembali dipenuhi bisik-bisik.
“Tuh kan, lihat aja. Hazara lagi yang dipuji,” ujar Rani sambil menggelengkan kepala.
“Iya. Padahal aku baca esainya Hazara, biasa aja kok,” kata Faisal.
“Hazara itu pintar ngomong, jadi orang suka aja dengar dia,” balas Rani.
Ananta tetap diam, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan hal yang sama. Ia mulai memperhatikan pola-pola itu, mencatat siapa yang sering dipanggil, siapa yang mendapat perhatian lebih, dan siapa yang selalu diabaikan.
—
Hari itu, di kantin sekolah, Ananta duduk bersama teman-temannya sambil memakan sepiring nasi goreng yang sudah dingin. Obrolan tentang favoritisme Bu Inrani masih menjadi topik utama.
“Menurut kalian, kenapa Bu Inrani selalu pilih kasih?” tanya Dea, yang duduk di sebelah Ananta.
“Mungkin dia cuma suka yang kelihatan menonjol,” jawab Faisal sambil menyeruput jus jeruknya.
“Tapi nggak adil, kan?” Rani menimpali. “Kita semua berusaha, tapi kenapa cuma yang kayak Hazara yang dihargai?”
Ananta, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Mungkin karena kita nggak cukup kelihatan,” katanya pelan, tetapi cukup keras untuk didengar semua orang di meja itu.
Dea menatapnya dengan bingung. “Maksudmu?”
“Kita mungkin kerja keras, tapi kita nggak tahu gimana caranya bikin kerja keras itu terlihat,” jawab Ananta. “Aku bukan bilang itu benar, tapi mungkin itu yang Bu Inrani cari.”
Kata-kata Ananta membuat meja itu terdiam. Mereka semua merenungkan apa yang baru saja ia katakan.
—
Ketika Ananta kembali ke kelas setelah istirahat, ia menemukan Hazara sedang berbicara dengan Bu Inrani di depan. Wajah Hazara bersinar dengan senyum lebar, sementara Bu Inrani tampak mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ananta menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa iri dengan perhatian yang Hazara dapatkan. Di sisi lain, ia bertanya-tanya apakah mungkin ada sesuatu yang bisa ia pelajari dari Hazara.
Namun, ia segera mengenyahkan pikiran itu. Baginya, menjadi seperti Hazara bukanlah solusi. Ia tidak ingin mengorbankan dirinya hanya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.
—
Saat hari mulai beranjak sore, Ananta duduk di mejanya sambil memikirkan semua yang terjadi hari itu. Ia merasa seperti bayangan di kelas, seseorang yang keberadaannya hampir tidak terlihat.
Namun, di balik rasa kecewa itu, ia tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk bangkit. Ia tidak bisa terus-menerus membiarkan dirinya tenggelam dalam ketidakadilan.
Ananta membuka buku catatannya dan mulai menulis, mencoba menuangkan perasaannya ke dalam kata-kata. Bagi Ananta, menulis adalah cara untuk mengekspresikan dirinya, untuk mengungkapkan apa yang tidak bisa ia katakan dengan suara.
Di halaman itu, ia menulis sebuah kalimat yang sederhana, tetapi penuh makna: “Kadang, bayangan lebih kuat dari cahaya, karena ia tahu bagaimana bertahan dalam gelap.”
Ananta tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan berhenti mencoba. Dunia mungkin tidak adil, tetapi ia akan menemukan caranya sendiri untuk bersinar.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 13)
Sorry, comment are closed for this post.