Saat Cantik Mendominasi Semua
Pagi itu, langit di atas sekolah tampak cerah, tetapi suasana hati para siswa di kelas Bu Inrani jauh dari cerah. Mereka duduk di bangku masing-masing, menunggu pelajaran dimulai. Di depan kelas, Hazara berdiri, menatap papan tulis dengan dahi sedikit berkerut. Ia tengah diminta menjawab pertanyaan yang Bu Inrani berikan.
“Soal ini agak rumit, Bu.” kata Hazara dengan suara pelan, nada bicaranya penuh keraguan.
“Itu tidak apa-apa, Hazara. Coba pikirkan lagi. Saya yakin kamu bisa,” jawab Bu Inrani, senyum sabarnya terpancar jelas. Ia bahkan melangkah mendekati Hazara, menunjuk bagian tertentu di papan tulis sambil memberikan petunjuk.
Ananta, yang duduk di barisan tengah, hanya bisa menatap pemandangan itu dengan rasa getir. Ia mengingat kembali bagaimana, beberapa minggu lalu, ia sendiri diminta menjawab soal yang serupa. Ketika ia salah menjawab, Bu Inrani dengan cepat menyuruhnya kembali duduk tanpa penjelasan lebih lanjut. Tak ada senyum sabar, tak ada bimbingan khusus seperti yang kini Hazara dapatkan.
Di sekelilingnya, teman-teman sekelas saling bertukar pandang, beberapa dari mereka menghela nafas panjang. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar lagi.
“Lihat tuh, sabarnya Bu Inrani kalau sama Hazara beda banget,” Rani berbisik ke Dea.
“Iya, kalau kita sih pasti langsung disuruh duduk,” Dea menjawab dengan nada sinis.
Ananta mencoba fokus pada catatannya, tetapi bisikan-bisikan itu terus menyelinap ke telinganya, menggema bersama rasa frustrasi yang mulai merayap di hatinya.
—
Setelah beberapa menit berlalu, Hazara akhirnya berhasil memberikan jawaban yang benar.
“Nah, kan? Kamu bisa! Bagus sekali, Hazara,” ujar Bu Inrani dengan nada penuh pujian.
Hazara tersenyum lebar. Ia berjalan kembali ke bangkunya dengan kepala tegak, seperti seorang pemenang yang baru saja menerima penghargaan.
Namun, suasana di kelas tetap terasa berat. Wajah-wajah para siswa lain, termasuk Ananta, memperlihatkan ekspresi yang sulit dibaca—kombinasi antara kecewa dan marah yang tak terucapkan.
—
Jam istirahat tiba, dan seperti biasa, kelompok Ananta berkumpul di pojok kantin. Suasana di meja mereka kali ini lebih sunyi dari biasanya.
“Kalau begini terus, apa gunanya kita belajar mati-matian?” Faisal akhirnya membuka suara, memecah keheningan.
“Kamu tahu kan jawabannya,” Rani menimpali. “Karena kita bukan Hazara.”
Dea, yang biasanya ceria, terlihat murung. “Aku nggak ngerti kenapa guru kayak Bu Inrani bisa bersikap seperti itu. Apa karena Hazara cantik? Apa cuma itu yang penting?”
Ananta menatap teman-temannya satu per satu. Ia tahu mereka semua merasakan hal yang sama—rasa tidak adil yang semakin hari semakin sulit diterima. Tetapi meskipun rasa frustrasi itu membuncah di dalam dirinya, ia juga tahu bahwa mengeluh saja tidak akan mengubah apa pun.
“Jadi, kita harus gimana?” tanya Faisal sambil menatap Ananta.
Pertanyaan itu membuat Ananta terdiam. Apa yang bisa mereka lakukan? Bagaimana cara mereka menghadapi seorang guru yang jelas-jelas memiliki favoritisme?
“Aku nggak tahu,” jawab Ananta akhirnya, suaranya pelan. “Tapi, kalau kita diam saja, keadaan ini nggak akan berubah.”
Rani mengangkat alisnya. “Maksudmu, kita harus ngomong langsung ke Bu Inrani?”
“Bukan itu,” kata Ananta cepat. “Tapi mungkin kita bisa tunjukkan kalau kita juga layak diperhatikan. Kalau kita bisa bersinar tanpa perlu jadi favorit siapapun.”
—
Ketika pelajaran berikutnya dimulai, Ananta mencoba membangun kembali semangatnya. Ia mendengarkan setiap kata yang Bu Inrani ucapkan, mencatat dengan teliti, dan bahkan mengajukan beberapa pertanyaan saat diskusi berlangsung.
Namun, setiap kali ia melihat Hazara yang mendapat perhatian lebih, semangat itu perlahan terkikis.
Hari itu, Bu Inrani memberikan tugas kelompok untuk diselesaikan selama seminggu ke depan. Hazara, seperti biasa, dipasangkan dengan teman-teman yang populer. Ananta, Faisal, Dea, dan Rani berada dalam satu kelompok yang sama.
“Kita harus buat presentasi yang beda dari yang lain,” ujar Ananta dengan nada tegas ketika mereka mulai berdiskusi setelah jam pelajaran.
“Kayak gimana?” tanya Faisal.
“Kita harus bikin sesuatu yang nggak cuma bagus secara isi, tapi juga menarik secara tampilan. Kalau Bu Inrani cuma lihat apa yang kelihatan di luar, kita tunjukin kalau kita bisa lebih dari itu,” jawab Ananta.
Dea mengangguk setuju. “Oke. Kita buat ini jadi tugas kelompok terbaik yang pernah ada.”
—
Selama seminggu penuh, kelompok Ananta bekerja keras. Mereka menghabiskan waktu di perpustakaan, mencari referensi, dan bahkan memanfaatkan akhir pekan untuk berdiskusi di rumah Faisal. Mereka membuat slide presentasi yang penuh warna, menambahkan animasi sederhana, dan berlatih menyampaikan materi dengan gaya yang menarik.
Pada hari presentasi, kelompok Ananta tampil dengan percaya diri. Mereka membuka dengan sebuah kutipan inspiratif yang langsung menarik perhatian, diikuti dengan penjelasan yang sistematis dan mendalam.
Ketika mereka selesai, seluruh kelas memberi tepuk tangan meriah. Bahkan beberapa siswa yang biasanya acuh memberikan komentar positif.
Namun, ketika giliran kelompok Hazara tiba, Ananta kembali merasakan bayangan favoritisme itu. Meski presentasi mereka tidak terlalu mendalam dan lebih mengandalkan gaya bicara Hazara yang memukau, Bu Inrani tetap memuji mereka dengan penuh antusiasme.
“Kelompok Hazara, kalian sangat luar biasa. Cara kalian menyampaikan materi begitu menarik. Ini adalah contoh presentasi yang sangat baik,” katanya dengan senyum lebar.
Ketika tiba saatnya memberikan penilaian, kelompok Hazara mendapatkan nilai tertinggi, sementara kelompok Ananta hanya mendapat nilai rata-rata.
—
Setelah kelas selesai, Ananta duduk diam di mejanya. Hatinya terasa berat, seolah-olah semua usaha yang ia dan teman-temannya lakukan sia-sia.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Dea, mendekatinya.
Ananta menggeleng. “Aku nggak ngerti kenapa semuanya selalu tentang Hazara. Apapun yang kita lakukan, rasanya nggak pernah cukup.”
Faisal, yang berdiri di dekat pintu, menambahkan, “Mungkin benar kata Rani. Kalau kita bukan favorit, nggak peduli seberapa keras kita berusaha, kita nggak akan pernah diperhatikan.”
Ananta menghela napas panjang. Ia tahu teman-temannya benar, tetapi ia juga tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk menemukan cara agar mereka bisa bersinar, meski berada di bawah bayang-bayang Hazara.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 14)
Sorry, comment are closed for this post.