KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 17)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 17)

    BY 14 Feb 2025 Dilihat: 71 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 17)_alineaku

    Percakapan Rahasia di Pojok Kelas

    Kelas sudah kosong dari suara tawa dan langkah kaki. Sebagian besar siswa sudah meninggalkan ruangan untuk menikmati waktu istirahat. Namun, di pojok kelas, sekelompok kecil siswa duduk melingkar. Wajah-wajah mereka serius, sorot mata mereka dipenuhi tekad bercampur keraguan.

     

    Ananta berada di tengah lingkaran, memegang selembar kertas kosong di tangannya. Kertas itu seolah menjadi simbol dari banyaknya pertanyaan dan keluhan yang ingin ia sampaikan kepada Bu Inrani. Di sebelahnya, Dea duduk dengan tangan terlipat di depan dada, dagunya sedikit terangkat. Faisal bersandar di dinding dengan tangan di saku, sementara Rani tampak gelisah, menggigit ujung bolpoinnya.

     

    “Kita nggak bisa terus-terusan ngomong di belakang,” kata Ananta membuka percakapan, suaranya rendah tetapi tegas. “Kita harus ngasih tahu Bu Inrani soal ini. Kalau nggak, kita akan terus merasa nggak dihargai.”

     

    Rani mengangguk pelan, tetapi matanya memandang lantai. “Tapi, gimana cara kita ngomongnya? Kalau kita tiba-tiba bilang soal ini, dia bisa marah. Apalagi kalau dia ngerasa kita cuma protes tanpa alasan yang jelas.”

     

    Dea menghela napas panjang. “Makanya, kita harus punya cara. Aku pikir, mungkin kita bisa nulis surat. Surat itu bisa kita susun bareng-bareng, terus kasih ke Bu Inrani tanpa harus ngomong langsung.”

     

    “Surat?” Faisal mengangkat alis. “Kamu yakin dia bakal baca? Maksudku, gimana kalau dia cuma ngelirik terus dibuang?”

     

    “Kalau suratnya sopan dan isinya kuat, aku yakin dia akan baca,” balas Dea, nada suaranya mempertahankan keyakinannya.

     

    Namun, Ananta tampak tak sepenuhnya setuju. Ia menggeleng pelan. “Kita udah cukup lama diam. Kalau cuma nulis surat, aku rasa nggak akan cukup. Kita harus ngomong langsung. Kita harus tunjukin kalau kita serius.”

     

    Faisal menatap Ananta dengan ragu. “Ngomong langsung di depan kelas? Kamu gila, Nan? Itu sama aja kayak cari masalah.”

     

    “Kalau nggak ada yang mulai, masalah ini nggak akan selesai,” jawab Ananta. Ada determinasi dalam suaranya yang membuat suasana hening sesaat.

     

    Rani akhirnya angkat bicara, suaranya nyaris seperti bisikan. “Kalau kita ngomong langsung, kita harus pastikan semua orang setuju. Jangan sampai ada yang ngebelot atau malah bikin suasana jadi lebih buruk.”

     

    Dea menambahkan, “Dan, kita harus hati-hati sama cara ngomong kita. Jangan sampai terdengar kayak menyerang Bu Inrani. Kita cuma mau dia ngerti perasaan kita.”

     

    Ananta mengangguk. “Itu yang aku pikirin juga. Kita nggak akan nyalahin dia secara langsung. Kita cuma mau dia tahu, kalau ada yang nggak adil, itu bikin kita nggak nyaman. Kita cuma minta dia lebih perhatian sama kerja keras, bukan cuma penampilan.”

     

    Faisal, yang sedari tadi diam, akhirnya menghela napas panjang. “Oke. Kalau kalian memang yakin ini cara terbaik, aku ikut. Tapi kita harus siap kalau hasilnya nggak sesuai harapan.”

     

     

    Setelah diskusi singkat itu, mereka mulai menyusun rencana. Ananta mengambil bolpoin dan mulai menulis di kertas kosongnya, mencoba merangkai kalimat yang akan mereka gunakan.

     

    “Kita nggak bisa ngomong semuanya sekaligus. Harus pelan-pelan, supaya nggak bikin dia defensif,” katanya sambil menulis.

     

    “Kamu aja yang ngomong, Nan,” kata Dea tiba-tiba. “Kamu yang paling berani di antara kita.”

     

    Ananta terdiam, tangannya berhenti menulis. Ia tahu, apa yang Dea katakan benar. Tetapi keberanian itu juga datang dengan beban besar. Ia tidak hanya akan bicara untuk dirinya sendiri, tetapi untuk teman-temannya juga.

     

    “Aku akan coba,” jawabnya akhirnya, suaranya sedikit bergetar. 

     

    “Tapi aku butuh kalian untuk dukung aku. Kalau aku mulai ragu, aku butuh kalian untuk mengingatkan aku kenapa kita melakukan ini.”

     

    Semua orang mengangguk. Ada keheningan sejenak, tetapi bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang penuh dengan pemahaman dan solidaritas.

     

     

    Keesokan harinya, kelas dimulai seperti biasa. Bu Inrani masuk dengan buku catatan di tangan, senyumnya kecil tetapi tetap penuh wibawa. Ananta merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tahu, ini adalah hari di mana mereka akan mencoba mengubah sesuatu.

     

    Jam pelajaran pertama berlalu tanpa kejadian apa pun. Namun, saat istirahat tiba, Ananta memberi isyarat kepada teman-temannya. Mereka berkumpul di belakang kelas, menunggu momen yang tepat untuk berbicara.

     

    Ketika bel masuk berbunyi lagi, Ananta tahu saatnya sudah tiba. Saat Bu Inrani meminta kelas untuk membuka buku, Ananta mengangkat tangannya.

     

    “Bu, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya.

     

    Semua mata di kelas beralih padanya. Bisik-bisik kecil mulai terdengar, tetapi segera terhenti ketika Bu Inrani mengangguk.

     

    “Ada apa, Ananta?” tanyanya, nada suaranya netral.

     

    Ananta berdiri dari kursinya, merasakan tatapan teman-teman di punggungnya. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.

     

    “Bu, saya ingin menyampaikan sesuatu. Kami merasa bahwa selama ini ada beberapa hal yang mungkin tidak adil. Kami bekerja keras dalam tugas-tugas kami, tetapi terkadang kami merasa usaha kami tidak dihargai seperti seharusnya.”

     

    Kelas menjadi sunyi. Bu Inrani menatap Ananta dengan alis sedikit terangkat. 

     

    “Maksud kamu apa, Ananta?”

     

    Ananta menelan ludah, berusaha mengatur emosinya. “Kami hanya berharap, bahwa kerja keras kami juga bisa mendapat perhatian. Kami tahu bahwa cara penyampaian itu penting, tetapi… kami juga percaya bahwa isi dan usaha itu seharusnya punya nilai yang sama.”

     

    Kata-katanya menggantung di udara. Semua siswa di kelas menahan napas, menunggu reaksi Bu Inrani.

     

    Guru itu terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Terima kasih sudah menyampaikan ini, Ananta. Saya menghargai keberanian kamu untuk berbicara. Setelah pelajaran ini selesai, kita akan diskusikan ini lebih lanjut.”

     

    Ananta mengangguk, meskipun perasaannya campur aduk. Ia tidak tahu apakah respons itu berarti baik atau buruk. Tetapi setidaknya, ia telah mencoba.

     

    Di tempat duduknya, Dea menyenggol lengan Ananta. 

     

    “Kamu keren banget, Nan,” bisiknya dengan senyum kecil.

     

    Ananta hanya bisa tersenyum tipis. Hari itu mungkin belum membawa perubahan besar, tetapi ia tahu, itu adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih baik.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 17)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021