Percakapan Rahasia di Pojok Kelas
Kelas sudah kosong dari suara tawa dan langkah kaki. Sebagian besar siswa sudah meninggalkan ruangan untuk menikmati waktu istirahat. Namun, di pojok kelas, sekelompok kecil siswa duduk melingkar. Wajah-wajah mereka serius, sorot mata mereka dipenuhi tekad bercampur keraguan.
Ananta berada di tengah lingkaran, memegang selembar kertas kosong di tangannya. Kertas itu seolah menjadi simbol dari banyaknya pertanyaan dan keluhan yang ingin ia sampaikan kepada Bu Inrani. Di sebelahnya, Dea duduk dengan tangan terlipat di depan dada, dagunya sedikit terangkat. Faisal bersandar di dinding dengan tangan di saku, sementara Rani tampak gelisah, menggigit ujung bolpoinnya.
“Kita nggak bisa terus-terusan ngomong di belakang,” kata Ananta membuka percakapan, suaranya rendah tetapi tegas. “Kita harus ngasih tahu Bu Inrani soal ini. Kalau nggak, kita akan terus merasa nggak dihargai.”
Rani mengangguk pelan, tetapi matanya memandang lantai. “Tapi, gimana cara kita ngomongnya? Kalau kita tiba-tiba bilang soal ini, dia bisa marah. Apalagi kalau dia ngerasa kita cuma protes tanpa alasan yang jelas.”
Dea menghela napas panjang. “Makanya, kita harus punya cara. Aku pikir, mungkin kita bisa nulis surat. Surat itu bisa kita susun bareng-bareng, terus kasih ke Bu Inrani tanpa harus ngomong langsung.”
“Surat?” Faisal mengangkat alis. “Kamu yakin dia bakal baca? Maksudku, gimana kalau dia cuma ngelirik terus dibuang?”
“Kalau suratnya sopan dan isinya kuat, aku yakin dia akan baca,” balas Dea, nada suaranya mempertahankan keyakinannya.
Namun, Ananta tampak tak sepenuhnya setuju. Ia menggeleng pelan. “Kita udah cukup lama diam. Kalau cuma nulis surat, aku rasa nggak akan cukup. Kita harus ngomong langsung. Kita harus tunjukin kalau kita serius.”
Faisal menatap Ananta dengan ragu. “Ngomong langsung di depan kelas? Kamu gila, Nan? Itu sama aja kayak cari masalah.”
“Kalau nggak ada yang mulai, masalah ini nggak akan selesai,” jawab Ananta. Ada determinasi dalam suaranya yang membuat suasana hening sesaat.
Rani akhirnya angkat bicara, suaranya nyaris seperti bisikan. “Kalau kita ngomong langsung, kita harus pastikan semua orang setuju. Jangan sampai ada yang ngebelot atau malah bikin suasana jadi lebih buruk.”
Dea menambahkan, “Dan, kita harus hati-hati sama cara ngomong kita. Jangan sampai terdengar kayak menyerang Bu Inrani. Kita cuma mau dia ngerti perasaan kita.”
Ananta mengangguk. “Itu yang aku pikirin juga. Kita nggak akan nyalahin dia secara langsung. Kita cuma mau dia tahu, kalau ada yang nggak adil, itu bikin kita nggak nyaman. Kita cuma minta dia lebih perhatian sama kerja keras, bukan cuma penampilan.”
Faisal, yang sedari tadi diam, akhirnya menghela napas panjang. “Oke. Kalau kalian memang yakin ini cara terbaik, aku ikut. Tapi kita harus siap kalau hasilnya nggak sesuai harapan.”
—
Setelah diskusi singkat itu, mereka mulai menyusun rencana. Ananta mengambil bolpoin dan mulai menulis di kertas kosongnya, mencoba merangkai kalimat yang akan mereka gunakan.
“Kita nggak bisa ngomong semuanya sekaligus. Harus pelan-pelan, supaya nggak bikin dia defensif,” katanya sambil menulis.
“Kamu aja yang ngomong, Nan,” kata Dea tiba-tiba. “Kamu yang paling berani di antara kita.”
Ananta terdiam, tangannya berhenti menulis. Ia tahu, apa yang Dea katakan benar. Tetapi keberanian itu juga datang dengan beban besar. Ia tidak hanya akan bicara untuk dirinya sendiri, tetapi untuk teman-temannya juga.
“Aku akan coba,” jawabnya akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
“Tapi aku butuh kalian untuk dukung aku. Kalau aku mulai ragu, aku butuh kalian untuk mengingatkan aku kenapa kita melakukan ini.”
Semua orang mengangguk. Ada keheningan sejenak, tetapi bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang penuh dengan pemahaman dan solidaritas.
—
Keesokan harinya, kelas dimulai seperti biasa. Bu Inrani masuk dengan buku catatan di tangan, senyumnya kecil tetapi tetap penuh wibawa. Ananta merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tahu, ini adalah hari di mana mereka akan mencoba mengubah sesuatu.
Jam pelajaran pertama berlalu tanpa kejadian apa pun. Namun, saat istirahat tiba, Ananta memberi isyarat kepada teman-temannya. Mereka berkumpul di belakang kelas, menunggu momen yang tepat untuk berbicara.
Ketika bel masuk berbunyi lagi, Ananta tahu saatnya sudah tiba. Saat Bu Inrani meminta kelas untuk membuka buku, Ananta mengangkat tangannya.
“Bu, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya.
Semua mata di kelas beralih padanya. Bisik-bisik kecil mulai terdengar, tetapi segera terhenti ketika Bu Inrani mengangguk.
“Ada apa, Ananta?” tanyanya, nada suaranya netral.
Ananta berdiri dari kursinya, merasakan tatapan teman-teman di punggungnya. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.
“Bu, saya ingin menyampaikan sesuatu. Kami merasa bahwa selama ini ada beberapa hal yang mungkin tidak adil. Kami bekerja keras dalam tugas-tugas kami, tetapi terkadang kami merasa usaha kami tidak dihargai seperti seharusnya.”
Kelas menjadi sunyi. Bu Inrani menatap Ananta dengan alis sedikit terangkat.
“Maksud kamu apa, Ananta?”
Ananta menelan ludah, berusaha mengatur emosinya. “Kami hanya berharap, bahwa kerja keras kami juga bisa mendapat perhatian. Kami tahu bahwa cara penyampaian itu penting, tetapi… kami juga percaya bahwa isi dan usaha itu seharusnya punya nilai yang sama.”
Kata-katanya menggantung di udara. Semua siswa di kelas menahan napas, menunggu reaksi Bu Inrani.
Guru itu terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Terima kasih sudah menyampaikan ini, Ananta. Saya menghargai keberanian kamu untuk berbicara. Setelah pelajaran ini selesai, kita akan diskusikan ini lebih lanjut.”
Ananta mengangguk, meskipun perasaannya campur aduk. Ia tidak tahu apakah respons itu berarti baik atau buruk. Tetapi setidaknya, ia telah mencoba.
Di tempat duduknya, Dea menyenggol lengan Ananta.
“Kamu keren banget, Nan,” bisiknya dengan senyum kecil.
Ananta hanya bisa tersenyum tipis. Hari itu mungkin belum membawa perubahan besar, tetapi ia tahu, itu adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih baik.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 17)
Sorry, comment are closed for this post.