Pertemuan Orang Tua dan Guru
Pagi itu, langit kelabu menyelimuti halaman sekolah. Rintik hujan tipis membuat suasana menjadi suram, mencerminkan hati Ananta yang gelisah. Ia berdiri di sudut ruang guru, mencoba menghindari tatapan langsung dari Bu Inrani yang duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.
Ayah Ananta, Pak Rendra, adalah pria berperawakan tegas dengan suara berat yang selalu membawa wibawa. Di sisi lain, Ibu Ananta, Bu Lilis, adalah sosok lembut namun tajam dalam memperhatikan hal-hal kecil. Mereka datang bukan untuk mencari masalah, tetapi untuk mencari kejelasan.
“Saya rasa ada yang ingin kami pahami lebih lanjut, Bu Inrani,” kata Pak Rendra dengan nada diplomatis.
“Belakangan, Ananta sering terlihat tidak bersemangat dan tampaknya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.”
Bu Inrani, yang duduk dengan postur tegak dan senyum tipis, menjawab dengan nada formal.
“Saya menghargai perhatian Bapak dan Ibu terhadap Ananta. Tapi saya bisa pastikan bahwa tidak ada hal yang tidak adil di kelas. Saya selalu berusaha menilai siswa secara objektif.”
Ananta, yang berdiri di belakang, mengepalkan tangannya. Kata-kata itu terdengar seperti tembok tinggi yang tidak bisa ditembus. Ia ingin berbicara, ingin mengatakan bahwa apa yang dirasakannya nyata. Namun, lidahnya terasa kelu.
Bu Lilis menatap Bu Inrani dengan lembut, tetapi matanya menunjukkan kekhawatiran.
“Bu, kami tidak bermaksud menuduh. Kami hanya ingin memastikan, apakah mungkin ada sesuatu yang membuat Ananta merasa seperti tidak diperhatikan?”
Bu Inrani tersenyum lagi, kali ini dengan nada sedikit defensif. “Saya memahami kekhawatiran itu, Bu Lilis. Tapi saya selalu memperlakukan semua siswa dengan sama. Terkadang, mungkin ada perasaan subjektif dari siswa, terutama jika mereka merasa kurang menonjol dibanding teman-temannya.”
Kata-kata itu menusuk Ananta seperti belati. Ia ingin berteriak bahwa ini bukan soal subjektivitas, bahwa ini soal keadilan. Tetapi ia tahu, suaranya mungkin hanya akan dianggap sebagai suara seorang anak kecil yang terlalu sensitif.
Pak Rendra, yang biasanya pendiam, mulai berbicara dengan nada lebih tegas. “Bu Inrani, saya tidak ragu dengan profesionalisme Anda sebagai guru. Tapi, apakah Anda yakin tidak ada perbedaan dalam cara Anda memperlakukan siswa tertentu?”
Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih hening. Bu Inrani menarik napas panjang, berusaha menjaga senyumnya tetap terpasang. “Bapak, saya bisa memastikan bahwa saya selalu adil. Jika ada yang merasa berbeda, mungkin itu hanya persepsi.”
—
Di luar ruang guru, Ananta mendengar bunyi langkah kaki siswa lain yang lewat di lorong. Hatinya semakin gelisah. Di benaknya, ia memutar ulang momen-momen di mana Bu Inrani memperlakukan Hazara dengan begitu istimewa, sementara dirinya dan teman-temannya hampir selalu terabaikan. Bagaimana mungkin itu hanya “persepsi”?
Ia memutuskan untuk maju mendekati meja, meskipun langkahnya terasa berat. Ketika ia akhirnya berdiri di samping kursi orang tuanya, semua mata tertuju padanya.
“Bu, boleh saya bicara?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.
Pak Rendra menoleh, memberi tatapan mendukung. Bu Inrani menatapnya sejenak sebelum mengangguk perlahan. “Silakan, Ananta.”
Ananta menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian.
“Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, tapi… saya dan beberapa teman merasa seperti kami tidak pernah dianggap penting di kelas. Kadang, kami merasa usaha kami tidak dihargai, sementara teman yang lain selalu mendapat perhatian lebih.”
Bu Inrani menatapnya tanpa ekspresi, tetapi ada sedikit ketegangan di garis bibirnya. “Apa maksud kamu, Ananta? Saya tidak pernah membeda-bedakan siswa.”
Ananta menggigit bibirnya, merasa bahwa ia berjalan di atas tali yang rapuh. Ia tidak ingin terdengar seperti menyalahkan, tetapi ia juga tidak bisa mundur sekarang.
“Bu, ini bukan cuma tentang saya. Teman-teman saya juga merasakannya. Kami hanya ingin merasa bahwa kerja keras kami dihargai. Itu saja,” katanya dengan suara lirih.
Bu Inrani terdiam sejenak sebelum menjawab, “Saya memahami perasaan kamu, Ananta. Tapi saya juga harus melihat dari sudut pandang lain. Terkadang, ada siswa yang membutuhkan perhatian lebih untuk bisa mencapai potensi mereka. Mungkin itu yang kamu lihat sebagai perbedaan.”
Ananta ingin membalas, tetapi Pak Rendra menepuk pundaknya, meminta ia untuk tenang.
“Terima kasih sudah mendengar kami, Bu Inrani,” kata Pak Rendra dengan nada sopan.
“Kami hanya berharap ini bisa menjadi bahan refleksi bersama. Anak-anak kita adalah harapan masa depan, dan saya yakin perhatian yang adil akan membuat mereka semua merasa termotivasi.”
Bu Inrani mengangguk pelan. “Saya mengerti, Pak Rendra. Saya akan coba lebih memperhatikan hal-hal seperti ini ke depannya.”
—
Ketika pertemuan selesai, Ananta berjalan keluar bersama orang tuanya. Hujan masih turun rintik-rintik, dan udara terasa dingin. Langkah-langkah mereka menyusuri koridor terasa berat, seolah membawa beban yang belum terlepaskan.
Di depan gerbang sekolah, Pak Rendra berhenti dan menoleh ke Ananta.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak. Terkadang, perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam.”
Bu Lilis tersenyum kecil dan merangkul bahu Ananta. “Yang penting, kamu sudah berani bicara. Itu sudah langkah besar.”
Ananta mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu perjuangan ini belum selesai. Tetapi ia juga tahu, ia tidak sendirian. Teman-temannya, dan bahkan orang tuanya, ada di sisinya.
“Terima kasih, Ayah, Ibu,” katanya pelan. “Aku akan terus mencoba.”
Mereka melangkah keluar gerbang sekolah, meninggalkan jejak kecil di jalanan yang basah. Langit yang kelabu mungkin masih menggantung, tetapi jauh di dalam hati Ananta, ia merasakan secercah harapan kecil yang mulai tumbuh.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 18)
Sorry, comment are closed for this post.