Kelas Baru, Harapan Baru
Langit pagi menyambut hari kedua semester baru di SMA Nusantara dengan kehangatan yang lembut. Sinar matahari menembus jendela-jendela ruang kelas, memberikan bayangan keemasan di lantai keramik yang bersih. Kelas XI B, yang kemarin baru saja menjadi saksi perkenalan awal dengan Bu Inrani, kini dipenuhi suara-suara penuh semangat para siswa. Meja-meja kayu yang mengkilap karena dipoles, papan tulis putih yang masih kosong, dan hiasan dinding bertema pendidikan menciptakan suasana yang segar.
Ananta duduk di barisan tengah, posisinya dipilih dengan hati-hati. Barisan depan terlalu mencolok untuknya, sedangkan barisan belakang sering dianggap sebagai tempat siswa yang kurang peduli. Dengan duduk di tengah, Ananta berharap bisa tetap fokus tanpa menarik perhatian. Ia membuka buku catatannya dan menyusun pulpen di sisi meja, sebuah kebiasaan yang ia lakukan untuk menenangkan diri.
Sekilas ia melirik ke sekeliling kelas. Hazara, seperti biasa, duduk di barisan depan. Rambutnya yang panjang digerai rapi, dan senyumnya yang cerah seolah-olah menjadi pusat gravitasi ruangan. Beberapa siswa perempuan di sekitarnya tertawa kecil mendengar ceritanya tentang liburan, sementara beberapa siswa laki-laki pura-pura sibuk tetapi sesekali melirik ke arahnya. Ananta hanya menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Aku harus fokus!” gumamnya dalam hati. Ia tidak ingin terganggu oleh apapun. Semester ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya layak dihargai.
Namun, bisikan-bisikan di sekitar kelas sulit untuk diabaikan. Beberapa siswa mulai membahas Bu Inrani.
“Katanya, Bu Inrani cuma perhatian ke anak-anak yang menonjol. Kalau kamu biasa-biasa aja, dia bakal cuek,” kata seorang siswa di belakang Ananta.
“Ah, masa sih? Tapi kemarin dia ramah, kok,” jawab temannya.
“Mungkin karena Hazara ada di kelas ini. Guru mana sih yang nggak terpesona sama dia?”
Ananta mendengar percakapan itu, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia tahu bahwa rumor semacam itu bisa saja benar, mengingat pengalaman masa lalu. Tapi ia juga sadar bahwa tidak adil menilai seseorang hanya berdasarkan gosip.
Pintu kelas terbuka, dan suara-suara siswa langsung mereda. Bu Inrani melangkah masuk dengan anggun, membawa setumpuk buku di tangan kirinya. Blus biru pastel yang ia kenakan berpadu sempurna dengan rok panjang hitam, memberikan kesan profesional sekaligus santai.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya sambil tersenyum.
“Pagi, Bu,” jawab mereka serempak.
Mata Bu Inrani menyapu ruangan, memandang satu per satu wajah siswa. Tatapannya penuh perhatian, tetapi Ananta tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah rumor yang ia dengar benar. Ketika pandangan Bu Inrani berhenti sebentar pada Hazara, hati kecil Ananta mengerut.
“Baiklah,” kata Bu Inrani sambil meletakkan buku-buku di meja guru. “Hari ini, kita akan membahas puisi-puisi karya Chairil Anwar. Siapa di antara kalian yang pernah mendengar namanya?”
Beberapa tangan terangkat, termasuk Hazara dan Ananta. Bu Inrani menunjuk Hazara.
“Silahkan, Hazara,” katanya.
Hazara tersenyum sebelum berbicara. “Chairil Anwar adalah salah satu penyair terkenal Indonesia dari Angkatan ’45. Puisinya sering menggambarkan semangat perjuangan dan kemerdekaan, tetapi juga sangat pribadi dan emosional.”
“Bagus sekali, Hazara,” puji Bu Inrani sambil mengangguk. “Kamu jelas memahami konteks karya-karyanya.”
Ananta menurunkan tangannya perlahan. Ia merasa pujian itu tidak hanya untuk isi jawaban Hazara, tetapi juga caranya menyampaikan. Di dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia akan mendapatkan perhatian yang sama jika diberi kesempatan untuk berbicara.
Pelajaran berlangsung dengan lancar. Bu Inrani membacakan beberapa bait puisi Chairil Anwar, suaranya penuh emosi, seolah-olah ia benar-benar merasakan setiap kata yang ia ucapkan. Ananta mendengarkan dengan saksama, mencatat setiap penjelasan yang ia anggap penting. Ketika sesi diskusi dimulai, ia memberanikan diri untuk mengangkat tangan lagi.
“Bu, menurut saya, puisi ‘Aku’ itu tidak hanya tentang semangat perjuangan, tapi juga tentang keyakinan diri,” katanya dengan hati-hati.
“Chairil Anwar menggunakan kata-kata seperti ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’ untuk menunjukkan bahwa ia ingin meninggalkan jejak yang abadi, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain.”
Kelas hening sejenak. Beberapa siswa menoleh ke arah Ananta, terkejut bahwa ia berbicara dengan begitu lancar.
“Pendapat yang menarik, Ananta,” jawab Bu Inrani akhirnya. “Tapi menurut saya, ada elemen egoisme yang juga ingin ditunjukkan Chairil Anwar. Ia bukan hanya berbicara tentang jejak abadi, tapi juga tentang keberaniannya untuk melawan norma.”
Ananta mengangguk pelan, meskipun hatinya sedikit kecewa. Ia merasa pendapatnya tidak sepenuhnya diapresiasi, terutama jika dibandingkan dengan cara Bu Inrani memuji Hazara tadi.
Ketika pelajaran hampir selesai, Bu Inrani memberikan tugas kepada para siswa. “Saya ingin kalian menulis puisi pendek tentang harapan kalian untuk semester ini. Gunakan bahasa yang jujur dan emosional. Kumpulkan sebelum jam pelajaran berakhir.”
Ananta langsung tenggelam dalam pikirannya, mencoba merangkai kata-kata yang sesuai. Ia menulis dengan hati-hati, menuangkan keinginannya untuk dihargai dan diakui atas kerja kerasnya. Ketika ia menyerahkan puisinya, ia berharap Bu Inrani akan meluangkan waktu untuk membacanya dengan serius.
Namun, saat Bu Inrani membaca beberapa puisi pilihan di depan kelas, nama Ananta tidak disebutkan. Hazara, sekali lagi, menjadi pusat perhatian dengan puisinya yang menggambarkan optimisme dan keindahan hari-hari mendatang.
“Puisi Hazara ini luar biasa,” kata Bu Inrani dengan senyum lebar. “Ia mampu menangkap esensi harapan dengan begitu indah.”
Ketika bel berbunyi, Ananta tetap duduk di tempatnya, merasa hampa. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini baru awal semester, bahwa masih ada banyak waktu untuk membuktikan dirinya. Tapi di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya apakah semua usahanya benar-benar akan diperhatikan.
Di luar kelas, Hazara mendekati Ananta.
“Hei, Ananta,” panggilnya dengan senyum ramah.
“Puisimu tadi keren. Aku baca sekilas waktu kita kumpulin tadi. Kamu punya gaya yang unik.”
Ananta terkejut. “Kamu benar-benar baca?”
“Iya. Kamu bagus, lho. Coba jangan ragu buat ngungkapin ide-ide kamu. Aku yakin Bu Inrani juga bakal ngeh suatu saat nanti,” kata Hazara sebelum melangkah pergi.
Ananta terdiam, memikirkan kata-kata Hazara. Mungkin ini belum waktunya baginya untuk bersinar, tetapi kata-kata itu cukup untuk menyalakan kembali api semangat dalam dirinya.
“Harapan baru, ya?” gumamnya sambil tersenyum kecil. Semester ini mungkin memang masih menyimpan peluang yang belum terlihat.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 2)
Sorry, comment are closed for this post.