KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 20)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 20)

    BY 14 Feb 2025 Dilihat: 148 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 20)_alineaku

    Surat Terbuka untuk Bu Inrani

    Hari itu, langit pagi tampak cerah, namun suasana hati Ananta dan teman-temannya dipenuhi dengan campuran keberanian dan kekhawatiran. Setelah kejadian di kelas kemarin, mereka tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Berbicara di depan Bu Inrani memang merupakan langkah besar, tetapi mereka menyadari satu hal: suara mereka harus lebih terorganisir dan menyentuh hati.

     

    Malam sebelumnya, di meja belajar kecil di kamar Ananta, mereka berkumpul untuk menyusun surat terbuka. Fikri membawa kertas-kertas bekas dari buku tulisnya, sementara Dira membawa pena warna-warni. Ananta, sebagai yang paling vokal, memimpin diskusi.

     

    “Kita harus menuliskan apa yang kita rasakan dengan jujur, tetapi tetap sopan,” kata Ananta sambil menghela napas.

     

    Dira mengangguk. “Iya, kita tidak ingin membuat Bu Inrani merasa diserang. Kita hanya ingin dia memahami sudut pandang kita.”

     

    Mereka memulai dengan kalimat sederhana tetapi penuh makna: “Untuk Bu Inrani yang kami hormati.” Dari sana, kata-kata mengalir. Mereka menuliskan semua yang selama ini terpendam: rasa tidak dihargai, kekecewaan terhadap perbedaan perlakuan, dan harapan akan perubahan.

     

    “Kita tambahkan ini,” kata Fikri sambil menulis dengan hati-hati: ‘Kami tahu bahwa setiap guru punya caranya sendiri, tetapi kami percaya bahwa setiap siswa berhak diperlakukan sama.’

     

    Kalimat itu diikuti dengan curahan hati yang lebih mendalam. Mereka menceritakan bagaimana mereka sering merasa bahwa usaha keras mereka tidak dihargai, sementara perhatian Bu Inrani lebih sering tertuju pada Hazara.

     

    “Haruskah kita menyebut nama Hazara di surat ini?” tanya Dira ragu.

     

    Ananta berpikir sejenak. “Tidak perlu. Ini bukan tentang Hazara. Ini tentang sistem dan cara pandang yang terasa tidak adil. Kita tidak ingin menyudutkan siapa pun.”

     

    Setelah beberapa jam, surat itu akhirnya selesai. Kalimat terakhir ditulis oleh Ananta sendiri: “Kami hanya ingin diperlakukan setara, Bu.”

     

     

    Keesokan harinya, sebelum bel pertama berbunyi, Ananta dan teman-temannya menyebarkan surat tersebut. Mereka menyalinnya ke beberapa lembar kertas dan membagikannya kepada teman-teman sekelas.

     

    “Ini surat untuk Bu Inrani. Bacalah, dan jika kalian setuju, kalian bisa menandatanganinya,” kata Ananta kepada teman-temannya.

     

    Satu per satu, siswa mulai membaca surat itu. Beberapa dari mereka mengangguk-angguk setuju, sementara yang lain tampak ragu. Ada juga yang membaca cepat tanpa memberikan reaksi. Namun, suasana kelas perlahan mulai berubah. Bisik-bisik kecil terdengar di antara mereka.

     

    Hazara, yang duduk di mejanya, memperhatikan gerakan teman-temannya. Ia tidak langsung mengambil surat itu. Ada perasaan ragu yang menyelimutinya. Ia tahu bahwa surat itu berisi curahan hati yang mencerminkan ketidakpuasan teman-temannya terhadap situasi di kelas.

     

    Ketika akhirnya salah satu temannya memberikan surat itu kepadanya, Hazara membacanya dengan perlahan. Setiap kalimat terasa seperti pukulan lembut ke hatinya. Ia mulai menyadari bahwa perhatian istimewa yang ia dapatkan selama ini tidak hanya menciptakan jarak antara dirinya dan teman-temannya, tetapi juga menjadi beban bagi mereka.

     

    Di akhir surat, mata Hazara tertuju pada kalimat terakhir: “Kami hanya ingin diperlakukan setara, Bu.”

     

    Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya. Hazara menutup surat itu dengan perlahan, merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya.

     

     

    Saat jam pelajaran dimulai, suasana kelas tampak lebih tegang dari biasanya. Surat itu kini ada di tangan Bu Inrani. Ia membacanya dengan seksama di depan kelas, wajahnya sulit ditebak. Ananta dan teman-temannya duduk dengan gelisah, menunggu reaksi guru mereka.

     

    Setelah beberapa menit, Bu Inrani meletakkan surat itu di meja. Ia memandang seluruh kelas dengan tatapan serius.

     

    “Siapa yang menulis ini?” tanyanya, suaranya terdengar tegas tetapi tidak marah.

     

    Ananta berdiri, diikuti oleh Dira, Fikri, dan beberapa siswa lainnya. “Kami, Bu. Kami menulisnya bersama,” jawab Ananta dengan suara yang tenang tetapi penuh keyakinan.

     

    Bu Inrani mengangguk pelan. “Saya menghargai keberanian kalian untuk menyuarakan pendapat. Tidak semua siswa berani melakukan itu.”

     

    Ananta dan teman-temannya saling melirik. Mereka tidak menyangka reaksi awal Bu Inrani akan sepositif ini.

     

    “Tetapi,” lanjut Bu Inrani, Ssaya juga merasa ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan bersama.”

     

    Hazara, yang sejak tadi duduk diam, akhirnya mengangkat tangannya. “Bu, saya juga ingin bicara,” katanya pelan.

     

    Semua mata kini tertuju padanya. Hazara berdiri dari kursinya dan menatap teman-temannya. “Saya ingin meminta maaf kepada kalian semua. Saya tidak pernah bermaksud untuk membuat kalian merasa seperti ini. Saya juga tidak pernah meminta perhatian khusus dari Bu Inrani.”

     

    Suasana kelas kembali sunyi. Kata-kata Hazara terdengar tulus, dan beberapa siswa mulai merasa bahwa situasi ini bukan sepenuhnya salahnya.

     

    Bu Inrani tersenyum tipis. “Hazara, ini bukan tentang salah atau benar. Ini tentang bagaimana kita bisa menciptakan suasana kelas yang lebih adil dan nyaman untuk semua. Saya akan berusaha lebih baik dalam memahami kebutuhan kalian semua.”

     

    Ananta merasa hatinya sedikit lega. Meskipun ini mungkin belum menjadi solusi akhir, setidaknya mereka telah berhasil menyuarakan apa yang selama ini terpendam.

     

     

    Setelah pelajaran selesai, Hazara menghampiri Ananta di luar kelas.

     

    “Terima kasih, Ananta,” katanya pelan. “Surat kalian membuat saya sadar banyak hal. Mungkin selama ini saya terlalu menikmati perhatian itu tanpa menyadari dampaknya pada kalian.”

     

    Ananta tersenyum tipis. “Ini bukan tentang kamu, Hazara. Ini tentang sistem yang kita jalani. Aku senang kamu mau memahami.”

     

    Mereka berjabat tangan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada rasa saling pengertian yang tumbuh di antara mereka.

     

    Di koridor sekolah, Hazara melihat teman-teman lain mulai tersenyum kepadanya, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya. Sementara itu, Ananta berjalan dengan langkah yang lebih ringan, merasa bahwa perjuangannya untuk keadilan mulai membuahkan hasil.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 20)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021