Surat Terbuka untuk Bu Inrani
Hari itu, langit pagi tampak cerah, namun suasana hati Ananta dan teman-temannya dipenuhi dengan campuran keberanian dan kekhawatiran. Setelah kejadian di kelas kemarin, mereka tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Berbicara di depan Bu Inrani memang merupakan langkah besar, tetapi mereka menyadari satu hal: suara mereka harus lebih terorganisir dan menyentuh hati.
Malam sebelumnya, di meja belajar kecil di kamar Ananta, mereka berkumpul untuk menyusun surat terbuka. Fikri membawa kertas-kertas bekas dari buku tulisnya, sementara Dira membawa pena warna-warni. Ananta, sebagai yang paling vokal, memimpin diskusi.
“Kita harus menuliskan apa yang kita rasakan dengan jujur, tetapi tetap sopan,” kata Ananta sambil menghela napas.
Dira mengangguk. “Iya, kita tidak ingin membuat Bu Inrani merasa diserang. Kita hanya ingin dia memahami sudut pandang kita.”
Mereka memulai dengan kalimat sederhana tetapi penuh makna: “Untuk Bu Inrani yang kami hormati.” Dari sana, kata-kata mengalir. Mereka menuliskan semua yang selama ini terpendam: rasa tidak dihargai, kekecewaan terhadap perbedaan perlakuan, dan harapan akan perubahan.
“Kita tambahkan ini,” kata Fikri sambil menulis dengan hati-hati: ‘Kami tahu bahwa setiap guru punya caranya sendiri, tetapi kami percaya bahwa setiap siswa berhak diperlakukan sama.’
Kalimat itu diikuti dengan curahan hati yang lebih mendalam. Mereka menceritakan bagaimana mereka sering merasa bahwa usaha keras mereka tidak dihargai, sementara perhatian Bu Inrani lebih sering tertuju pada Hazara.
“Haruskah kita menyebut nama Hazara di surat ini?” tanya Dira ragu.
Ananta berpikir sejenak. “Tidak perlu. Ini bukan tentang Hazara. Ini tentang sistem dan cara pandang yang terasa tidak adil. Kita tidak ingin menyudutkan siapa pun.”
Setelah beberapa jam, surat itu akhirnya selesai. Kalimat terakhir ditulis oleh Ananta sendiri: “Kami hanya ingin diperlakukan setara, Bu.”
—
Keesokan harinya, sebelum bel pertama berbunyi, Ananta dan teman-temannya menyebarkan surat tersebut. Mereka menyalinnya ke beberapa lembar kertas dan membagikannya kepada teman-teman sekelas.
“Ini surat untuk Bu Inrani. Bacalah, dan jika kalian setuju, kalian bisa menandatanganinya,” kata Ananta kepada teman-temannya.
Satu per satu, siswa mulai membaca surat itu. Beberapa dari mereka mengangguk-angguk setuju, sementara yang lain tampak ragu. Ada juga yang membaca cepat tanpa memberikan reaksi. Namun, suasana kelas perlahan mulai berubah. Bisik-bisik kecil terdengar di antara mereka.
Hazara, yang duduk di mejanya, memperhatikan gerakan teman-temannya. Ia tidak langsung mengambil surat itu. Ada perasaan ragu yang menyelimutinya. Ia tahu bahwa surat itu berisi curahan hati yang mencerminkan ketidakpuasan teman-temannya terhadap situasi di kelas.
Ketika akhirnya salah satu temannya memberikan surat itu kepadanya, Hazara membacanya dengan perlahan. Setiap kalimat terasa seperti pukulan lembut ke hatinya. Ia mulai menyadari bahwa perhatian istimewa yang ia dapatkan selama ini tidak hanya menciptakan jarak antara dirinya dan teman-temannya, tetapi juga menjadi beban bagi mereka.
Di akhir surat, mata Hazara tertuju pada kalimat terakhir: “Kami hanya ingin diperlakukan setara, Bu.”
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya. Hazara menutup surat itu dengan perlahan, merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya.
—
Saat jam pelajaran dimulai, suasana kelas tampak lebih tegang dari biasanya. Surat itu kini ada di tangan Bu Inrani. Ia membacanya dengan seksama di depan kelas, wajahnya sulit ditebak. Ananta dan teman-temannya duduk dengan gelisah, menunggu reaksi guru mereka.
Setelah beberapa menit, Bu Inrani meletakkan surat itu di meja. Ia memandang seluruh kelas dengan tatapan serius.
“Siapa yang menulis ini?” tanyanya, suaranya terdengar tegas tetapi tidak marah.
Ananta berdiri, diikuti oleh Dira, Fikri, dan beberapa siswa lainnya. “Kami, Bu. Kami menulisnya bersama,” jawab Ananta dengan suara yang tenang tetapi penuh keyakinan.
Bu Inrani mengangguk pelan. “Saya menghargai keberanian kalian untuk menyuarakan pendapat. Tidak semua siswa berani melakukan itu.”
Ananta dan teman-temannya saling melirik. Mereka tidak menyangka reaksi awal Bu Inrani akan sepositif ini.
“Tetapi,” lanjut Bu Inrani, Ssaya juga merasa ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan bersama.”
Hazara, yang sejak tadi duduk diam, akhirnya mengangkat tangannya. “Bu, saya juga ingin bicara,” katanya pelan.
Semua mata kini tertuju padanya. Hazara berdiri dari kursinya dan menatap teman-temannya. “Saya ingin meminta maaf kepada kalian semua. Saya tidak pernah bermaksud untuk membuat kalian merasa seperti ini. Saya juga tidak pernah meminta perhatian khusus dari Bu Inrani.”
Suasana kelas kembali sunyi. Kata-kata Hazara terdengar tulus, dan beberapa siswa mulai merasa bahwa situasi ini bukan sepenuhnya salahnya.
Bu Inrani tersenyum tipis. “Hazara, ini bukan tentang salah atau benar. Ini tentang bagaimana kita bisa menciptakan suasana kelas yang lebih adil dan nyaman untuk semua. Saya akan berusaha lebih baik dalam memahami kebutuhan kalian semua.”
Ananta merasa hatinya sedikit lega. Meskipun ini mungkin belum menjadi solusi akhir, setidaknya mereka telah berhasil menyuarakan apa yang selama ini terpendam.
—
Setelah pelajaran selesai, Hazara menghampiri Ananta di luar kelas.
“Terima kasih, Ananta,” katanya pelan. “Surat kalian membuat saya sadar banyak hal. Mungkin selama ini saya terlalu menikmati perhatian itu tanpa menyadari dampaknya pada kalian.”
Ananta tersenyum tipis. “Ini bukan tentang kamu, Hazara. Ini tentang sistem yang kita jalani. Aku senang kamu mau memahami.”
Mereka berjabat tangan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada rasa saling pengertian yang tumbuh di antara mereka.
Di koridor sekolah, Hazara melihat teman-teman lain mulai tersenyum kepadanya, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya. Sementara itu, Ananta berjalan dengan langkah yang lebih ringan, merasa bahwa perjuangannya untuk keadilan mulai membuahkan hasil.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 20)
Sorry, comment are closed for this post.