Ketika Kebenaran Tidak Didengar
Pagi itu, suasana kelas XI B lebih hening dari biasanya. Diskusi yang dijadwalkan menjadi forum terbuka untuk menyuarakan pendapat mengenai masalah yang baru saja terjadi di kelas telah menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Para siswa duduk di kursi masing-masing, beberapa tampak cemas, beberapa lainnya berbisik pelan dengan teman sebangku. Di depan kelas, Bu Inrani berdiri dengan sikap tenang. Matanya menyapu setiap wajah siswa, seolah membaca pikiran mereka satu per satu.
“Baiklah,” kata Bu Inrani dengan nada formal.
“Hari ini kita akan melanjutkan diskusi yang sempat terhenti kemarin. Saya ingin mendengar apa yang kalian rasakan.”
Ananta, yang duduk di barisan tengah, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu ini adalah kesempatan penting untuk berbicara, tetapi setelah pertemuan sebelumnya dengan Pak Satria, ia juga tahu bahwa keberanian saja tidak cukup.
Setelah hening beberapa saat, seorang siswa di barisan depan mengangkat tangan. “Bu, saya rasa apa yang Ananta dan teman-teman lainnya sampaikan ada benarnya. Kami semua ingin merasa dihargai atas usaha kami, bukan hanya karena penampilan atau kedekatan dengan guru.”
Komentar itu membuat beberapa siswa lainnya mengangguk setuju. Ananta merasa lega mendengar dukungan tersebut, tetapi ia juga tahu bahwa Bu Inrani bukanlah tipe orang yang mudah digoyahkan. Bu Inrani menanggapi dengan senyum tipis, seolah sudah memprediksi apa yang akan terjadi.
“Saya menghargai pendapat kalian,” katanya dengan nada yang terukur.
“Tapi sebagai guru, saya memiliki tanggung jawab untuk menerapkan metode yang menurut saya terbaik. Saya sudah mengajar selama bertahun-tahun, dan metode saya terbukti berhasil.”
Kelas menjadi hening. Kata-kata itu, meskipun terdengar sopan, seperti tembok tebal yang sulit ditembus.
Ananta akhirnya mengangkat tangan, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa.
“Bu,” katanya dengan suara tegas,
“Kami tidak pernah meragukan pengalaman atau kemampuan Anda sebagai guru. Tapi kami merasa bahwa metode Anda mungkin tidak selalu sesuai dengan kebutuhan semua siswa. Banyak dari kami yang bekerja keras, tetapi sering kali usaha kami tidak terlihat.”
Mata Bu Inrani menatap tajam ke arah Ananta.
“Kalau begitu, Ananta,” katanya.
“Mungkin kalian perlu introspeksi. Jika kalian merasa tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, mungkin ada yang salah dengan cara kalian belajar, bukan dengan metode saya mengajar.”
Kata-kata itu menusuk seperti pisau tajam. Ananta merasa udara di ruangan itu semakin berat. Ia menoleh ke arah teman-temannya, mencari dukungan, tetapi kebanyakan dari mereka tampak menunduk, enggan terlibat lebih jauh.
Namun, Hazara, yang duduk di barisan belakang, mengangkat tangan.
“Bu,” katanya pelan tapi jelas.
“Saya tahu saya sering mendapatkan perhatian lebih dari Anda, dan jujur, itu membuat saya merasa tidak nyaman. Saya setuju dengan Ananta dan teman-teman lainnya. Mereka berhak mendapatkan pengakuan yang sama.”
Ucapan Hazara membuat beberapa siswa mendongak, terkejut dengan keberaniannya. Namun, Bu Inrani tetap terlihat tenang, meskipun matanya sedikit menyipit.
“Hazara,” katanya, “Saya menghargai pendapatmu. Tapi kamu tidak perlu merasa bersalah atas perhatian yang kamu dapatkan. Itu adalah hasil dari kerja kerasmu dan sikapmu yang selalu positif.”
Hazara terdiam, merasa bahwa usahanya untuk mendukung teman-temannya tidak membuahkan hasil.
Ananta mencoba sekali lagi. “Bu.”
“Ini bukan soal siapa yang salah atau benar. Kami hanya ingin semua siswa di kelas ini merasa dihargai, tidak peduli apa pun latar belakang atau kemampuan mereka.”
Namun, alih-alih merespons dengan pengertian, Bu Inrani hanya menggelengkan kepala perlahan. “Ananta, saya menghormati kejujuranmu. Tapi kalian harus ingat bahwa saya adalah guru di sini. Saya tahu apa yang terbaik untuk kalian. Jika kalian merasa ada yang salah, saya sarankan kalian fokus memperbaiki diri.”
Suasana kelas menjadi semakin hening. Beberapa siswa tampak kecewa, sementara yang lain hanya duduk diam, tidak tahu harus berkata apa.
Ananta merasakan gelombang frustrasi menyapu dirinya. Ia tahu bahwa kebenaran yang ia dan teman-temannya sampaikan tidak akan dengan mudah diterima. Meskipun begitu, ia tidak menyesali apa yang telah ia lakukan. Baginya, berbicara adalah langkah pertama menuju perubahan, meskipun perubahan itu mungkin memerlukan waktu yang lebih lama dari yang ia harapkan.
Saat diskusi ditutup, Ananta kembali ke kursinya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu perjuangannya belum selesai, tetapi ia juga menyadari bahwa tidak semua orang siap untuk mendengarkan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu sudah berada di depan mata mereka.
Di luar kelas, Hazara mendekati Ananta.
“Kamu sudah melakukan hal yang benar,” katanya pelan.
“Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku yakin apa yang kita lakukan akan membuat perbedaan.”
Ananta hanya tersenyum tipis. Di dalam hatinya, ia berharap bahwa suatu hari, suara mereka akan benar-benar didengar.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 24)
Sorry, comment are closed for this post.