Hazara yang Tak Bersalah
Langit siang itu kelabu, seakan-akan memahami suasana hati yang tengah melingkupi Hazara. Ia berdiri di luar ruang kelas XI B, memandangi koridor yang sepi dengan pikiran yang kacau. Diskusi di kelas tadi meninggalkan banyak perasaan bercampur aduk dalam dirinya—rasa bersalah, bingung, dan tidak berdaya.
Hazara tahu bahwa ia sering mendapatkan perhatian lebih dari Bu Inrani. Pujian yang datang tanpa diminta, sorotan yang terasa seperti berkah, kini menjadi beban di pundaknya. Ia merasa seperti telah menjadi alasan mengapa teman-temannya merasa diperlakukan tidak adil.
“Hazara,” sebuah suara memanggilnya dari belakang.
Ia menoleh dan melihat Ananta berjalan mendekatinya. Ananta tampak tenang, tetapi mata laki-laki itu menyiratkan rasa lelah yang tak bisa disembunyikan.
“Kamu kenapa masih di sini?” tanya Ananta, berhenti beberapa langkah di depannya.
Hazara menunduk, menggigit bibir bawahnya sejenak sebelum menjawab. “Aku… aku ingin bicara denganmu.”
Ananta mengangkat alisnya, tetapi ia tidak berkata apa-apa, memberi ruang bagi Hazara untuk melanjutkan.
“Aku benar-benar tidak tahu semua ini terjadi,” Hazara mulai berbicara dengan nada yang pelan, hampir seperti bisikan.
“Aku tidak pernah bermaksud membuat siapa pun merasa tidak dihargai.” Ia menatap Ananta dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Aku merasa seperti… aku juga jadi bagian dari masalah.”
Ananta menghela napas panjang, matanya melembut. Ia tahu bahwa Hazara tidak bersalah. Ia tahu bahwa perhatian yang diberikan Bu Inrani kepada Hazara bukanlah sesuatu yang diminta oleh gadis itu. Tapi tetap saja, situasi ini membuat segalanya terasa rumit.
“Hazara,” Ananta akhirnya berkata dengan suara yang tenang.
“Ini bukan salahmu. Kau hanya di posisi yang lebih diuntungkan. Dan aku tahu, kamu tidak pernah meminta semua itu.”
“Tapi tetap saja,” balas Hazara, air mata mulai mengalir di pipinya.
“Aku merasa seperti aku tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Aku seharusnya menyadari lebih cepat bahwa perlakuan ini menyakiti kalian.”
Ananta terdiam, membiarkan Hazara menumpahkan perasaannya. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa langsung menghapus rasa bersalah yang dirasakan gadis itu.
“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” lanjut Hazara, suaranya bergetar. “Aku ingin membantu, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”
Ananta menatap Hazara dengan penuh pengertian.
“Hazara,” katanya dengan nada yang lebih lembut.
“Kadang, memahami bahwa ada yang salah dan mengakui itu sudah menjadi langkah awal yang besar. Kamu tidak harus tahu semua jawaban sekarang. Yang penting adalah kamu mau berusaha.”
Hazara mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia merasa bahwa ucapan Ananta benar, tetapi itu tidak menghapus perasaan berat di dadanya.
Percakapan itu berakhir dalam keheningan. Mereka berdiri di sana, di koridor yang mulai diterpa angin dingin. Meski tak ada kata-kata lagi yang diucapkan, keduanya merasakan sesuatu yang berubah di antara mereka—sebuah pemahaman yang mendalam tentang satu sama lain.
—
Malam itu, Hazara duduk di mejanya di kamar. Ia menatap buku catatan yang terbuka di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh dari halaman-halaman yang penuh tulisan. Kata-kata Ananta terus terngiang di benaknya: “Memahami bahwa ada yang salah dan mengakui itu sudah menjadi langkah awal yang besar.”
Ia mengambil pena dan mulai menulis di halaman kosong buku catatannya. Tangannya gemetar sedikit, tetapi ia terus menulis, mencoba menuangkan semua perasaan yang berkecamuk di hatinya.
> “Aku selalu merasa bahwa perhatian yang aku dapatkan adalah bentuk penghargaan atas usahaku. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa perhatian itu bisa menyakiti orang lain. Aku tidak pernah melihat dari sudut pandang mereka—bagaimana rasanya bekerja keras, tetapi tidak pernah diakui hanya karena aku selalu menjadi yang terlihat lebih dulu. Aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin membuktikan bahwa keadilan itu bukan hanya tentang siapa yang terlihat, tetapi tentang siapa yang berusaha.”
Hazara berhenti menulis, menatap kalimat terakhir yang baru saja ia tulis. Kata-kata itu terasa seperti janji, bukan hanya kepada dirinya sendiri, tetapi juga kepada Ananta dan teman-teman lainnya.
—
Keesokan paginya, Hazara membawa buku catatannya ke sekolah. Ia merasa gugup, tetapi ada tekad yang tumbuh di dalam dirinya. Setelah bel istirahat berbunyi, ia mencari Ananta di kantin.
“Ananta,” katanya ketika ia menemukannya duduk bersama beberapa teman. “Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
Ananta menatap Hazara dengan penasaran, sementara teman-temannya tampak bingung. Hazara membuka buku catatannya dan menyerahkan halaman yang telah ia tulis semalam kepada Ananta.
Ananta membaca dengan seksama, matanya bergerak cepat dari satu baris ke baris berikutnya. Ketika ia selesai membaca, ia menatap Hazara dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Kamu menulis ini?” tanya Ananta.
Hazara mengangguk. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar peduli. Dan aku ingin membantumu memperjuangkan apa yang benar.”
Ananta tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya. Ia mengulurkan tangan, mengembalikan buku catatan itu kepada Hazara. “Terima kasih,” katanya dengan tulus. “Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi aku yakin, bersama-sama, kita bisa membuat perbedaan.”
Hazara merasa dadanya sedikit lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia bukan lagi bagian dari masalah, tetapi bagian dari solusi.
Di kejauhan, bel berbunyi, menandakan akhir dari waktu istirahat. Hazara dan Ananta berjalan kembali ke kelas bersama, membawa harapan baru di hati mereka. Meskipun jalan di depan masih panjang, mereka tahu bahwa langkah pertama menuju perubahan telah dimulai.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 25)
Sorry, comment are closed for this post.