Lulus Tanpa Pengakuan
Mentari pagi menembus jendela kaca aula besar sekolah, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan kilauan di lantai marmer. Suasana aula penuh dengan antusiasme para siswa yang mengenakan toga kebanggaan mereka. Kursi-kursi telah diatur rapi, dihias pita berwarna biru dan emas, mencerminkan semangat kelulusan yang meriah.
Ananta berdiri di barisan belakang, mengenakan toga hitam dengan raut wajah yang tenang namun menyimpan berbagai emosi. Pidato kepala sekolah baru saja selesai, disambut tepuk tangan gemuruh dari semua yang hadir. Kini, saat yang dinanti-nanti tiba: pemberian penghargaan akademik kepada siswa-siswa yang dianggap berprestasi.
“Dan untuk penghargaan siswa terbaik tahun ini,” suara kepala sekolah bergema melalui pengeras suara, “kami berikan kepada Hazara Indira.”
Tepuk tangan membahana memenuhi aula. Hazara melangkah maju dengan anggun, senyumnya menghiasi wajah yang bercampur antara kebanggaan dan ketegangan. Ananta menatapnya dari kejauhan, merasa senang sekaligus getir. Ia tahu Hazara pantas mendapat penghargaan itu, tetapi tak bisa mengabaikan rasa perih yang menjalar di hatinya.
Selama tiga tahun terakhir, Ananta telah berusaha sekuat tenaga, membuktikan bahwa kerja kerasnya layak diakui. Ia belajar hingga larut malam, mengorbankan waktu bersenang-senang demi nilai yang baik, namun semua itu seakan lenyap tanpa jejak. Baginya, penghargaan itu lebih dari sekadar trofi; itu adalah simbol pengakuan atas perjuangan yang telah ia lakukan.
Di tengah gemuruh tepuk tangan, Bu Inrani, yang duduk di deretan kursi guru, memberikan senyumnya kepada Hazara. Ananta menyadari senyum itu—senyum yang sama yang selalu diberikan kepada Hazara selama tiga tahun ini, senyum yang seolah tidak pernah diarahkan kepadanya.
Hazara menerima penghargaan itu dengan penuh haru. Namun, saat ia kembali ke tempat duduknya, ia sempat melirik Ananta yang berdiri di antara kerumunan siswa. Tatapan mereka bertemu sejenak. Dalam tatapan itu, Hazara dapat melihat rasa sakit yang tersembunyi di balik senyuman kecil Ananta. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kerumunan membuatnya tak mampu bergerak.
—
Setelah upacara selesai, aula mulai kosong, meninggalkan hanya beberapa siswa yang berfoto bersama keluarga mereka. Ananta tetap di tempatnya, memandangi panggung yang kini sunyi. Pikirannya melayang jauh, mengingat perjalanan panjang yang telah ia lalui di sekolah ini—semua tugas yang ia kerjakan, semua waktu yang ia habiskan untuk belajar, dan semua perjuangan yang tidak pernah terlihat.
Ia merasakan seseorang mendekat. Ketika ia menoleh, Hazara berdiri di sampingnya, masih mengenakan toga dan membawa piagam penghargaan di tangannya.
“Ananta,” Hazara memanggil pelan, mencoba menarik perhatian temannya.
Ananta tersenyum kecil. “Selamat, Hazara. Kamu pantas mendapatkannya.”
“Terima kasih,” jawab Hazara dengan suara lirih. “Tapi aku tahu penghargaan ini bukan hanya milikku. Kamu juga pantas mendapat pengakuan.”
Ananta menggelengkan kepala, berusaha menutupi kekecewaannya. “Ini bukan soal pantas atau tidak. Ini soal bagaimana dunia berjalan. Terkadang, kerja keras saja tidak cukup.”
Hazara menggenggam piagamnya dengan erat, merasa bersalah karena dirinya menjadi pusat perhatian, sementara Ananta berdiri di pinggir. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku melihat usahamu, Ananta. Semua orang di kelas melihatnya. Jika ada yang mengatakan bahwa kamu tidak layak mendapat pengakuan, mereka salah.”
Ananta menatap Hazara dengan tatapan lembut. “Terima kasih, Hazara. Tapi aku tidak perlu pembuktian kepada siapapun lagi. Yang penting, aku tahu bahwa aku sudah melakukan yang terbaik.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Namun, Hazara merasa bahwa kata-kata saja tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang dirasakan Ananta.
—
Sore itu, Ananta berjalan melewati gerbang sekolah untuk terakhir kalinya sebagai siswa. Ia menatap bangunan megah di belakangnya, tempat di mana ia tumbuh, belajar, dan menghadapi berbagai tantangan. Perasaan lega bercampur dengan rasa kehilangan. Ia tahu bahwa ia tidak akan kembali ke tempat ini lagi, tetapi kenangan yang ada akan terus melekat dalam pikirannya.
Di sepanjang perjalanan pulang, Ananta merenungkan apa yang sebenarnya ia cari selama ini. Apakah pengakuan dari Bu Inrani benar-benar penting? Atau apakah perjuangannya sendiri sudah cukup untuk membuktikan nilai dirinya?
Ketika ia sampai di rumah, ia disambut oleh keluarganya yang dengan bangga memeluknya. Ibunya memberikan senyuman hangat yang selalu membuatnya merasa dihargai. “Kami bangga padamu, Nak,” kata ibunya. “Kamu telah bekerja keras, dan itu yang paling penting.”
Kata-kata ibunya mengingatkan Ananta bahwa penghargaan terbesar bukanlah trofi atau piagam, tetapi rasa hormat dan kasih sayang dari orang-orang yang benar-benar peduli padanya.
Malam itu, Ananta duduk di meja belajarnya untuk terakhir kali. Ia mengambil buku catatan yang telah menemani perjalanannya selama tiga tahun, membuka halaman kosong di bagian belakang, dan mulai menulis:
> “Hari ini aku belajar bahwa pengakuan dari orang lain bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana aku melihat diriku sendiri. Aku mungkin tidak pernah mendapatkan penghargaan dari Bu Inrani, tetapi aku tahu bahwa usahaku tidak sia-sia. Aku telah tumbuh menjadi seseorang yang lebih kuat dan lebih percaya diri. Dan itu sudah cukup.”
Ananta menutup bukunya, merasa lega. Ia tahu bahwa ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan baru. Dengan senyuman di wajahnya, ia bersiap untuk menghadapi hari esok dengan semangat baru.
Di luar, bintang-bintang bersinar terang, seolah-olah memberikan harapan kepada siapa pun yang melihatnya. Bagi Ananta, itu adalah pengingat bahwa meskipun ia tidak bersinar di panggung kelulusan, cahayanya tetap ada, menunggu waktu yang tepat untuk bersinar lebih terang di tempat yang lain.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 26)
Sorry, comment are closed for this post.