KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 26)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 26)

    BY 17 Feb 2025 Dilihat: 67 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 26)_alineaku

    Lulus Tanpa Pengakuan

    Mentari pagi menembus jendela kaca aula besar sekolah, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan kilauan di lantai marmer. Suasana aula penuh dengan antusiasme para siswa yang mengenakan toga kebanggaan mereka. Kursi-kursi telah diatur rapi, dihias pita berwarna biru dan emas, mencerminkan semangat kelulusan yang meriah.

     

    Ananta berdiri di barisan belakang, mengenakan toga hitam dengan raut wajah yang tenang namun menyimpan berbagai emosi. Pidato kepala sekolah baru saja selesai, disambut tepuk tangan gemuruh dari semua yang hadir. Kini, saat yang dinanti-nanti tiba: pemberian penghargaan akademik kepada siswa-siswa yang dianggap berprestasi.

     

    “Dan untuk penghargaan siswa terbaik tahun ini,” suara kepala sekolah bergema melalui pengeras suara, “kami berikan kepada Hazara Indira.”

     

    Tepuk tangan membahana memenuhi aula. Hazara melangkah maju dengan anggun, senyumnya menghiasi wajah yang bercampur antara kebanggaan dan ketegangan. Ananta menatapnya dari kejauhan, merasa senang sekaligus getir. Ia tahu Hazara pantas mendapat penghargaan itu, tetapi tak bisa mengabaikan rasa perih yang menjalar di hatinya.

     

    Selama tiga tahun terakhir, Ananta telah berusaha sekuat tenaga, membuktikan bahwa kerja kerasnya layak diakui. Ia belajar hingga larut malam, mengorbankan waktu bersenang-senang demi nilai yang baik, namun semua itu seakan lenyap tanpa jejak. Baginya, penghargaan itu lebih dari sekadar trofi; itu adalah simbol pengakuan atas perjuangan yang telah ia lakukan.

     

    Di tengah gemuruh tepuk tangan, Bu Inrani, yang duduk di deretan kursi guru, memberikan senyumnya kepada Hazara. Ananta menyadari senyum itu—senyum yang sama yang selalu diberikan kepada Hazara selama tiga tahun ini, senyum yang seolah tidak pernah diarahkan kepadanya.

     

    Hazara menerima penghargaan itu dengan penuh haru. Namun, saat ia kembali ke tempat duduknya, ia sempat melirik Ananta yang berdiri di antara kerumunan siswa. Tatapan mereka bertemu sejenak. Dalam tatapan itu, Hazara dapat melihat rasa sakit yang tersembunyi di balik senyuman kecil Ananta. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kerumunan membuatnya tak mampu bergerak.

     

     

    Setelah upacara selesai, aula mulai kosong, meninggalkan hanya beberapa siswa yang berfoto bersama keluarga mereka. Ananta tetap di tempatnya, memandangi panggung yang kini sunyi. Pikirannya melayang jauh, mengingat perjalanan panjang yang telah ia lalui di sekolah ini—semua tugas yang ia kerjakan, semua waktu yang ia habiskan untuk belajar, dan semua perjuangan yang tidak pernah terlihat.

     

    Ia merasakan seseorang mendekat. Ketika ia menoleh, Hazara berdiri di sampingnya, masih mengenakan toga dan membawa piagam penghargaan di tangannya.

     

    “Ananta,” Hazara memanggil pelan, mencoba menarik perhatian temannya.

     

    Ananta tersenyum kecil. “Selamat, Hazara. Kamu pantas mendapatkannya.”

     

    “Terima kasih,” jawab Hazara dengan suara lirih. “Tapi aku tahu penghargaan ini bukan hanya milikku. Kamu juga pantas mendapat pengakuan.”

     

    Ananta menggelengkan kepala, berusaha menutupi kekecewaannya. “Ini bukan soal pantas atau tidak. Ini soal bagaimana dunia berjalan. Terkadang, kerja keras saja tidak cukup.”

     

    Hazara menggenggam piagamnya dengan erat, merasa bersalah karena dirinya menjadi pusat perhatian, sementara Ananta berdiri di pinggir. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku melihat usahamu, Ananta. Semua orang di kelas melihatnya. Jika ada yang mengatakan bahwa kamu tidak layak mendapat pengakuan, mereka salah.”

     

    Ananta menatap Hazara dengan tatapan lembut. “Terima kasih, Hazara. Tapi aku tidak perlu pembuktian kepada siapapun lagi. Yang penting, aku tahu bahwa aku sudah melakukan yang terbaik.”

     

    Mereka terdiam sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Namun, Hazara merasa bahwa kata-kata saja tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang dirasakan Ananta.

     

     

    Sore itu, Ananta berjalan melewati gerbang sekolah untuk terakhir kalinya sebagai siswa. Ia menatap bangunan megah di belakangnya, tempat di mana ia tumbuh, belajar, dan menghadapi berbagai tantangan. Perasaan lega bercampur dengan rasa kehilangan. Ia tahu bahwa ia tidak akan kembali ke tempat ini lagi, tetapi kenangan yang ada akan terus melekat dalam pikirannya.

     

    Di sepanjang perjalanan pulang, Ananta merenungkan apa yang sebenarnya ia cari selama ini. Apakah pengakuan dari Bu Inrani benar-benar penting? Atau apakah perjuangannya sendiri sudah cukup untuk membuktikan nilai dirinya?

     

    Ketika ia sampai di rumah, ia disambut oleh keluarganya yang dengan bangga memeluknya. Ibunya memberikan senyuman hangat yang selalu membuatnya merasa dihargai. “Kami bangga padamu, Nak,” kata ibunya. “Kamu telah bekerja keras, dan itu yang paling penting.”

     

    Kata-kata ibunya mengingatkan Ananta bahwa penghargaan terbesar bukanlah trofi atau piagam, tetapi rasa hormat dan kasih sayang dari orang-orang yang benar-benar peduli padanya.

     

    Malam itu, Ananta duduk di meja belajarnya untuk terakhir kali. Ia mengambil buku catatan yang telah menemani perjalanannya selama tiga tahun, membuka halaman kosong di bagian belakang, dan mulai menulis:

     

    > “Hari ini aku belajar bahwa pengakuan dari orang lain bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana aku melihat diriku sendiri. Aku mungkin tidak pernah mendapatkan penghargaan dari Bu Inrani, tetapi aku tahu bahwa usahaku tidak sia-sia. Aku telah tumbuh menjadi seseorang yang lebih kuat dan lebih percaya diri. Dan itu sudah cukup.”

     

    Ananta menutup bukunya, merasa lega. Ia tahu bahwa ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan baru. Dengan senyuman di wajahnya, ia bersiap untuk menghadapi hari esok dengan semangat baru.

     

    Di luar, bintang-bintang bersinar terang, seolah-olah memberikan harapan kepada siapa pun yang melihatnya. Bagi Ananta, itu adalah pengingat bahwa meskipun ia tidak bersinar di panggung kelulusan, cahayanya tetap ada, menunggu waktu yang tepat untuk bersinar lebih terang di tempat yang lain.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 26)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021