Mimpi yang Terus Dikejar
Langit sore yang keemasan membentang luas di atas kota kecil tempat Ananta tinggal. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan utama bercampur dengan kicauan burung yang kembali ke sarangnya. Ananta berdiri di depan jendela kamarnya, menatap mentari yang perlahan tenggelam di balik bukit. Di tangannya, ia menggenggam sertifikat kelulusan yang baru ia terima. Bukan penghargaan khusus, hanya bukti bahwa ia telah menyelesaikan pendidikannya.
Hatinya penuh dengan campuran emosi. Ada rasa lega karena akhirnya ia berhasil melalui semua rintangan, tetapi juga ada rasa kecewa yang terus membayang. Meskipun ia tahu bahwa pengakuan dari Bu Inrani bukanlah segalanya, sulit baginya untuk melupakan bagaimana usahanya selama tiga tahun terakhir seolah diabaikan.
Ananta menarik napas panjang, menenangkan pikirannya. Ia meletakkan sertifikat itu di atas meja belajarnya, di antara buku-buku yang menjadi saksi bisu perjuangannya. “Aku tidak akan berhenti di sini,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Aku akan membuktikan bahwa aku bisa. Bukan untuk mereka, tapi untuk diriku sendiri.”
—
Keesokan paginya, Ananta duduk di ruang tamu bersama orang tuanya. Di meja kecil di depannya, tergeletak brosur dari universitas-universitas yang telah ia pertimbangkan untuk melanjutkan pendidikannya. Ibu menatapnya dengan penuh kasih.
“Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Nak?” tanya Ibu sambil menyodorkan secangkir teh hangat.
Ananta tersenyum tipis. “Aku ingin kuliah, Bu. Aku ingin mengambil jurusan teknik informatika. Aku ingin membuat sesuatu yang berarti, sesuatu yang bisa berguna untuk banyak orang.”
Ayah yang duduk di kursi seberang mengangguk dengan bangga. “Itu cita-cita yang bagus, Ananta. Tapi apakah kamu sudah yakin dengan pilihanmu? Perjalanan ini tidak akan mudah.”
Ananta menatap Ayah dengan mata yang penuh tekad. “Aku tahu, Ayah. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Aku tahu akan ada rintangan, tapi aku siap menghadapinya. Selama ini, aku selalu merasa harus membuktikan diriku kepada orang lain. Tapi sekarang, aku ingin membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku mampu.”
Ibu menggenggam tangan Ananta dengan lembut. “Kami mendukungmu sepenuhnya, Nak. Apapun yang kamu pilih, kami akan selalu ada di sini untukmu.”
Kata-kata itu memberi Ananta kekuatan baru. Ia merasa bahwa meskipun ia tidak mendapatkan pengakuan dari Bu Inrani, ia masih memiliki dukungan yang jauh lebih penting—keluarganya.
—
Hari-hari berikutnya, Ananta sibuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk mendaftar ke universitas. Ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis esai motivasi, melengkapi formulir pendaftaran, dan mempersiapkan dokumen-dokumen lain. Di sela-sela kesibukannya, ia sering kali merenungkan masa lalunya di sekolah.
Ada saat-saat di mana ia merasa lelah, di mana bayangan kata-kata Bu Inrani yang dingin kembali menghantuinya. Ia teringat bagaimana gurunya itu pernah berkata bahwa nilai Ananta mungkin tidak akan sebaik yang ia harapkan karena “kekurangannya dalam menonjolkan diri.” Kata-kata itu menyakitkan, tetapi kini ia mencoba melihatnya sebagai bahan bakar untuk terus maju.
Suatu malam, ketika ia sedang duduk di mejanya, Ananta membuka kembali buku catatan lamanya. Di halaman terakhir, ia membaca tulisan yang pernah ia buat setelah upacara kelulusan.
> “Hari ini aku belajar bahwa pengakuan dari orang lain bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana aku melihat diriku sendiri.”
Ia tersenyum kecil, mengingat betapa beratnya hari itu. Namun, ia juga merasa bangga karena dirinya mampu melewati masa sulit tersebut.
—
Beberapa bulan kemudian, Ananta menerima kabar yang ia tunggu-tunggu. Surat penerimaan dari salah satu universitas impiannya tiba di rumah. Ia membuka amplop itu dengan tangan yang bergetar, lalu membaca isi suratnya dengan penuh harap.
“Selamat, Anda telah diterima di program studi Teknik Informatika,” demikian bunyi salah satu kalimat di surat itu.
Hatinya melompat kegirangan. Ia segera berlari ke ruang tamu untuk memberi tahu orang tuanya. Ibu memeluknya erat, sementara Ayah menepuk bahunya dengan bangga.
“Kami tahu kamu bisa melakukannya, Nak.” kata Ayah.
Kebahagiaan itu tak tergambarkan. Bagi Ananta, surat penerimaan itu bukan hanya bukti bahwa ia berhasil masuk ke universitas impiannya, tetapi juga simbol bahwa kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia.
—
Pada hari pertama kuliah, Ananta melangkah masuk ke gedung fakultas dengan perasaan campur aduk. Ia merasa gugup, tetapi juga penuh semangat untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di aula besar tempat orientasi mahasiswa baru berlangsung, ia duduk di antara ratusan mahasiswa lainnya, mendengarkan pidato dari dekan fakultas.
Ketika dekan berbicara tentang pentingnya kerja keras dan dedikasi dalam mencapai kesuksesan, Ananta merasa bahwa kata-kata itu ditujukan untuknya. Ia tersenyum, mengingat semua perjuangan yang telah ia lalui untuk sampai ke titik ini.
Di penghujung acara, Ananta melihat ke sekelilingnya. Wajah-wajah baru yang penuh harapan menyambutnya di setiap sudut ruangan. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia juga tahu bahwa ia siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Dalam hati, ia berjanji kepada dirinya sendiri. “Aku akan terus berjuang. Aku akan membuktikan bahwa mimpiku tidak berhenti di sini. Aku akan membuat sesuatu yang berarti, bukan untuk orang lain, tetapi untuk diriku sendiri dan dunia di sekitarku.”
Langkah Ananta semakin mantap ketika ia meninggalkan aula. Di luar, matahari bersinar cerah, seolah-olah memberikan restu untuk perjalanan barunya. Baginya, ini bukan sekadar awal dari kehidupan sebagai mahasiswa. Ini adalah awal dari perjalanan untuk mengejar mimpi yang lebih besar, mimpi yang tidak akan pernah ia lepaskan.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 27)
Sorry, comment are closed for this post.