Pelajaran Hidup yang Pahit
Langit sore di kota besar itu berwarna jingga keemasan, memantulkan bayang-bayang gedung tinggi di sepanjang jalan yang sibuk. Ananta duduk di belakang meja kantornya, memandang ke luar jendela dengan tatapan yang penuh dengan pemikiran. Di tangannya tergenggam sebuah pena, tetapi ia belum juga menuliskan apa pun di kertas di depannya.
Hari itu, ia baru saja menyelesaikan sebuah presentasi besar di hadapan klien penting. Perusahaan yang ia bangun dari nol kini telah mencapai titik di mana namanya sering disebut sebagai salah satu pengusaha muda yang sukses. Namun, kesuksesan itu, sebesar apa pun, tidak pernah benar-benar bisa menghapus rasa pahit dari masa lalunya.
Di meja itu, di tengah ruangan yang mewah dengan segala fasilitas modern, Ananta merasakan keheningan yang sama seperti yang ia rasakan bertahun-tahun lalu di bangku sekolahnya. Ia membuka laci meja, mengambil sebuah buku jurnal tua yang sudah kusam. Halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan, beberapa sudah pudar.
Ia membuka halaman pertama, membaca catatan yang ia tulis saat masih menjadi siswa SMA:
“Aku tidak tahu apakah dunia ini memang tidak adil, atau aku yang tidak cukup baik. Tapi aku tahu satu hal: aku akan terus berjalan, karena berhenti bukan pilihan.”
Ananta tersenyum kecil, mengingat betapa keras kepalanya saat itu. Ia tahu catatan itu lahir dari rasa sakit yang ia rasakan akibat perlakuan Bu Inrani. Guru yang tidak pernah memberikan pengakuan, yang selalu memandangnya sebelah mata, lebih menghargai siswa yang berpenampilan menarik daripada mereka yang bekerja keras.
—
Tahun-tahun telah berlalu, tetapi kenangan itu tetap hidup di dalam dirinya.
Sore itu, ia menerima sebuah undangan reuni dari grup alumni sekolahnya. Acara itu akan diadakan di aula sekolah, tempat ia pernah berdiri sebagai siswa yang merasa diabaikan. Ananta membaca pesan itu berulang kali, merasa ragu apakah ia ingin menghadiri acara tersebut.
Namun, dibalik keraguannya, ada dorongan untuk kembali ke tempat itu. Bukan untuk menunjukkan keberhasilannya, tetapi untuk menghadapi bayangan masa lalunya.
—
Hari reuni pun tiba.
Ananta berdiri di depan gerbang sekolah yang terlihat tidak banyak berubah. Bangunan tua itu masih sama, dengan dinding yang sedikit pudar dan halaman yang penuh dengan pohon rindang. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan masuk, tetapi ia tahu ia harus melakukannya.
Di aula sekolah, para alumni berkumpul. Beberapa wajah terlihat akrab, tetapi banyak yang sudah berubah. Ia melihat Hazara di antara kerumunan, berdiri bersama beberapa teman lama mereka. Hazara tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arah Ananta.
“Ananta! Aku tidak percaya kau benar-benar datang!” seru Hazara sambil menghampirinya.
“Ya, aku juga tidak yakin pada awalnya,” jawab Ananta sambil tersenyum kecil.
Mereka berbicara sejenak, mengenang masa-masa sekolah yang penuh dengan suka dan duka. Namun, di tengah percakapan itu, mata Ananta menangkap sosok yang tidak asing.
Bu Inrani.
Guru itu duduk di pojok aula, terlihat tidak banyak berubah. Rambutnya yang sudah beruban disanggul rapi, dan senyumnya yang formal tetap terlihat seperti dulu. Ananta merasa dadanya berdegup lebih kencang.
“Aku harus bicara dengannya,” gumam Ananta.
Hazara menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Kau yakin? Setelah semua yang terjadi?”
Ananta mengangguk. “Aku tidak tahu apakah ini akan mengubah apa pun, tetapi aku harus melakukannya.”
—
Ia berjalan mendekati meja Bu Inrani.
“Bu Inrani,” sapa Ananta dengan suara pelan.
Guru itu menoleh, sedikit terkejut melihat siapa yang berdiri di depannya. “Ananta? Oh, kamu. Sudah lama sekali,” katanya sambil tersenyum tipis.
“Ya, Bu. Sudah bertahun-tahun,” jawab Ananta.
Mereka berbicara sejenak, membahas hal-hal ringan seperti pekerjaan dan kehidupan. Namun, di tengah percakapan itu, Ananta tidak bisa menahan diri untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
“Bu,” katanya dengan suara yang lebih serius. “Saya ingin mengucapkan terima kasih. Karena meskipun mungkin Ibu tidak menyadarinya, perlakuan Ibu kepada saya dulu telah membentuk saya menjadi seperti sekarang. Saya belajar banyak dari rasa sakit itu.”
Bu Inrani terlihat bingung. “Perlakuan saya? Apa maksudmu, Ananta?”
Ananta tersenyum tipis, tetapi ada kegetiran di dalamnya. “Ibu mungkin tidak ingat, tetapi saya ingat dengan jelas. Saat itu, saya merasa seperti tidak pernah cukup baik di mata Ibu. Apapun yang saya lakukan, rasanya tidak pernah cukup untuk mendapatkan pengakuan dari Ibu.”
Bu Inrani terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
“Tapi itu tidak apa-apa, Bu,” lanjut Ananta. “Karena saya akhirnya menyadari bahwa pengakuan dari orang lain bukanlah yang terpenting. Yang penting adalah bagaimana saya melihat diri saya sendiri. Dan saya ingin Ibu tahu, saya berterima kasih untuk itu.”
Ananta menatap Bu Inrani untuk terakhir kalinya, lalu berkata, “Selamat tinggal, Bu. Semoga Ibu sehat selalu.”
Ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan guru itu dalam keheningan.
—
Di perjalanan pulang, Ananta merasa lebih ringan. Ia tahu ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya: “Bu, apakah cantik masih yang utama?” Tetapi ia juga tahu bahwa pertanyaan itu tidak lagi penting.
Yang penting adalah bagaimana ia menggunakan rasa sakit itu sebagai bahan bakar untuk terus maju.
Ananta memandang ke luar jendela mobilnya, melihat langit yang mulai gelap. Ia merasa lega, karena akhirnya ia bisa menghadapi bayangan masa lalunya dan melanjutkan hidup dengan lebih damai.
Meskipun luka itu akan selalu ada, ia tahu bahwa ia telah tumbuh menjadi seseorang yang lebih kuat dan lebih bijaksana. Dan bagi Ananta, itu sudah lebih dari cukup.
—
Di dunia yang sering kali tidak adil, Ananta menemukan bahwa kekuatan sejati berasal dari bagaimana ia menghadapi ketidakadilan itu. Dan meskipun hidup memberikan pelajaran yang pahit, ia tahu bahwa setiap luka adalah bagian dari perjalanan menuju kesuksesan dan kedewasaan.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 30)
Sorry, comment are closed for this post.