Antara Prestasi dan Penampilan
Pagi itu, suasana kelas XI B tampak seperti biasa. Ananta duduk di bangkunya sambil membolak-balik buku catatan yang penuh dengan coretan tangan rapi. Di sebelahnya, Reza terlihat sedang mengerjakan PR yang hampir terlupakan, sementara Hazara duduk dengan santai di barisan depan, sesekali bercermin menggunakan layar ponselnya.
Pelajaran hari itu dimulai dengan Bu Inrani yang masuk tepat waktu. Seperti biasa, ia membawa dirinya dengan anggun, dengan rambut yang tertata sempurna dan senyum tipis yang tampak profesional.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya, seperti biasa penuh wibawa.
Setelah memberikan pengantar singkat, Bu Inrani menuliskan beberapa soal rumit di papan tulis.
“Baik,” katanya sambil melirik kelas.
“Siapa yang mau menjawab soal nomor satu?”
Tangan Ananta langsung terangkat. Ia telah mempersiapkan diri untuk materi ini semalaman. Namun, Bu Inrani tampak ragu sejenak sebelum berkata, “Hazara, bagaimana menurutmu?”
Hazara terlihat sedikit terkejut, tetapi dengan penuh percaya diri ia berdiri.
“Hmm, saya pikir jawabannya adalah…,” katanya, menyebutkan jawaban yang jelas salah. Suaranya terdengar ragu-ragu, tetapi tetap manis.
“Bagus, Hazara,” kata Bu Inrani dengan senyuman.
“Kamu sudah mencoba. Walaupun kurang tepat, setidaknya kamu punya keberanian untuk menjawab.”
Ananta menurunkan tangannya perlahan. Ada sesuatu yang terasa tidak adil, tetapi ia memilih untuk diam.
“Baik, siapa lagi yang mau mencoba?” tanya Bu Inrani lagi. Kali ini, ia mengalihkan pandangan ke arah Ananta.
Ananta berdiri dengan percaya diri. Ia menyebutkan jawabannya dengan runtut, memberikan penjelasan tambahan yang memperkuat argumennya. Kata-katanya mengalir lancar, hasil dari persiapannya yang matang.
Ketika ia selesai, kelas terdiam sejenak. Reza di sebelahnya menepuk meja kecil sebagai tanda kagum, tetapi Bu Inrani hanya memberikan respons singkat.
“Bagus, Ananta. Tapi, lain kali coba perhatikan gaya bicaramu. Nada suara dan ekspresi juga penting agar jawabanmu lebih menarik.”
Kalimat itu terasa seperti duri kecil yang menancap di hati Ananta. Ia terdiam sejenak sebelum duduk kembali.
—
Saat jam istirahat tiba, Ananta berjalan menuju kantin bersama Reza. Di meja sudut, Hazara terlihat dikelilingi beberapa teman dekatnya, tertawa riang sambil membicarakan hal-hal ringan. Ananta hanya memandangnya sekilas sebelum duduk di salah satu bangku kosong.
“Ta, aku nggak ngerti deh,” kata Reza sambil menggigit roti yang baru dibelinya. “Jawaban Hazara tadi jelas salah, tapi Bu Inrani tetap bilang bagus.”
Ananta mengangkat bahu, mencoba terlihat tidak peduli meski sebenarnya ia juga memikirkan hal yang sama.
“Mungkin Bu Inrani hanya ingin memotivasi dia,” katanya pelan.
“Tapi serius, Ta. Jawabanmu tadi keren banget, detail pula. Harusnya kamu dapat pujian lebih.”
“Sudahlah, Za. Nggak semua orang melihat hal yang sama,” jawab Ananta sambil memandang ke luar jendela. Namun, pikirannya terusik. Apakah kecerdasannya benar-benar dihargai? Ataukah penampilan dan cara membawa diri lebih penting daripada isi pikiran?
—
Hari-hari berikutnya, pola yang sama terus berulang. Siswa yang berpenampilan menarik, seperti Hazara dan beberapa siswa lain yang selalu tampil rapi, lebih sering dipanggil untuk menjawab soal. Bahkan ketika mereka salah, respons Bu Inrani tetap lembut dan penuh penghargaan. Sebaliknya, Ananta dan beberapa siswa lain yang lebih menonjol secara akademik tetapi kurang memperhatikan penampilan hanya mendapat pengakuan sekadarnya.
Hal itu membuat Ananta semakin diam. Ia tidak lagi bersemangat untuk mengangkat tangan di kelas. Bahkan ketika ia tahu jawabannya, ia memilih untuk menunggu sampai Bu Inrani memanggilnya.
“Ta, kamu kenapa sih?” tanya Reza suatu hari saat mereka sedang berjalan pulang bersama.
“Kenapa apa?”
“Sekarang kamu jarang jawab di kelas. Dulu kan kamu selalu antusias.”
Ananta terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku cuma nggak mau terlalu mencolok, Za.”
Reza memandangnya dengan alis terangkat. “Nggak masuk akal, Ta. Kamu itu pintar, dan semua orang tahu itu. Seharusnya kamu tunjukkan kemampuanmu.”
“Tapi untuk apa?” balas Ananta dengan nada datar. “Jawaban benar juga nggak berarti apa-apa kalau orang lebih peduli sama penampilan.”
Reza terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia bisa merasakan frustasi temannya, tetapi ia juga tahu bahwa Ananta terlalu keras pada dirinya sendiri.
—
Suatu pagi, Bu Inrani memberikan pengumuman tentang lomba debat antar-kelas yang akan diadakan bulan depan. Setiap kelas diminta untuk mengirimkan dua wakil, dan keputusan akan diambil berdasarkan penilaian guru.
Hazara langsung menjadi salah satu kandidat yang dipilih tanpa perdebatan.
“Hazara memiliki gaya bicara yang menarik,” kata Bu Inrani saat mengumumkan pilihannya.
Untuk kandidat kedua, nama Ananta disebut setelah beberapa saat pertimbangan.
“Ananta, kamu punya wawasan yang luas. Ini kesempatan untuk menunjukkan kemampuanmu,” kata Bu Inrani.
Ananta hanya mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia merasa pilihan itu lebih sebagai formalitas daripada pengakuan sejati atas kemampuannya.
—
Hari latihan debat pertama dimulai seminggu kemudian. Ananta dan Hazara duduk berdampingan di ruang diskusi kecil yang telah disiapkan untuk mereka. Hazara terlihat santai, sementara Ananta sibuk mencatat poin-poin penting yang ingin ia sampaikan.
Saat latihan dimulai, Ananta mempresentasikan argumennya dengan runtut dan logis. Ia mengutip data dan literatur untuk mendukung pendapatnya. Namun, ketika giliran Hazara, presentasinya lebih sederhana, tetapi disampaikan dengan penuh percaya diri dan senyuman.
Setelah sesi latihan selesai, Bu Inrani memberikan evaluasi. “Ananta, argumenmu sangat kuat, tapi coba kamu tambahkan sedikit sentuhan emosional. Jangan terlalu kaku. Orang lebih suka mendengar sesuatu yang menyentuh hati.”
Kemudian ia beralih ke Hazara. “Hazara, kamu luar biasa. Gaya bicaramu sangat menarik, meskipun ada beberapa poin yang perlu diperbaiki. Tapi secara keseluruhan, kamu hebat.”
Kata-kata itu semakin menguatkan pikiran Ananta bahwa penampilan dan gaya lebih dihargai daripada isi.
—
Malam itu, di kamarnya, Ananta merenungkan semua yang telah terjadi. Ia memandang cermin kecil di meja belajarnya, mencoba melihat dirinya sendiri dari sudut pandang orang lain. Ia tidak pernah terlalu peduli dengan penampilan, tetapi sekarang ia bertanya-tanya apakah itu salah satu alasan ia merasa diabaikan.
Namun, saat ia memikirkan semua itu, satu hal muncul di benaknya: Apakah aku harus berubah hanya untuk mendapatkan pengakuan? Atau aku harus tetap menjadi diriku sendiri, meskipun sulit?
Dengan pikiran itu, ia memutuskan untuk tetap berusaha sebaik mungkin, tidak peduli apakah ia mendapatkan perhatian atau tidak. Karena pada akhirnya, ia tahu bahwa kerja keras dan ketulusanlah yang akan membuatnya merasa bangga pada dirinya sendiri.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 6)
Sorry, comment are closed for this post.