KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 7)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 7)

    BY 13 Feb 2025 Dilihat: 56 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 7)_alineaku

    Hazara, Si Cantik Idola Kelas

    Hari itu sinar matahari menembus celah-celah jendela kelas, membuat ruang yang dipenuhi suara berbisik menjadi terasa lebih hangat. Di salah satu sudut, Ananta duduk di tempat biasanya, barisan tengah, mencoba fokus pada buku catatannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, perhatiannya sesekali teralihkan oleh suara tawa lembut di barisan depan. Suara itu berasal dari Hazara, siswi yang kini menjadi pusat perhatian di kelas.

     

    Hazara duduk dengan tubuh yang tegap, seolah-olah dunia benar-benar berputar di sekelilingnya. Rambutnya yang panjang dan berkilau diikat dengan pita biru, menciptakan kesan sederhana namun tetap menawan. Kulitnya yang cerah memancarkan cahaya di bawah sinar matahari, membuatnya terlihat seperti tokoh dongeng. Teman-teman sekelas, baik laki-laki maupun perempuan, seolah tak bisa mengalihkan pandangan darinya.

     

    Di depan kelas, Bu Inrani mengajar dengan tenang. Suaranya terdengar seperti alunan lagu klasik, tetapi nadanya berubah menjadi penuh semangat ketika ia mengarahkan pandangan ke Hazara. 

     

    “Hazara, kamu sudah menyelesaikan tugas membuat analisis puisi yang saya berikan minggu lalu, bukan?” tanya Bu Inrani dengan nada hangat.

     

    Hazara, dengan senyumnya yang manis, mengangguk pelan. 

     

    “Sudah, Bu.”

     

    “Bagus sekali,” puji Bu Inrani, senyum memancar di wajahnya. 

     

    “Kamu memang selalu menjadi contoh siswa yang baik. Anak-anak, lihat Hazara. Dia selalu tampil rapi dan menyelesaikan tugas dengan baik. Saya harap kalian bisa belajar dari dia.”

     

    Ananta menunduk. Kata-kata itu terasa seperti duri kecil yang menusuk hatinya. Ia tahu bahwa Hazara bukanlah siswi terbaik dalam hal akademik. Bahkan, ia sering melihat Hazara kesulitan memahami pelajaran. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa yang membuat Bu Inrani begitu terpesona oleh Hazara?

     

    Teman-teman Ananta yang duduk di sekitarnya mulai berbisik-bisik. 

     

    “Ya ampun, lagi-lagi Hazara dipuji. Padahal tugasnya biasa-biasa saja,” gumam salah satu temannya, Dira, sambil menggelengkan kepala.

     

    “Aku rasa Bu Inrani lebih peduli dengan siapa yang terlihat cantik daripada siapa yang benar-benar pintar,” balas Zaki, yang duduk di belakang.

     

    Ananta tidak ikut berkomentar. Ia hanya menatap bukunya, mencoba fokus pada tugas analisis teks yang sedang dipelajarinya. Namun, pikirannya terus melayang. Ia ingat saat ia menjawab pertanyaan sulit tentang gaya bahasa dengan sempurna minggu lalu, tetapi hanya mendapat anggukan singkat dari Bu Inrani. Tidak ada pujian, tidak ada senyuman seperti yang selalu diberikan kepada Hazara.

     

     

    Ketika jam istirahat tiba, suasana kelas berubah menjadi lebih santai. Hazara dikerumuni oleh beberapa teman perempuan yang tampak asyik membicarakan tren mode terbaru. Mereka tertawa sambil membandingkan aksesoris rambut mereka, sementara Hazara sesekali memamerkan pita birunya yang terlihat elegan.

     

    “Hazara, rambutmu benar-benar indah. Aku iri!” seru salah satu temannya.

     

    “Ah, kamu terlalu berlebihan,” jawab Hazara dengan suara lembut yang terdengar seperti nada lagu. Meski begitu, senyum bangga tersirat di wajahnya.

     

    Ananta memperhatikan mereka dari sudut matanya. Ia tidak iri pada Hazara sebagai pribadi, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa perhatian yang diterima Hazara sering membuatnya merasa kecil. Ia selalu percaya bahwa kerja keras dan kecerdasan adalah hal yang paling penting di sekolah. Namun, di bawah bimbingan Bu Inrani, semuanya tampak berbeda. Penampilan lebih dihargai daripada usaha atau kemampuan.

     

    Saat Ananta melamun, Dira duduk di sebelahnya. 

     

    “Kamu baik-baik saja, An?” tanyanya, menatap Ananta dengan penuh perhatian.

     

    Ananta mengangguk. “Ya, aku baik. Hanya saja… kadang rasanya sulit diterima.”

     

    Dira mengangguk, memahami maksud temannya. 

     

    “Aku tahu. Sepertinya tidak peduli seberapa keras kita belajar, kita tetap tidak akan bisa menyaingi Hazara. Bukan karena dia lebih pintar, tapi karena dia selalu menjadi favorit.”

     

    Ananta tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. Ia tahu Dira benar, tetapi ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan.

     

     

    Sore itu, ketika pelajaran terakhir selesai, Bu Inrani mengumumkan bahwa akan ada tugas kelompok yang harus diselesaikan dalam dua minggu. 

     

    “Saya akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok, dan saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik,” katanya.

     

    Ketika nama-nama kelompok disebutkan, Ananta merasa sedikit lega karena ia berada di kelompok yang sama dengan Dira dan Zaki. Namun, ia juga mendengar bahwa Hazara berada di kelompok lain bersama beberapa siswa yang biasanya kurang aktif dalam belajar.

     

    “Kita harus membuat presentasi tentang analisis karya sastra,” jelas Bu Inrani. 

     

    “Dan ingat, saya akan menilai bukan hanya dari isi presentasi, tetapi juga cara kalian menyampaikan dan tampil di depan kelas.”

     

    Ananta merasakan dadanya berdebar. Ia tahu bahwa cara menyampaikan bukanlah keahliannya. Ia lebih fokus pada isi dan substansi, bukan pada gaya atau penampilan. Tetapi sekarang, ia harus menghadapi kenyataan bahwa penampilan juga akan mempengaruhi nilai mereka.

     

    Setelah kelas bubar, Hazara berjalan mendekati Bu Inrani dengan langkah penuh percaya diri. Ananta tidak sengaja mendengar percakapan mereka.

     

    “Bu, saya ingin bertanya tentang tugas kelompok ini. Apakah ada tips agar kami bisa tampil lebih baik di depan kelas?” tanya Hazara dengan senyum manisnya.

     

    “Hazara, saya yakin kamu tidak perlu khawatir. Dengan kepribadian dan cara bicaramu, kamu pasti bisa melakukannya dengan baik,” jawab Bu Inrani sambil tersenyum hangat.

     

    Ananta menghela nafas panjang. Sekali lagi, ia merasa seperti bayangan di kelas itu, selalu berada di belakang sosok yang dianggap sempurna.

     

     

    Malam harinya, Ananta duduk di meja belajarnya, menatap buku catatan dan laptopnya. Ia mencoba memikirkan ide-ide untuk presentasi kelompok mereka. Namun, pikirannya terus melayang kembali ke kelas, ke Hazara, dan ke ketidakadilan yang ia rasakan.

     

    Ia tahu bahwa Hazara bukanlah orang jahat. Hazara hanya menjadi seperti cermin dari apa yang diinginkan Bu Inrani: seorang siswa yang tidak hanya pintar, tetapi juga menarik secara fisik. Namun, Ananta tidak bisa mengabaikan rasa kecewa yang terus tumbuh di hatinya.

     

    “Aku harus fokus,” gumamnya pada diri sendiri. 

     

    “Kalau aku ingin membuktikan diriku, aku harus menunjukkan yang terbaik, meski tidak ada yang melihatnya.”

     

    Dengan semangat yang baru, Ananta mulai menulis ide-ide untuk tugas kelompok mereka. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa kerja keras dan kecerdasan lebih penting daripada penampilan. Meski ia tahu jalannya tidak akan mudah, ia tidak ingin menyerah.

     

    Dan, di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang mendapatkan nilai yang baik, tetapi juga tentang menemukan dirinya sendiri di tengah dunia yang tampaknya lebih menghargai apa yang terlihat di luar daripada apa yang ada di dalam.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 7)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021