Aku Selalu Terlihat Biasa
Ananta duduk di bangkunya, memperhatikan papan tulis yang dipenuhi tulisan rapi milik Bu Inrani. Mata pelajaran Bahasa Indonesia hari itu membahas tentang gaya bahasa dalam prosa, sebuah topik yang sebenarnya cukup menarik bagi Ananta. Namun, pikirannya terus melayang ke tempat lain. Tepatnya ke dirinya sendiri, ke siapa dia di kelas ini—dan siapa dia dibandingkan orang lain.
Ia memandangi seragam putih abu-abunya yang mulai pudar warnanya. Kemeja yang pernah putih cerah kini terlihat sedikit kekuningan di tepi kerahnya. Sepatunya, meski selalu dibersihkan setiap akhir pekan, sudah menunjukkan tanda-tanda usia. Bagian solnya mulai tipis, dan warna hitamnya tak lagi mengkilap seperti dulu.
Saat pandangannya beralih ke depan, Hazara berdiri dengan anggun di dekat meja guru, menjawab pertanyaan Bu Inrani tentang majas perbandingan. Rambut Hazara tergerai indah, dihiasi jepitan kecil berbentuk bunga. Pita birunya, seperti biasa, menambahkan kesan segar pada penampilannya. Teman-teman sekelasnya memandang Hazara dengan kekaguman yang nyaris tak terselubung. Bahkan Dira, yang biasanya suka mengeluh tentang “ketidakadilan” di kelas, tampak ikut tersenyum kecil saat Hazara berbicara.
Ananta menunduk, memperhatikan ujung sepatunya yang sedikit robek di satu sisi. Dalam hati, ia bergumam, “Mungkin aku memang hanya siswa biasa. Tidak ada yang istimewa dariku. Tidak seperti Hazara.”
Suasana kelas berubah riuh ketika Bu Inrani mengakhiri sesi tanya jawab. Anak-anak mulai berbisik-bisik, beberapa mencatat dengan cepat, sementara yang lain sibuk menggambar di buku mereka. Ananta mencoba fokus pada catatannya, tetapi suara di dalam kepalanya terus mengganggunya.
—
Saat istirahat tiba, Ananta memilih untuk tetap duduk di kelas, seperti biasanya. Ia tidak suka keramaian kantin, dengan suara bercampur aduk dan bau makanan yang selalu membuatnya merasa sesak. Lagi pula, ia merasa lebih nyaman di ruang kelas yang kosong, hanya ditemani suara burung gereja di luar jendela.
Namun, hari itu Hazara kembali menjadi pusat perhatian. Ia tidak pergi ke kantin seperti anak-anak lain, melainkan duduk bersama kelompok kecil teman-temannya di salah satu sudut kelas. Mereka tertawa sambil membahas drama Korea terbaru yang sedang hits.
“Ananta, kenapa tidak bergabung dengan mereka?” suara Dira tiba-tiba mengejutkan Ananta. Temannya itu berdiri di dekat mejanya, membawa sebungkus roti yang baru dibelinya dari kantin.
Ananta menggeleng pelan. “Aku tidak begitu suka keramaian.”
“Ah, kamu selalu seperti itu,” Dira mendesah, lalu duduk di bangku sebelah.
Ia membuka bungkus rotinya dan mulai memakannya sambil mengamati Hazara dari kejauhan.
“Kamu tahu? Kadang aku berpikir, bagaimana rasanya menjadi seperti Hazara. Segalanya terlihat mudah untuknya. Dia hanya perlu tersenyum, dan semua orang langsung menyukainya.”
Ananta terdiam. Kata-kata Dira, meski tidak sepenuhnya salah, terasa seperti menambah beban di dadanya.
“Mungkin karena dia memang seperti itu,” jawabnya akhirnya, dengan suara yang hampir berbisik.
“Aku tidak bisa membayangkan diriku menjadi seperti dia.”
Dira mengangguk pelan. “Tapi kamu punya sesuatu yang dia tidak punya, An. Kamu pintar, kamu selalu tahu jawabannya. Aku rasa itu juga penting.”
Ananta hanya tersenyum tipis. Ia ingin percaya pada kata-kata Dira, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Di kelas ini, kecerdasan tidak selalu cukup untuk mendapatkan perhatian atau pengakuan.
—
Sore itu, setelah bel pulang berbunyi, Ananta memutuskan untuk tinggal lebih lama di kelas. Ia membuka buku catatannya dan mulai menyalin ulang materi yang menurutnya penting. Baginya, belajar adalah satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa ia bisa lebih dari sekadar siswa biasa.
Namun, saat ia tenggelam dalam pikirannya, suara langkah kaki mendekat. Ananta mendongak dan melihat Hazara berdiri di dekat mejanya, memegang buku catatan berwarna pink dengan hiasan stiker lucu di sampulnya.
“Ananta,” panggil Hazara dengan suara lembut. “Aku butuh bantuanmu.”
Ananta tertegun sejenak. “Bantuan? Untuk apa?”
Hazara tersenyum malu-malu.
“Soal tugas analisis teks. Aku tidak begitu paham dengan gaya bahasa yang Bu Inrani jelaskan tadi.”
Permintaan itu mengejutkan Ananta. Selama ini, ia selalu mengira Hazara tahu segalanya, atau setidaknya cukup percaya diri untuk berpura-pura tahu. Tetapi melihat Hazara berdiri di depannya, dengan senyum kecil yang nyaris meminta maaf, Ananta merasa ada sesuatu yang berbeda.
“Oh… oke,” jawab Ananta akhirnya.
Ia mengambil buku Hazara dan mulai membaca catatan yang tertulis di dalamnya. Tulisan tangan Hazara rapi, dengan huruf-huruf kecil yang dihiasi coretan-coretan kecil di pinggir halaman.
“Ini sebenarnya tidak sulit,” kata Ananta, mencoba menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Ia menunjuk pada salah satu paragraf di buku Hazara.
“Kamu hanya perlu melihat konteks kalimatnya. Misalnya di sini, ini termasuk majas hiperbola karena…”
Hazara mendengarkan dengan seksama, mengangguk-angguk setiap kali Ananta selesai menjelaskan. Sesekali, ia mengajukan pertanyaan, dan Ananta dengan sabar menjawabnya.
Ketika mereka selesai, Hazara tersenyum lebar.
“Terima kasih, Ananta. Kamu benar-benar pandai menjelaskan. Aku jadi lebih paham sekarang.”
Ananta hanya mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa dihargai bukan karena penampilannya, tetapi karena apa yang ia tahu.
—
Malam harinya, saat Ananta duduk di kamarnya, ia merenungkan percakapannya dengan Hazara. Mungkin, pikirnya, ia tidak perlu menjadi seperti Hazara untuk bisa merasa berarti. Mungkin, menjadi dirinya sendiri sudah cukup, asalkan ia terus berusaha dan tidak menyerah.
Namun, di balik keyakinan baru itu, Ananta tetap bertanya-tanya: Apakah usaha kerasnya akan cukup untuk mendapatkan pengakuan dari orang seperti Bu Inrani?
Dengan tekad yang baru, ia membuka buku tugasnya dan mulai menulis. Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih mungkin tidak mudah, tetapi ia percaya bahwa suatu hari nanti, kerja kerasnya akan membuahkan hasil.
Dan mungkin, hanya mungkin, dunia akan melihatnya lebih dari sekadar “siswa biasa.”
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 8)
Sorry, comment are closed for this post.